Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Memperolok Diri ala Demokrat

18 Agustus 2020   19:16 Diperbarui: 18 Agustus 2020   19:24 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik  Memperolok Diri Ala Demokrat

Beberapa kali Demokrat seolah mau melakukan "serangan' pada pemerintah, namun mentah di tengah jalan. Tentu artikel ini tak hendak mengatakan pemerintah mesti benar dan kritikan bahkan nyinyiran itu pasti salah. Tidak demikian. Namun, bagaimana Demokrat menampilkan permainan politiknya yang sangat lemah dan bahkan serangan pada diri sendiri.

Seolah pantun berbalas oleh mereka sendiri. Satu menyerang, satu memberikan sebuah nasihat, tidak perlu demikian. Ini sih main dua kaki. Aneh dan lucu sebenarnya perilaku mereka ini. Bagaimana tidak,  ketika mereka menjadi penguasa 10 tahun toh tidak lebih baik. Atau karena malu hal-hal yang terlihat seolah tidak bisa kini dengan relatif mudah tertangani?

Tampaknya hal ini yang lebih kuat untuk memberikan sebuah kemungkinan faktual perilaku politis mereka. Lucu saja sebenarnya. mereka itu tahu persis karena pernah memerintah selama 10 tahun dengan capaian yang sama-sama diketahui publik juga paham. Jangan lupa ini era sangat terbuka, atas nama demokrasi bisa apa saja. Informasi dengan sangat mudah dan juga murah bisa ditemukan dan diakses.

Era sudah bukan lagi otoriter semua dalam kendali pemerintah seperti perode kegelapan lalu. Mau klaim seperti apa, dengan mudah, cepat dan akurat pembanding sudah diketemukan. Contoh soal pernyataan Ibas yang mengatakan dulu, era si babe, ekonomi meroket. Tidak perlu lama jawaban dari warganet terutama sudah membanjiri lini massa media sosial.

Perbandingan dengan era sebelumnya, bahkan dengan luar negeri. Sangat wajar, klaim yang dengan mudah terbantahkan. Nah tidak heran, dalam jangka waktu yang belum begitu lama, Pak Beye turun gelanggang dan mengatakan, jangan menyalahkan Pak Jokowi. Lha lha....ha..ha..

Layak melihat dua hal untuk membahas judul di atas. Satu sudah diulas pernyataan Ibas yang dengan cepat seolah diralat SBY. Kedua, mengenai komentar pakaian adat yang dikenakan Jokowi saat HUT Kemerdekaan. Aneh dan lucu, ketika kader Demokrat malah mengngkit bahwa daerah yang pakaian adatnya dipakai Jokowi adalah daerah terkorup. Patut dilihat lebih  jauh adalah,

Mau mendeskreditkan dan merongrong keberadaan pemerintah. Namun sayang, apa yang disoroti adalah masalah korupsi. Mengapa itu adalah blunder?

Pertama, memangnya korupsi hanya terjadi di era Jokowi? Apakah lupa siapa saja yang masuk bui ketika Demokrat memerintah? Baru juga Nazarudin lepas. Artinya mereka menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri. Masalah korupsi memang memrihatinkan, namun dengan mengusik soal korupsi, bisa dimaknai seolah maling berdasi ini hanya kali ini terjadi.

Kedua, nah kebetulan atau lupa, yang memerintah di sana rekan partai sendiri. Ini jauh lebih parah. Bagaimana bisa mereka menuding pihak lain, namun malah mengarah pada diri sendiri. Akan berbeda jika menggunakan soal penegakan hukum atas perilaku intoleransi.

Contoh, bagaimana mereka sukses memenjarakan Rizieq dua kali. Aneh dan lucunya mereka malah tidak pernah menggunakan kebanggaan ini. Atau  hanya permainan semata? Jadi bertanya-tanya saja mengapa memenjarakan Rizieq dua kali tidak menjadi sebuah kebanggaan, di depan Jokowi dan jajarannya yang seolah tidak berdaya?

Telak ketika menyoal korupsi. Kondisinya tidak lebih baik kog. Pun soal pertumbuhan ekonomi juga dengan mudah dibantah oleh netizen tidak perlu pakar ekonomi yang bicara.

Ketiga, mohon dengan segala hormat, menyebut mendiang Almarhum Ibu Ani. Kehilangan Ibu Ani membuat Pak Beye dan Demokrat seperti Anang ditinggalkan KD, separuh jiwanya hilang. Limbung, salah prediksi, salah bicara, dan salah demi salah yang beruntun. Keberadaan mendiang demikian sentral ternyata.

Ditambah lebih banyak kader yang hanya mencari aman dan bukan kelas petarung. Mereka diam di belakang Pk Beye dan yes man atas apapun yang Pak Beye dan anak-anak lakukan. Mirisnya sering salah. AHY- Anisa soal puteri dan lock down awal pandemi. Ibas mengenai pertumbuhan ekonomi beberapa waktu lalu.

Kadernya pun bicara tidak karu-karuan. Maunya menyerang dan itu malah kekuatan Jokowi atau kelemahan Demokrat sendiri. Posisi mereka ini bukan lagi partai besar, jadi jauh lebih baik adalah membangun dengan kekhasan sendiri, tanpa perlu mau mereduksi apa yang Jokowi bangun.

Memang mudah, murah, meriah adalah melawan orang gede, sudah mapan, diliput media pula. Hal yang juga sering dilakukan artis, pelaku media sosial ketika mau merangkak naik, atau mau membrandingkan diri. Bertikai dengan artis, tokoh, atau pihak lain. Iklan murah.

Masalahnya adalah Jokowi tidak melawan atau merespons itu sesuai dengan  harapan mereka. Jika ada tanggapan akan menjadi santapan dan membangun narasi pemerintah atau rezim panik. Kesabaran Jokowi memang hebat. Ini kekuatan yang tidak dimiliki SBY. Mereka berpikir pola sendiri, baperan dan kemudian reaktif.

Berkali ulang saya mengambil analogi, Demokrat memukuli tiang pancang cor-coran pada pribadi dan kepemimpinan Jokowi. Cenderung suara menggema namun tidak berdampak. Berisik dan menggangu iya. Ini salah satu ekses demokrasi yang masih latihan lagi.

Demokrat jauh lebih bijak konsentrasi membangun diri sebagai partai anak muda yang militan. Menggelorakan semangat demokrasi, dari pada mengganggu laju pemerintahan. Menjadi oposan yang berkelas, bukan ikut-ikutan demokrasi cemar asal tenar.

Melakukan kritik yang berdasar  dan mereka juga mampu melakukan. Salah satunya sudah ada di atas soal pemidanaan Rizieq. Itu gaungkan, lha malah diam. Bicara korupsi ya jadi bulan-bulanan.

Tidak usah baper, sehingga melihat pilihan Jokowi berbaju adat berganti-ganti malah jadi sensi dan kemudian blunder memperolok diri. Malu karena dulu tidak melakukan? Ya tidak usah diambil ati. Begitu banyak ragam masalah yang perlu dicermati dan dibenahi. Memangnya kalau memberikan ide perbaikan itu jelek ya? Tidak, itu promosi murah juga.

Paradigma berpolitik bangsa ini masih sebatas mengolok, bukan memberikan sebuah kritik membangun. Sayang, 75 tahun merdeka namun feodalisme lebih kuat dan kentara.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun