5.Â
Praktek Mengajar
Studi di seminari menengah selama setahun lumayan cepat, meskipun jatuh bangun dengan dinamika yang baru. Jika ada yang mengatakan semua serba mulus, enak, karena semua panggilan Tuhan, ah itu sih namanya anak sekolah  dasar yang main drama Natal. Bayangkan coba tiba-tiba kamu masuk asrama yang semua teratur, tidur, bangun, makan, semua kegiatan detail semua lengkap diatur bersama. Tidak boleh menonton televisi dengan bebas, coba siapa yang mengatakan itu gampang?
Uang saku dibatasi, makan pun meskipun empat sehat lima sempurna, toh lauknya juga itu-itu saja. Lauknya hanya dua yang enak di sana, yaitu banyak teman dan lapar. Makan di rumah dengan lauk seperti itu, aduuuh ampun. Setelah melewati itu semua, paham dan beryukur atas karunia-Nya boleh makan seperti itu.
Jelas lebih nyesek tidak ada khabar satupun dari Angie, surat, apalagi telpon, tidak pernah datang. Liburan semester aku libur dua minggu, ke rumahnya, papa dan mama pun pindah ternyata. Pas telpon sesekali yang aku terima mereka tidak mengatakan apa-apa.
Turun beberapa kilo di awal-awal masuk sekolah, sangat wajar. Naik berkilo-kilo setelah bulan keempat, itu juga sangat biasa. Semua lancar, studi mulai berjalan dengan penuh, kesibukan rumah dan sekolah sama penuhnya. Setahun lewat, dan kini memasuki tahap pendidikan tinggi.
Aku memilih menjadi imam biarawan, tahap awal yang harus aku alami adalah penerimaan busana biara. Dalam hati kecilku, aku berharap Angie akan memberikan kejutan seperti kala mengantarku kandidatan waktu itu. Semua ternyata sia-sia, ia tidak datang. Aku benar-benar kecewa. Ini perjumpaan terakhir kami selama setahun, tidak boleh pulang sama sekali, kalau keluarga mau berkunjung sih memang bisa, namun melihat jarak dan usia Bapak dan Ibu, sangat tidak memungkinkan. Sebagai calon biarawan baru, hidup ku diisi dengan doa, dan studi persiapan untuk kuliah nanti. Nuansa religius sebagai status makin dikukuhkan. Doa lima kali sehari kami lakukan di dalam kebersamaan. Doa pagi, kami lakukan usai misa pagi, dilanjutkan dengan meditasi, doa atau ibadat bacaan, ibadat siang, ibadat sore, dan  ibadat penutup atau ibadat malam. Di sela-sela itu ada studi beberapa mata pelajaran, seperti menyanyi, Bahasa Inggris, pengembangan dan pengenalan diri, di mana dipakai untuk menyembuhkan luka-luka yang ada di dalam batin kami.
Setahun itu kami isi satu bagian utamanya dengan retret agung, retret selama sebulan penuh dengan diisi di dalam keheningan, tidak ada studi selain berdoa, bermeditasi, berkontemplasi mengenai kehendak Tuhan atas diri kami. Renungan Kitab Suci empat kali dengan sekali wawancara. Empat kali bacaan dengan empat kali meditasi masing-masing satu jam. Tentu hal yang menyenangkan, karena usai ini, kami masuk ke skolastikat[1] yang lebih banyak kemandirian. Studi menjadi fokus utama. Kedewasaan dituntut untuk membagi waktu studi, doa, dan kebersamaan dengan berimbang. Hal ini tidak mudah jika di novisiat tidak menjalankannya dengan baik.
Kaul pertama yang aku rindukan dengan harap-harap cemas. Bersama angkatan di dalam kebersamaan dengan Tuhan aku melangkah untuk mengucapkan kaulku yang pertama. Di dampingi Bapak dan Ibu, lagi dan lagi, Angie dan Papa Mama, tidak hadir. Aku melangkah mantab bersama-sama dengan dua puluh temanku untuk mengucapkan kaul yang sangat syahdu itu. Langkah dengan diiringi lagu  Kau Dipanggil Tuhan, satu demi satu memasuki gedung gereja. Misa kaul dimulai, superior[2] memimpin upacara ini. Saat itu tiba, aku melangkah dengan pasti dan mantab mengucapkan Saya, Frater Gabriel Harya Setyawan mengucapkan kaul untuk taat, miskin, dan suci untuk pertama kalinya. Itu dilakukan dengan bersujud dan surat yang aku ucapkan aku serahkan kepada superior sebagai simbolisasi ketaatanku, seketika mengucapkan dan melakukan.Â
Pesta usai, studi menjelang, dan ternyata sangat menyenangkan kuliah dengan pengantar Filsafat, Pengantar Kitab Suci, Sejarah Gereja, Pancasila, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Semua masih pengantar. Satu semester usai, sebelum boleh libur ke rumah selama dua minggu, kami retret dulu seminggu.
Pulang retret kami boleh berlibur ke rumah kami masing-masing. Libur pertama kali usai satu setengah tahun tidak pulang. Rasanya sangat kangen dan bagaimana rumah, peliharaan, dan lingkunganku. Tentu banyak sekali perubahannya.