Anies Baswedan, Jangan Sampai Jadi Kebo Ijo
Salah satu keyakinan berpolitik di Indonesia yang demikian menghantui adalah kisah kutukan  keris Mpu Gandring, yang akan membunuh tujuh keturunan dari penghianatan yang telah dilakukan. Salah satu yang menjadi korban dan tetap menjadi teka-teki adalah Kebo Ijo. Ia yang terkena tuduhan pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung.
Pengawal Akuwu jelas keberadaan paling dekat dengan junjungannya. Padahal hari-hari sebelumnya, ia telah "pamer" bahwa ia memiliki senjata andalan yang ngedab-edabi. Orang-orang, publik, akan tahunya keris itu milik Kebo Ijo, tidak akan mau tahu siapa yang mengambil dari Mpu Gandring, siapa yang memberikan kepada Kebo Ijo, dan karakter Kebo Ijo yang memang demen pamer jelas dipahami dengan baik si pembawa keris.
Tatkala keris tertancap di tubuh Akum Tunggu Ametung, siapa yang akan memikirkan pihak lain, selain Kebo Ijo yang telah pamer ke mana-mana sebagai pengawal jempolan plus memiliki keris sakti. Tidak akan ada yang tahu, peduli, dan juga mau susah-susah menyelidiki, apakah waktu itu keris itu sempat berpindah tangan atau tidak.
Jika pun Kebo Ijo mengatakan keris itu telah diambil si A misalnya, siapa yang mau membela atau menjadi saksinya. Ingat, ini tentu bagian dari strategi dan rekayasa, jangan sampai ada yang tahu semisal keris itu sempat berpindah tangan. Mpu Gandring telah tewas, siapa yang menikamkan kerisnya yang masih belum jadi itu? Mana ada  CCTV, apakah Kebo Ijo? Lagi-lagi ranah gelap gulita.
Kebo Ijo jelas mati karena "berani menikam" yang ia jaga. Pagar makan tanaman. Siapa yang berteriak Kebo Ijo membunuh Akuwu? Sederhana sebenarnya, siapa yang diuntungkan dengan kondisi itu. Saksi kunci semua mati. Masa lalu yang mendapatkan keuntungan itu pun sesuram kematian Kebo Ijo.
Konteks hari-hari ini, banyak orang dan pihak yang meyakini jika Anies Baswedan "menantang" Jokowi. Semua kebijakan Jokowi akan menjadi mentah ketika Anies terlibat dan ada di dalam kekuasannya. Pembangunan fisik, banjir, hingga covid pun demikian. Seolah, perang dua pribadi.
Dalih yang biasa dinarasikan adalah kekecewaan dan sakit hati Anies karena dipecat sebagai menteri pada pemerintahan Jokowi periode satu. Perlawanan terbuka seolah melela di depan mata. Semua pihak akan dengan mudah menerima itu sebagai sebuah fakta yang terjadi.
Sama dengan Kebo Ijo yang memperlihatkan kepemilikan keris itu sebagai sebuah aksi bahwa ialah pemilik keris itu. Tidak akan ada yang tahu dan mau tahu sejarah dan kronologis si keris. Pemikiran orang ya hanya si Kebo Ijo yang empunya keris titik.
Anies dengan segala aksi dan lakunya jangan sampai itu adalah pekerjaan pihak lain yang akan menelikung di tikungan bagi kepentingan sendiri. Begitu banyak faksi dan kepentingan yang sangat mungkin terlibat untuk mengganti pemerintahan.
Mafia demi mafia yang selama ini adalah penguasa faktual negara ini, kini suka atau tidak, mulai terjerat dan terpepet. Narasi dalam aneka demo dan pernyataan jelas kog, sasaran itu Jokowi ganti, turunkan presiden.
Apapun tema pembicaraan dan demo, ujung-ujungnya salawi. Ironis, ketika demokrasi itu berbicara mengenai kebebasan, toh tidak termasuk bebas untuk kudeta.
Koruptor masa kini dan masa lalu. Sama juga setali tiga uang dengan model mafia. Koruptor dan mafia itu saling terkait, mereka bersama-sama pesta pora kekayaan bangsa ini. kata Puyuono, Mas Jokowi cupir atas pesta masa lalu.
Fakta yang ada, setiap demo yang nongol ya itu-itu saja, dibarengi pembicaraan sedang mengusut ini dan itu. Mau masa lalu atau kekinian. Kolaborasi jahat dengan uang tak berseri masih mampu menggerakan massa lapar.
Ideologis, kampanye ideologi yang demikian masif, pembubaran setengah hati, dan juga ormas mau menang sendiri masih dominan. Selalu ada di dalam setiap aksi dan ujungnya juga pemerintah gagal perlu diganti. Kog tidak kreatif dalam mengamuflasekan materi. Judulnya macam-macam, endingnya sama. Lha malah kek sinetron judulnya bisa ribuan, temanya sih satu.
Orang dan pihaknya sama itu lagi-itu lagi, kog ya diizinkan, dan diperbolehkan. Apa yang tidak sadar kalau masuk dalam sebuah perangkap yang bisa menjebak.
Anies, jangan sampai malah jadi tumbal dan merana sendirian. Pengalaman Kebo Ijo bisa untuk pembelajaran yang penting. Bagaimana politik itu perlu kejelian, jangan yang  hanya tampak di depan mata. Sebuah keyakinan, credo di dalam politik, teman abadi itu tidak ada. Nah mempermainkan rekan, mengorbankan teman itu sangat biasa dalam politik.
Para penikmat ada di belakang, mungkin saja malah sedang berakrab ria dengan kubu Jokowi atau istana, dan meremote Anies sesuai kepentingan mereka. Wajah asli mereka sedang senyum dan terbahak bersama kekuasaan.
Jangan menjadi korban yang sia-sia, menderita di atas suka cita pihak lain yang sedang mengupayakan keuntungan sendiri.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H