"Aku besok jadi cover,"
Hanya itu dan ditutup begitu saja. Frater yang mengajar di kelasnya tidak tahu dia berbuat begitu. Dia mengatakan tidak pernah menghubunginya.
Disela-sela studi kami, perlu namanya hiburan. Tanpa hiburan kami bisa pusing memikirkan Plato, Hugo, Descartes, Heideger, Aristoteles, Karl Mark, atau Kitab Suci yang tidak habis-habisnya kami kupas. Main kartu hiburan murah meriah. Segala model permainan kami mainkan untuk meregangkan otot dan menyegarkan otak kami.
Musim ujian menjadi musim flu. Flu sangat mudah menular. Sakit karena stres, tegang, dan capek belajar. Ujian lebih banyak lisan lagi. Biasanya dari sepuluh mata kuliah, enam hingga delapan itu lisan, hanya sebagian kecil yang tertulis. Jauh lebih letih belajar untuk ujian lisan. Ujian 10 menit persiapan satu semester.
Rekoleksi pertama. Panas dingin dan tegang berkepanjangan bagaimana mengisi rekoleksi, biasanya aku yang duduk mendengarkan ceramah, eh ini  aku yang melakukannya, sedangkan anak-anak sekolah yang mendengarkan. Rasanya mau pingsan saat kehabisan ide mau omong apa di depan audiens yang begitu banyak, pertama langsung 240 lho. Â
Sedikit cemas dan trauma ketika diminta mengisi lagi. Kali ini lumayan singkat, hanya 25 menit, pembuat groginya adalah anak-anak khusus asrama cewe, sekolah terbaik kota itu, bayangkan. Seksualitas bagi anak asrama cewe, sekolah menengah atas lagi. Membayangkannya saja sudah teror tersendiri. Hari itu, mereka datang, jatahku 25 menit, aku sudah mengerti alur pikir, materi, dan langkah-langkah yang harus kami jalani. Eh ternyata malah bisa 35 menit, menyaksikan audien malah bengong, ngowoh, ndomblong, mana pernah berpikir anak-anak terbaik di negeri ini  terkesima dengan pemaparanku. Pengalaman kedua yang membuatku makin pede berbicara di depan umum dan menjadi pemateri rekoleksi.
Setelah itu, bidel[3] rekoleksi selalu saja meminta aku mengisi di berbagai tempat dan bermacam golongan, satu aku angkat tangan anak sekolah Taman Kanak-Kanak. Mau apa dengan mereka diajak rekoleksi, memang kegiatan sederhana, seperti menggosok gigi, menyanyi, dan sejenisnya. Belum pernah aku mau menerima yang sekelas ini. Susah minta ampun. Biasanya pemateri rekoleksi tingkat empat, atau semester delapan ke atas. Aku sebagai frater paling yunior yang sering mengisi.Â
Terima Kasih dan Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H