Baru saja ramai pemberitaan dan pembicaraan Partai Berkarya Muchdi Pr yang mendapatkan legalisasi dari Kemenkum HAM. Beberapa waktu lalu, ketika pihak Muchdi mengadakan munas dibubarkan Tommy dengan jajarannya. Cukup menarik apa yang terjadi ini. Seolah  hal yang mustahil terjadi, jika itu era Soeharto.
Sangat mungkin, dulu menteri yang datang untuk membubuhkan tanda tangan dan cap dalam proposal apapun yang ada nama Tommy di sana. Sejarah berubah, keadaan berbalik, dan kondisi yang sangat berbeda terjadi.  Penolakan dan  mengambil alih kekuasaan dari tangan Sang Putra Mahkota ini mungkin akan berkepanjangan.
Pembubaran munas saja jelas seperti apa yang terjadi. Mungkin masyarakat juga akan ingat ketika peristiwa Juli kala PDI Megawati dikudeta Suryadi. Perlakukan pemerintahan saat itu seperti apa. Tentu dengan pendekatan dan kondisi yang berbeda. Pengerahan massa tidak sama persis, tanpa korban jiwa pula. Sama-sama partai gurem pada massanya. Berbedanya adalah, keterlibatan ideologis yang berbeda.
Keterlibatan pemerintah juga sangat kecil berbeda jauh dengan masa itu. Alam demokrasinya juga berbeda. Pelibatan aparat militer sangat lain dengan kondisi waktu itu. Apa yang Tommy alami seolah pengulangan sejarah dengan lakon yang berbeda dan peran yang berlainan.
Tommy naik level menjadi penasihat. Hal yang sama juga dengan penyingkiran secara struktural. Peran penting itu ketua umum dan sekjend itu administrasi. Tetap di dunia demokrasi  coba-coba Indonesia itu ketua umum segalanya.  Apapun keadaanya, ketua umum yang memegang kendali. Mengatakan musyawarah atau kongres itu kan di atas kertas. Konkretnya ya ketua umum.
Ketua umum bicara habis perkara. Peran sentral yang sangat vital. Pencalonan apapun tetap di tangan ketua umum, apalagi jika itu adalah pilpres. Calon pertama dan utama ya ketua umum. Penasihat sih semata hanya mentereng di atas lembaran AD-ART, perannya tetap di tangan ketua umum.
Permainan politik yang berulang pula, ketika Berkarya ini potensi akan berpolemik dan berkepanjangan soal kepengurusan. Memang tidak akan sepelik P3 atau Golkar karena keberadaan partai nonkursi, dan juga tidak memiliki sejarah panjang baik ideologi ataupun sekadar penggembira. Hanya riak sebentar dan pemberitaan sejenak semata. Tidak cukup memberikan dampak.
Kemungkinan yang terjadi Tomy akan membentuk partai baru, jauh lebih efektif dan efisien. Rugi dia menuntut ke mana-mana, tetap susah mendapatkan posisi lebih baik untuk mendapatkan pengakuan. Lain, ketika P3 dan Golkar. Mereka memiliki banyak kader fanatis dengan ideologis kuat untuk saling berhadapan di dalam aneka bentuk perlawanan, baik yuridis formal ataupun aksi perebutan kantor.
Tepikan gengsi, Tomy lebih baik membiarkan perilaku Muhdi dari pada kejeblos pada keadaan lebih buruk. Gampangnya,mengapa mengurus gerbong bobrok, lebih baik memberi loko baru. Toh akan sama saja. Jualannya tidak laku. Masih begitu kuat dan kokoh, ingatan para korban era masa lalu. Benar masih juga banyak pemujanya. Tapi itu bukan karena apa-apa, hanya demi mengamankan aset dan ikut mendapatkan kue yang masih mengepul yang ditawarkan. Tanpa itu susah melihat besutan Tommy berkembang lebih jauh.
Kekuaatan finansial ternyata tidak cukup mumpuni untuk dapat mendapatkan apa yang diinginkan. Birokrasi yang tidak dialami Tommy selama ini membuatnya mati kutu. Sangat mungkin anak buah dan profesional yang ia sewa atau kadernya mampu melakukan. Jangan lupa, permainan politik, dan "karma" itu juga berlaku.
Melawan tidak berguna. Lihat pengalaman Golkar dan P3, dan jangan lupakan, siapa di balik perizinan parpol? PDI-P di sana. Jangan naif lah ketika berbicara politik. Ini tidak semata hukum dan legalitas di atas kertas. Permainan di balik layar juga berbicara.
Keberadaan Tommy dengan perlawaan soal uang yang potensial ditarik dari Swiss, penyitaan aset masa lalu cendana, makin ketatnya permainan tambang, dan model pat gulipat masa lalu, mulai ketat atau beralih peran. Tentu perlawanan itu akan sangat sengit. Rugi jika bersikukuh dengan Berkarya. Jauh lebih efektif membuat partai baru.
Peran Soeharto yang terlambat mempersiapkan pengganti  cukup berdampak kuat. Memang Tutut sudah magang cukup lama, namun bukan Tommy. Reputasi Tommy memang tidak semoncer Tutut dalam politik dan birokrasi. Itu masalah yang tidak disadari Soeharto almarhum kala itu. kini Tutut juga malah lebih ke belakang dari pada Tommy.
Lebih halus dan publik tidak banyak menyorot Tutut, sosial, politik, dan bisnisnya lebih "aman" dari pada yang dilakukan Tutut. Entah mengapa malah lebih memberikan panggung pada Tommy. Atau sekalian Titik  tanpa perlu lewat Gerindra dan Golkar.  Malah sangat mungkin bisa mendapatkan peluang.
Sangat mudah membuat Tommy mati kutu dalam berpolitik. Masa lalu sebagai napi, keluarga berantakan, relasi dengan para lawan jenis, bergangti-ganti pula, menjadi point buruk. Ingat bagaimana mabuknya agama dan moralitas di sini.
Ingatan para pelaku dan korban masih cukup kuat. Benar masih cukup banyak pemuja Pak Harto, toh tidak cukup signifikan untuk berbicara sebagai sebuah bekal untuk kontestasi setingkat pilpres. Nyatanya Tommy berangkat dari Papua dengan angka suara kecil, masih bisa pakai penguasaan kepala suku atau tokoh setempat padahal.
Layak dilihat apa yang akan terjadi bagi Tommy dan Berkaryanya. Permainan bisa usai atau panjang.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H