Mumtaz Rais dan Maklumisasi Arogansi
Kemarin riuh rendah soal percekcokan anak Amien Rais dengan kru pesawat dan berkepanjangan berhadapan dengan salah satu wakil ketua KPK. Malas sebenarnya mau membahas, toh ujung-ujungnya juga begitu-begitu saja, salah paham pihak kru sudah memaafkan, salah komunikasi, dan tetek bengek tidak mutu lainnya. Ujungnya meterai 6000.
Tanda-tanda itu sudah mulai terlihat, ketika rekan elit Mumtaz di PAN mengatakan emosi ada orang lain ikut campur. Ini poin penting yang membuat akhirnya menunda dua tema demi menuliskan ini. Arogansi.
Kisah yang selalu berulang. Ada yang minta pesawat balik kanan karena pejabat telat. Kisah lain pejabat atau kerabat pejabat memukul kru karena dinasihati. Â Kog lagi-lagi terulang.
Penerbangan dan apapun jasanya, benar penumpang adalah raja, atau konsumen adalah raja dalam konteks pelayanan. Soal keamanan jelas lebih paham adalah pegawai atau kru, apapun itu. Tidak lagi konteks raja dan hamba. Ketika si raja juga taat azas, kepentingan umum, bukan semata egoisme sendiri. Inilah masalah yang perlu disikapi dan dijadikan pedoman.
Feodalisme ala reformasi. Miris, ketika anak era 80-an dan 90-an namun perilakunya seperti orang tahun 30-an. Buat apa reformasi kepresidenan saja, tetapi perilaku anak bangsa masih BI-ADAB, arogan ala jalanan, dan juga  mengandalkan kekuatan dan kekuasaan.  Miris.
Pejabat sudah seharusnya menjadi contoh, teladan, dan memberikan keteladanan dan bukan malah sebaliknya. Ini soal peraturan internasional, berkaitan dengan keselamatan. Miris. Keamanan bersama dikalahkan oleh egoisme sepihak, yang merasa sebagai pejabat tinggi.
Kan perjalanan, semua relasi, rekan, dan kerabat sudah tahu sekian jam. Tulis dalam status media sosial, media percakapan, dan apapun demi pemberitahuan sedang dalam perjalanan.
Status medsos hanya pamer. Pihak lain juga kadang enggan membaca, dan memaksakan kehendak. Toh hanya berapa saat sih.
Permisif. Selalu terulang, ini jelas bukan soal penumpang ngeyel semata. Termasuk perilaku ugal-ugalan, fitnah, hoax, intimidasi dan persekusi. Ujungnya hanya maaf, bukan bermaksud begitu. Paling menjengkelkan membawa-bawa agama dan spiritualitas ngaco.
Bagaimana pengampunan dan pemaafan menjadi demikian murah, demi perialu kriminal. Nanti bisa-bisa membunuh orang hanya minta maaf karena bisa meyakinkan publik bukan bermaksud membunuh.