Mabuk, atau malah narkoba? Tentu ini sebatas tanya. Sangat mungkin dalam pengaruh kedua hal itu sehingga kecelakaan. Untuk menghilangkan malu dan pelanggaran, ya membuat skenario. Lah akhirnya menjadi masalah, bahkan antarlembaga, ini penting untuk diusut lebih lanjut.
Atau malah mungkin terlibat dalam sebuah kelompok antiNKRI, sangat mungkin ekstrem kanan atau organisasi lain. Tentu ini juga semata bentuk tanya. Mengapa hanya karena kecelakaan membuat kisah seolah-oleh kejadian luar biasa? Mau menjadi 'martir"? Jika iya, oleh siapa? Jangan sampai ini selesai dengan ancaman pemecatan dan juga hukuman lainnya.
Ketegasan KSAD itu penting, namun juga jangan sampai berhenti pada kejadian itu saja. Sangat mungkin ini bukan berdiri sendiri. Kalaupun memang peristiwa spontan ngaco tanpa berpikir akan berkepanjangan, cukup aneh.
Berbeda ketika era Orba. Reformasi sudah lebih dua dasar warsa koq. Kemungkinan besar si prajurit sudah tidak tahu kebiasaan masa lalu, di mana tentara seolah atasan polisi dan rusuh dengan polisi itu prestasi.
Paradigma baru yang dibangun, patut mendapatkan apresiasi. Di mana korp yang memang dibanggakan, jangan dirusak oleh anggota sendiri. Selama ini, demi korps, lebih cenderung mencari kambing hitam, dalih, dan diselesaikan diam-diam.
Sangat perlu dikawal juga, jangan sampai hanya panas di media, di depan, dan penyelesaian juga masih sama saja. Diplomasi media saja yang seolah-olah baik.Â
Jika melihat pangkat yang terlibat sih tidak akan hanya lip service. Bagaimana kekerasan di sekolah kedinasan, dan bahkan akademi tentara dan polisi terjadi. Penyelesaian juga tidak menyeluruh.
Pemecatan, juga perlu denda untuk menanggung seluruh kerusakan dan kerugian. Mengapa harus negara lagi dan lagi yang harus menombok perilaku jahat?Â
Hal yang sangat sering terjadi. Perusakan, pembakaran, dan kekonyolan rakyat, negara yang nombok. Mulai ulah bonek, pembakaran kantor polisi atau pos polisi, perusakan markas ini dan itu. Semua negara, kan sangat ngaco.
Sama juga dengan merebut jenazah covid, atau pesta pribadi, namun negara yang harus menanggung beaya perawatan dan pengobatan. Sama juga korupsi padahal. Bagaimana tidak, ketika abai menjaga diri dan malah seolah menantang, tetapi lagi-lagi negara yang membeayai?
Langkah taktis KSAD memang layak diapresiasi. Seharusnya hal demikian yang lebih lama terjadi, sehingga negara dikelola dengan profesional. Permainan politik pribadi dan kelompok mulai dikurangi. Rakyat menjadi penguasa sesungguhnya, bukan semata penonton yang dimanfaatkan semata demi pemilu.