Ma, Ade Anakmu, Bukan Anak Tetangga
Ade anak yang sehat, tidak gemuk-gemuk amat, namun tidak juga kurus. Cakep, bersih, ceria, dan paket komplet bagi anak seusianya. Ia juga jago dalam menenangkan kelas yang ramai. Guru terbantu dengan keberadaannya. Pagi-pagi ia sudah datang dan menyapa guru dan rekannya dengan sepenuh hati, senyum tidak pernah lepas dari bibir dan matanya.
Bapak Ade seorang arsitek muda yang sukses. Berseliweran di media baik media arus utama apalagi media sosial. Membahas kesuksesannya merancang hunian yang murah namun terkesan mewah. Hampir semua lapisan menyenanginya. Apalagi juga melayani konsultasi membuat bangunan dan taman secara gratis melalui media sosial.
Sungguh beruntung memang Ade memiliki orang tua yang sempurna, minimal idaman lah. Ibunya konsultan kesehatan yang sama pamornya dengan suaminya. Mengelola ruang kesehatan dan desain dengan apik yang sangat laris.
Sempurna dalam pandangan awam. Apa yang kurang. Cara berkomunikasi mereka juga sangat cair, humoris, dan menarik. Idola banget pokoknya. Acara favorit banyak kalangan.
Wajar jika  Ade memiliki sikap dan perilaku sangat positif seperti itu. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Itu pengenalan kami bertahun lalu, kala masuk di kelas pertama SD.
Kini belasan tahun kemudian, ketika aku dengar Ade tidak lulus SMP. Cukup kaget bahkan shock, ketika ada undangan dalam sebuah acara amal. Undangan untukku, dari sebuah lembaga yang cukup terkenal. Dan itu adalah lembaga nirlaba alias lembaga sosial bikinan Ade.
Malam itu, usai undangan aku terima, Ade datang ke rumah.
Bel berbunyi, aku melangkah membukakan pintu. Kaget, bingung, siapa di depan itu.. Hanya senyum  dan binar mata itu tidak pernah terlupa dari benakku.
Ia masih tetap anak yang sama, cakep, bersih, dan makin keren di usia matangnya. Jauh lebih dewasa dari usia kebanyakan dan sedikit tirus. Mata bercahaya dan optimis yang makin terpancar.
"Selamat malam Ibu Ade," sapanya sambil cium tanganku dengan penuh penghormatan dan aku merasakan lelehan hangat di sana.