Ada Apa dengan Jusuf Kalla?
Dua hal yang cukup layak dilihat atas apa yang Jusuf Kalla lakukan baru-baru ini. Dua hal tersebut adalah, komentar atau dukungan untuk PSBB jilid dua DKI dan penolakan sertifikasi ulama oleh kemenag. Keduanya malah bertentangan dengan kehendak pemerintah. Apakah ini sebentuk kebetulan? Oh tidak, jangan naif. Ini memperlihatkan bagaimana posisi JK sesungguhnya.
Mengenai PSBB tidak perlu banyak-banyak dikupas, meskipun ketua umum PMI, sangat tidak relevan dan tidak ada urgensi pendapat atau gagasan JK, mau mendukung atau menolak. Artinya apapun katanya bisa dinafikan, atau tidak dianggap penting. Tidak perlu berpanjang lebar, karena ini bukan soal kesehatan, atau sosial kemasyarakatan, namun justru politis semata.
Kedua, penolakan sertifikasi ulama oleh kemenag. Katanya, sertifikasi atau pengakuan sahih itu oleh masyarakat. Oke sepakat. Ini jauh lebih realistis dari pada kata pihak legeslatif yang mengatakan legalitas itu dari Allah. Lha MUI juga mengadakan legeslasi ulama, dan itu juga bukan Allah. ada beberapa hal yang Jusuf Kalla abai, yaitu;
Pertama. Negara, bangsa, melalui kementrian adalah juga warga negara, umat, atau jamaah, yang kebetulan memegang tanggung jawab sebagai pemangku kebijakan negara. Artinya secara tidak langsung JK juga setuju. Â Jangan abai keadaan faktual yang ada.
Kedua, jangan naif, bagaimana ulama banyak yang tidak kompeten, isi ceramah dan kajiannya jauh lebih politis dari politikus. Isinya kebanyakan mencerca pemerintah, abai soal kandungan agama malah. Ini malah repot jika warga, jemaah, atau rakyat yang membuat mereka dianggap sesat dan tidak mau mendengarkan atas dasar ketidaksukaan, bukan karena benar-benar melenceng. Sangat mungkin terjadi.
Ketiga, faktual pula, dulu, jika kyai kampung yang sangat saleh, tekun, rendah hati, dan penuh kebijaksanaan banyak orang datang mendengarkan ceramah, Â pengajaran, dan kajiannya. Â Mereka-mereka ini juga masih banyak, namun jangan lupa, ulama medsos tidak kalah banyak. Nah kondisi ini bisa berabe karena kyai sederhana itu tidak lagi bisa membranding diri, ya apa adanya, dan jemaah sudah berpaling. Berkaitan dengan poin berikut.
Keempat. Kebanyakan pemuka agama via media sosial bukan fokus pada isi, konten, atau kajiannya, pokoknya banyak hits, klik, dan komentar karena itu potensi menarik iklan dan pengunjung, dan berujung monetasi. Mau isinya benar atau tidak, mereka tidak perhatikan, yang penting adalah heboh, ramai, dan viral. Uang mengalir.
Kelima, demi viral ini, menjelekan pihak lain, mengulik agama lain, mencerca pemerintah, sebagai hal yang biasa dan wajar. Ini demi mendapatkan rating dan klik. Â Apakah yang model demikian ini akan dibiarkan begitu saja?
Keenam, sertifikasi ini jauh lebih penting dan memberikan jaminan pada kyai atau ulama yang saleh, terhormat, dan bijak dikampung-kampung, pesantren-pesantren sederhana, bukan tokoh publik figure di media televisi atau media sosial. Apalagi pengetahuan agamanya saja nol besar.
Ketujuh, warga, jemaah, umat, atau masyarakat jelas memiliki kriteria berbeda-beda, nah negara, pemerintah, dan kementrian itu memberikan jaminan, bahwa apa yang layak bercermah itu sudah sahih dengan sertifikat oleh negara.
Kedelapan, naif juga ketika rakyat juga bisa kog memilih dan memilah mana haram mana halal, toh halalnya produk menjadi hak sepenuhnya MUI, kog tidak ada yang mengatakan Allah sebagaimana anggota dewan, atau biar rakyat toh bisa memilah, sebagaimana kata JK.
Kesembilan, apa yang dinyatakan anggota dewan, ataupun JK Â ini jauh lebih politis bukan benar-benar azas manfaat justru buat hidup beragama yang lebih baik. Â Mengapa? Jelas kadar pengetahuan, masih soal pengetahuan, belum bicara mengenai penghayatan apalagi pengamalan mengenai agama.
Kesepuluh. Ini bukan satu-satunya negara yang menerapkannya. Atau satu-satunya profesi, atau pekerjaan yang mau bersertifikat. Silakan cek negara mana saja, pekerjaan apa saja. Kog dulu diam saja, atau kog di negara lain juga baik-baik saja?
Apa yang terjadi, penolakan, baik dari dalam MUI, dewan, ataupun JK adalah justru mau memperlihatkan bagaimana semua hal ditarik-tarik dalam ranah politik. Tidak ada kaitan dengan politik apapun. Hanya saja mau mendeskreditkan pemerintah dengan adanya upaya ini. Hal yang seharusnya biasanya saja menjadi heboh, karena kepentingan politik, bukan soal  azas manfaat dan lebih baik dan benar.
Demokrasi yang dihidupi orang-orang kolot ya memang susah, tidak mudah, dan ribet, serta ribut. Mau berdemokrasi tapi maunya menang sendiri. Menang-menang belum menjadi sebuah tabiat apalagi budaya kita. Maunya adalah menang-menangan dan menang sendiri. Orang atau pihak lain harus salah atau kalah.
Jangan menutup mata atas fakta perilaku dan cara beragama yang masih ngawur dan ngaco. Ini jelas bukan berbicara agama, namun cara beragama yang tidak semestinya. Apapun agamanya ada kog perilaku ngaco ini, dan itu yang mau dibenahi oleh negara. Bebas itu bukan berarti ngawur, namun ada etika, tanggung jawab, dan batasan kebebasan yang lain.
Sikap kanak-kanak yang berdiam pada pribadi dewasa, bahkan tua menambah ruwetnya kita berbangsa. Ya semua memang masih harus dihadapi dan dijalani.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI