Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti Gebrakan WS, Eks KPU

23 Juli 2020   21:03 Diperbarui: 23 Juli 2020   21:04 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanti Gebrakan Wahyu Setyawan, EksKPU

Kemarin, ada pernyataan yang dibuat bombastis ala media, mengenai keinginan Wahyu Setyawan, terdakwa kasus di KPU, mengenai penyuapan. Dalam persidangan ia mengajukan menjadi JC, justice collaborator, oleh media, ada yang membuat panas dengan judul dari Hasto, Megawati, hingga kecurangan pilpres akan dibongkar Wahyu Setyawan.

Tidak lama kemudian, tim pengacara meralat, soal  kecurangan pilpres itu pendapat pribadi salah satu anggota tim pengacara. Ada pula wacana untuk mencabut kuasa sebagai salah satu pengacara itu adalah pendapat pribadi.

Lucu dan miris melihat pola relasi pengacara-terdakwa-terpidana di Indonesia. Bagaimana relasi kuasa pesakitan  karena memiliki uang. Tentu saja ini kasus  khusus  uang dan korupsi. Beda dengan maling ayam.

Kelucuan dan miris berikutnya, jika benar itu pernyataan pribadi si pengacara, yang berujung  pemecatan, kog enak bisa memberikan tafsiran yang sangat politis seperti itu. Ingat, kondisi sedang riuh rendah dengan apapun presiden mundur atau ganti presiden.

Putusan MA yang sudah sekian lama pun dibawa-bawa pada kisah 19 yang sudah lampau. Apalagi hal ini. Menambah gaduh saja. Tidak penegakan hukum, namun sudah politis.

Keinginan dan pernyataan Wahyu Setyawan ini layak diharapkan benar-benar terjadi. Tidak hanya omong gede dan hanya pernyataan demi mendapatkan keringanan hukuman. Berapa saja para terdakwa atau terpidana korupsi  teriak akan ini dan itu. Toh semua juga hanya  bunyian kosong.

Antazari Azhar. Sampai hari ini juga tidak ada tindakan lanjutan. Penegak hukum masih juga terganggu dengan aksi dan kepentingan politik. Usai diberi grasi dan keluar penjara pernah kog ada pernyataan akan begini dan begitu. Toh semua menguap saja.

Selama persidangan juga mengatakan tidak merasakan melakukan ini dan itu. Toh tidak ada tindakan hukum lanjutan. Tentu pertimbangan siapa yang disasar dan jaminan dirinya menjadi penting.

Anas Urbaningrum. Awal di penjara ia mengatakan ini adalah lembaran pertama sebuah buku. Sekian tahun berikutnya halaman dua belum juga ""terbit."  Tidak ada yang terjadi selanjutnya. Padahal publik tentu berharap sangat banyak atas apa yang ia ketahui atau minimal bisa sedikit menguak apa yang sekiranya terjadi.

Mosok ketua umum partai, semua elit partainya masuk bui, tanpa melibatkan orang yang lebih gede lagi. Susah diterima akal sehat. Jika melihat gaya hidup, reputasi, dan juga keberadaan orang-orang yang sekiranya juga patut diduga terlibat.

Ada dua faktor. Siapa yang sekiranya menjadi sasaran tembak itu bisa melakukan apa saja  atas keberadaan pribadi dan juga keluarganya tentunya. Jika demikian, betapa ngerinya negeri ini. Katanya  negeri religius, namun apa bedanya dengan negeri  mafia. Penyelesaian hukum dan masalah adalah ada di tangan DON, bukan hukum.

Sisi lain, penjamin keselamatan dan keamanan dirinya sama sekali tidak ada. Lagi-lagi miris. Bagaimana negeri bisa sehat, jika kejahatan bisa berlindung dengan dan di dalam uang. Entah apa yang sangat menakutkan itu, sehingga lembaran kedua tidak juga terbit.

Setya Novanto. Ini pemain paling kalem, halus, dan tenang. Tidak banyak cakap. Hanya ada buku yang seolah sengaja dan ditenteng untuk bisa dikulik pewarta. Jaringan dia siapa yang bisa menyangkal. Sepak terjang sejak era Orba telah ia lakoni. Artinya betapa luas dan liatnya jaringan yang pernah bekerja sama.

Aman dan tidak akan kekurangan kekuatan untuk berbuat apa saja. Toh masih kalah dan akhirnya juga diam saja. Tidak banyak ulah lagi. Menerima keadaan dengan segala konsekuensinya.

Wahyu ini pun sangat pesimis akan membawa perubahan. Jalan di tempat saja yang ada. Bagaimana bisa bersih, jika wasit saja sudah tembus untuk disuap. Susah bisa mengharapkan banyak manusia-manusia baik untuk mengelola negeri. Mengapa? Orang baik biasanya enggan main uang. Rugi dan tidak patut menjadi pertimbangan.

Orang baik cenderung juga tidak punya uang. Jika demikian, ya sudah orang buruk yang mempunyai segalanya yang mengelola negeri. Makin hari makin banyak orang yang tidak baik malah memiliki kuasa.

Orang baik tentu juga tidak akan mau menggunakan jalan buruk. Nah di sinilah repotnya. Gampang membuang orang baik itu ya dengan jalan jelek yang disodorkan mereka akan menjauh sendiri. Karpet merah untuk si jahat sudah terbentang.

Pesimis Wahyu bisa berbuat banyak dan mengatakan seluruh apa yang telah terjadi. Coba jika  para pelaku kejahatan ini memiliki keyakinan tiji tibeh, tiba siji tiba kabeh, jatuh saja jatuh semua. Malah cenderung pasang badan untuk pihak lain.

Sayang, apalagi di dalam persidangan juga tidak kemudian menyeret pihak-pihak yang telah disebut terlibat di dalam kejahatan itu. Kerugian negara makin banyak, ketika penanganan setengah hati.

Selama  kehendak baik, kuat, dan mau berubah belum ada susah berubah budaya korup itu. Utopis mengatakan bebas korupsi, namun paling tidak, bukan dominan dan segala urusan ujung-ujungnya doit.

Politis dan agama menjadi masalah untuk membenahi negeri yang akut dengan masalah korupsi ini. Apakah akan sama saja  pernyataan Wahyu ini?

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun