Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Kangen Sekolah

15 September 2020   19:10 Diperbarui: 15 September 2020   19:17 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bu, kapan, Alin bisa sekolah lagi," tanya Alin pada Bu Gurunya via media percakapan.

"Sabar dulu, ya Cantik, yang penting adalah tetap belajar sekaligus sehat...."

"Sudah kangen pada Bu Guru Cantik, teman-teman, dan kelas yang lama tidak jumpa Bu..." lanjutnya panjang banget. Pantes tadi lama ada tulisan sedang mengetik.

"Iya, Ibu juga kangen pada kalian, ao istirahat, besok tetap belajar online ya.... Selamat Malam Sayang..." tutupku biar Alin bisa istirahat.

"Makasih Bu Guru, selamat malam dan selamat beristirahat...." jawabnya dengan sangat hormat.

Kondisi ini memang sangat tidak mudah. Anak-anak itu bukan hanya belajar atau bermain, tetapi juga bersosialisasi atau berinteraksi dengan rekan sebaya dan juga guru selain orang tua tentunya. Malah jadi kepikiran dan jadi susah tidur ini. Mau tidur bagaimana kalau otak berpikir dan kepikiran kata-kata Alin, itu juga mewakili anak-anak yang lain.

Kata Alin itu juga pernyataan anak di seluruh dunia. bagaimana mereka kangen, kelas, guru mereka, teman-teman. Kadang berantem, toh kangen kejar-kejaran dan terbahak bersama. Mana di rumah bisa begitu, yang ada kesepian, kalau keluar paling juga main sangat  terbatas.

Kami, para guru memang sudah masuk. Pembicaraan soal ini setiap saat menjadi kajian.  Toh belum ada yang berani menjamn keadaan lebih baik. Benar, kelas atau pertemuan masih bisa terjembatani dengan adanya internet, tetapi masih juga banyak kisah-kisah kesulitan lain yang sangat tidak gampang.

Teringat lagi, tadi pagi, Bapak Ali datang ke sekolah mengutarakan bagaimana susahnya beliau untuk mengambil tugas bagi kedua puteranya. Satu di SD kami, satu di SMP yang jaraknya lumayan jauh dan itu bertolak belakang arahnya. Mereka tidak memiliki smartphone ataupun laptop, atau PC, solusinya adalah mengambil tugas ke sekolah.

Selama ini bisa dilakoni dengan relatif baik, meskipun banyak kendala. Masalah timbul ketika mau tidak mau Bapak Ali masuk kerja dan Ibu di rumah juga mengerjakan pekerjaan buruh mencuci, ini jelas tidak bisa disiasati lagi. Masalah Ali dan kakak serta keluarganya ini, juga pasti dialami banyak lagi anak-anak di luar sana.

Sayang seribu sayang, tidak banyak aparat di desa-desa, di RT-RT yang sigap mengatasi kendala-kendala ini dengan menyediakan "pos-pos" hotspot, di mana di sana, sangat mungkin perangkat desa atau yang lebih kecil menyediakan alat bersama untuk belajar bagi anak peserta didik yang tidak beruntung. Pemberitaan mengenai hal ini seolah kalah oleh peliknya politik yang berebut kekuasaan.

Keprihatinan mendasar yang seolah tidak dianggap oleh elit yang hanya ribut mengenai kekuasaan, proyek, dan jabatan. Miris mendengar Ali dan keluarganya berjibaku menyiasati masalah pandemi dengan cara mereka.

Pekan lalu sudah ada keputusan dari pemerintahan setempat, dan kami para staf pendidik setuju membuka kelas terbatas. Tetapi, tiba-tiba, Ibu Ani marah-marah datang ke sekolah dan mengatakan, tidak rela anaknya menjadi kelinci percobaan. Kepala sekolah tentu tidak mau ribut dan ribet dan memutuskan untuk menunda membuka kelas. 

Bu Ani ini sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai pandemi dan covid, hanya tahu sepenggal-sepenggal melalui pemberitaan yang tidak utuh juga. Jadinya ribet. Susah memberi tahu orang yang paham separo, bukan lagi salah paham, tetapi paham yang salah. Mirisnya, dia ini ketua arisan pengantar anak di sekolah. Barisan mereka ini cukup banyak, dan mereka datang berombongan seperti demo.

Kepala sekolah, di dampingi guru komplit, dan kebetulan Pak Kepala Desa sedang mau berangkat ke kantor desa melihat ada ramai-ramai, sebelum Kepala Sekolah menjawab, Ibu-ibu itu sudah disemprot Pak Kades karena merekaa tanpa mengenakan masker, berteriak-teriak dan bergerombol. Mereka sudah salah pada langkah awalnya, dengan tidak setia pada protokol kesehatan, tetapi sok-sokan memperjuangkan kesehatan anak mereka.

Namanya juga Bu Ani, sudah salah malah nyolot, Pak Kades dengan tegas mengundang polisi, dan menjadi reda, karen Bu Ani dan kawan-kawan takut dan diam. Masih tetap ngotot anak-anak mereka tidak boleh masuk sekolah.

Kejadian menjadi tambah lucu, ketika Ani malah memimpin teman-temannya, bagus malah mereka mengenakan masker, malah banyak pula yang memakai face shield, dan berjarak melakukan "demo tandingan" untuk bisa tetap masuk sekolah.

Kami, para guru dan pihak sekolah dan Pak Kades jadi tertawa bahagia, bagaimana orang tua diajari anak-anak. Bu Siti salah satu provokator menghardik anak-anak, bahwa mereka tidak akan diberi uang jajan kalau masih bandel mau sekolah. Ini sih senjata pamungkas, siapa yang bisa melawan mak-mak kalau soal begituan.

Pak Kades dan para guru hanya bisa tersenyum kecut dan mengelus dada, tidak bisa berbuat banyak jika menghadapi senjata begitu. Anak-anakpun bubar melihat uang di tangan mak mereka masing-masing.

Pada akhirnya Bu Ani dan Bu Siti dibawa ke kantor desa oleh Pak Kades dan Bu Polwan, untuk diberi pengertian dan pemahaman yang lebih tepat. Benar saja, akar masalahnya merekaa ini tidak paham, hanya mendengar kata orang dan kata media, anak-anak akan dijadikan kelinci percobaan untuk menghadapi situasi baru. Kan ngaco.

Pemahamana baru Bu Ani dan kawan-kawan sudah membaik, tetapi kerusakan karena rencana dan aksi mereka membuat keadaan tidak serta merta menjadi mudah. Keputusan akhir bahwa masih menunggu kembali keadaan lebih baik.

Fakta anak-anak itu mau sekolah dan taat protokol kesehatan sudah ada di depan mata. Mereka datang melawan demo mak-mak dengan cara yang baik sebagai murid di masa pandemi. Menjadi mentah karena ancaman uang jajan itu tidak akan mudah diselasaikan, mereka masih kanak-kanak lho.

Mereka lupa, bahwa para guru juga memiliki anak, dan kondisi kadang jauh lebih rumit ketika mereka harus belajar di rumah, orang tua juga mengajar, siapa yang harus mendampingi dan memberikan perhatian coba?  Semua ini terjadi, karena orang hanya berpikir soal diri, kesulitanku, bukan malah berpikir keluar. Egoisme yang sangat besar ala bangsa ini.

Ironnis sejatinya jika orang berbicara bangsa yang mengagung-agungkan agama, namun sikapnya egois, picik, iri hati, dan tidak pedulian. Mana ada sih agama yang mengajarkan hal demikian? Sama sekali tidak ada.

Ribet sih ketika agama hanya sebatas ritual, hapalan, dan mengedepankan hal-hal yang artifisial, abai apa yang esensial. Keberadaan hati, kepercayaan pada Sang Khalik, masih terlalu jauh dari kebanyakan anak bangsa ini.

Sangat larut kelihatannya aku baru bisa jatuh tertidur. Bangun-bangun hari sudah cukup terang dan badan serasa sangat berat. Tidur dibebani dengan pikiran aneka warna, dan rencana kerja hari ini juga demikian padat. Syukur bahwa aku masih lajang, jadi beban sebagaimana rekan-rekanku yang sudah memiliki momongan jauh lebih mudah disiasati.

Mau mandi dan persiapan untuk kegiatan belajar mengajar rasanya berat banget jadinya. Mengantuk sih tidak, tetapi beban pikiran yang menggelayut, kapan semua berakhir.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun