Penghargaan untuk Fahri dan Fadli, Profesionalisme dan Kejawaan Presiden, serta "Ngarepwan"
Riuh rendah pro-kontra soal penghargaan untuk Fadli Zon dan Fahri Hamzah pada puncak peringatan hari kemerdekaan. Wajar, namanya negara demokrasi dan sedang belajar untuk itu. tidak ada yang luar biasa, lihat saja soal kecil saja bisa ribut dan ribet berkepanjangan.
Ada beberapa hal yang layak dilihat;
Layak tidak pengargaan itu bagi mereka berdua?
Wajar, tidak ada yang salah. Mereka pernah menjadi pimpinan dewan, soal ini kecelakaan sejarah dan demokrasi, toh presiden, ingat ini jabatan bukan pribadi Jokowi, menjalankan amanat UU. Jika presiden tidak memberikan penghargaan malah menyalahi kepantasan dan amanat negara.
Ingat, toh Fahri dan Fadli ini tetap memiliki pengagum dan penggemar fanatis. Lagi-lagi presiden menjalankan amanat bukan sebagai pribadi Jokowi atau pemimpin kelompoknya semata. Mereka tetap pujaan kelompok yang kebetulan bukan pemilih presiden. presiden itu pemimpin semua elemen.
Ada yang menyoal soal perilaku mereka yang tidak patut. Patut dan tidak itu ranah moral, bukan ranah hukum. Jika mereka pelaku kriminal, melanggar tata susila yang berketetapan hukum, keberatan ini layak didengungkan. Mengenai kasus Ratna Sarumpaet, toh kepolisian, MKD, dan jajaran tidak mempersoalkan itu.
Pelaporan mereka tidak ada, tidak ada tindakan hukum, baik hukum positif atau hukum etis, jadi keberatan penghargaan menggunakan alasan mereka bagian mendengungkan kasus hoax RS adalah salah. Kecuali mereka diseret ke peradilan dan kemudian menjadi pesakitan itu baru pas.
Jadi jangan berasumsi ketika berkaitan dengan hukum. Masalahnya adalah tindakan hukum belum ada bagi mereka berdua. Memang bagi sebagian anak negeri mereka adalah racun, toh bagi sebagian lagi mereka adalah madu. Simalakama demokrasi adalah ini. Suka atau tidak harus diterima.
Pantas atau tidak bukan Presiden tetapi adalah mereka yang menerima
Presiden menjalankan tugas, sehingga profesional menjalankan peran sebagai pemimpin. Tidak ada yang salah dengan presiden. Keberatan itu  layak didengar memang, toh yang menginginkan untuk diberi penghargaan juga tidak sedikit. Pilihan sulit presiden harus dijalankan.
Nah yang layak dinantikan adalah, sikap penerima penghargaan. Dulu ada beberapa tokoh yang menolak diberi penghargaan karena yang memberikan penghargaan itu dinilai cacat moral. Artinya bisa menolak dan menjadikan itu sebagai sebuah perjuangan demi membela nilai bagi mereka.
Simalakama bagi duo F, ketika menolak toh mereka selama ini juga tahu seperti apa perilakunya. Menolak juga mempermalukan bangsa, jika menerima mereka justru terbelenggu dengan sematan penghargaan atas prestasi dan warga negara terhormat. Susah sih berharap mereka menjadi lebih baik, berkata-kata dengan dasar, karena mereka juga memiliki pendengar yang harus disenangkan. Tidak semata kebenaran yang mereka bela, pendengar yang menyukai nyanyian mereka.
Konsekuensi
Ada sebuah opini dan pendapat, yang mengatakan, jika ini justru akan menjadi beban berat bagi Fadli dan Fahri. Tidak, mereka tidak akan peduli, mereka tahu selera pasar mereka. Sama juga mereka penyanyi jazz mendapatkan penghargaan tinggi, tetapi selera pasar laris dangdut koplok, mereka tetap akan menyanyikan ala koplo, tidak akan menyanyi jazz.
Opini lain mengatakan Jokowi Jawa dengan falsafahnya, mereka mana tahu keyakinan Jawa. Lagi-lagi itu bukan kesalahan presiden. Sama juga dengan dokter, tabib, atau orang yang menyembuhkan, tidak peduli obatnya mau dimuntahkan atau dibuang, tugas dokter dls itu adalah menawarkan dan memberikan bantuan untuk sembuh. Memberikan rekomendasi atau obat adalah tugas dan kewajiban mereka yang tidak berkaitan dengan jawaban atau respons, atau sikap pasien atau si sakit.
Lebih lucu lagi, ketika seorang relawan, mengaku relawan, ternyata kecewa dengan "tidak mendapatkan"apa-apa. Lha di mana relanya? Ngarep berarti. Mengapa menyimpulkan ngarep, ia mengatakan, jabatan-jabatan komisaris ini dan itu sudah terisi, menteri dan wakil apalagi. Ketika semua sudah terisi, eh penghargaanpun diberikan kepada pihak perongrong, buat apa membeli Jokowi. Lihat, bukan presiden tetapi pribadi yang dijadikan bahan.
Relawan, Â itu yang tidak ngarep. Akar katanya saja jelas, rela, relawan, orang yang suka rela, orang yang rela untuk membantu. Biarkan saja apa yang terjadi, mulai lagi dengan menata hidup kembali. Lho kan aneh, siapa suruh mengorbankan hidup. Mendukung ya dengan rasional, bukan bak babi buta. Apa iya elit sana tahu perjuangan kalian? Jangan-jangan merasa diri sangat berjasa dan layak mendapat imbal balik yang setimpal. Lagi dan lagi, di mana esensi rela-nya?
Apapun pemberian penghargaan itu dari sisi Presiden tidak ada yang salah. Pun si penerima juga tidak gugur haknya. Yang keliru adalah persepsi, dan pemahaman, serta penghayatan yang menglaim diri sebagai relawan yang ternyata ngarepwan.
Relawan itu ya mendukung apapun keputusan presiden sepanjang tidak melanggar hukum, tata susila, dan korupsi, serta nepotisme. Keputusan politik itu rumit, dan kadang relawan tidak mau tahu betapa susahnya presiden harus bersikap dan melangkah.
Layak teriak itu bukan untuk jabatan, penghargaan, atau demi mendapatkan sesuatu, tetapi ketika presiden sudah melenceng dari  Pancasila, UUD, dan turunannya. Parameternya jelas.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H