Konon, hampir semua partai di Solo akan mendukung Gibran, usai PDI-P secara resmi mengusung putera Jokowi itu. Secara konstitusi tidak salah. Sah-sah saja, kecuali ada pasal yang mengatur, bahwa partai perolehan suara atau kursi sekian persen, tidak boleh sekadar mendukung. Namun harus mengusung pasangan sendiri.
Pengalaman Risma di Surabaya yang sampai berlarut-larut akan terulang. Biasa ketika penyakit parpol yang itu-itu juga terjadi. Masih pokok ikut kue pemerintahan, kekuasaan, dan kursi jabatan menjadi yang utama. Mengenai pematangan kader dan kaderisasi nanti dulu.
Beberapa masalah dalam parpol di Indonesia
Fokus itu menang kursi. Mau siapa calonnya, bahkan rival ideologis sekalipun tidak peduli. Contoh sangat banyak bisa dicari sendiri. Mereka, parpol ini enggan melakukan pertaruhan politik.Â
Padahal esensi berpolitik kan salah satunya meraih kekuasaan, dalam koridor tentunya kader sendiri. Berapa banyak kader yang bisa bicara lebih jauh dibandingkan orang "luar" selama ini?
Masih mengejar popuritas, bukan kapasitas. Tentu bukan mau mengupas kapasitas Gibran dalam artikel ini. Namun mereka sama saja calon dan partai politik sama-sama takut duluan menghadapi nama besar Gibran. Tanpa embel-embel Jokowi, Gibran sudah memiliki massa. Reputasinya di media sosial yang cukup banyak menaguk simpati. Ini bukan main-main.
Usia Gibran yang muda, aktivis medsos, membuat parpol dan calon juga negper duluan. Ini pasar yang sangat menjanjikan. Partai politik pasti tahu dengan baik. Tidak susah bagi PDI-P untuk menggeber popularitas ini untuk menjadi elektabilitas. Berani "menyingkirkan" Purnomo yang sudah memiliki dukungan dari DPC ini bukan soal sepele.
"Rivalitas" antara DPC dan DPP yang ada tidak sekeras dan serigid di Jakarta. Tidak menjadi persoalan besar untuk mengubah keadaan. Jakarta selain kasus yang dikaitkan, kecenderungan Solo juga haya elit. Akar rumput  tidak ada masalah. Nama Gibran jauh  lebih menjanjikan.
Hanya saja memang, keterlambatan Gibran, mengapa tidak sejak awal ikut tahapan sebagaimana mestinya. Ini sih bisa jadi artike lain. Berbeda dengan  ulasan kali ini. Tidak terlalu sulit mengubah kecelakaan kecil ini menjadi soal yang berlebihan.
Malah sangat mungkin menjadi iklan gratis dengan model pendekatan yang ada. Namanya juga politik. Semua bisa dimainkan menjadi kekuatan. Â Nah kembali kepada penyakit partai politik yang ada.
Satu saja fokus partai politik itu menang kursi apapun keadaannya. Tidak mau susah-susah kalah untuk pembelajaran kader dan pendidikan politik. Jangan heran semua partai akan mengusung dan mendukung calon yang sudah hampir pasti menang.
Cukup berbeda, ketika pilkada Solo dengan calon Jokowi-Rudy periode dua. Mereka bisa dipastikan menang. Apapun yang terjadi rakyat pasti memilih pasangan ini. Tidak ada masalah yang terjadi. Pembangunan dan perubahan juga signifikan jelas nampak.
Secara politik, sosial, tidak ada masalah yang menghambat. Kemenangan itu hampir pasti. Namanya juga dunia, tidak patut mengatakan pasti. Susah menemukan celah untuk kalah. Selain pembangunan, sosok Jokowi juga sangat tenar. Media pun suka lagi, jadi pemberitaan baikitu selalu.
Memang ada Demokrat yang gengsi gede, plus ada sebagian kecil pihak yang malu jika tidak maju. Lumayan jadi demokrasi berjalan sebagaimana adanya. Tidak cukup normal juga sih sebenarnya. Lumayan demi bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Ribet, ketika nanti Gibran ini malah melawan kotak kosong. Sangat kecil kemungkinan rakyat Solo main-main dan Gibran kalah terhadap kota kosong, mengapa?
Alasan untuk menolak Gibran tidak cukup kuat. Memang ada suara-suara tidak setuju berkaitan dengan anak Jokowi yang lagi menjabat. Isu dinasti yang tidak cukup nyaring juga. Toh kapasitas Gibran juga sudah tampak, bandingkan dengan AHY. Pun yang dijadikan sasaran pun sekelas kota.
Rival politik juga tidak cukup kuat untuk sekadar  melakukan "boikot" tentu dalam arti yang sangat khusus. Mempermalukan diri partai politik sendiri, jika melakukan tindakan ini. Riskan malahan. Sejak awal partai-partai gede sudah menggadang-gadangnya. Mosok mau memecundangi sendiri.
Kinerja mesin partai politik PDI-P, Solo lagi cukup mumpuni. Belum lagi relawan yang suka dengan Gibran tentu akan kerja keras untuk itu. Alasan tidak cukup kuat untuk memperkirakan kalah melawan kota kosong.
Masalah justru pada model partai yang enggan kerja keras dan mengandalkan ketenaran sosok yang dipoles menjadi elektabilitasnya tinggi. Percuma menjadi kader partai berjenjang jika demikian. Lha untuk apa coba? Ini masalah klasik partai di Indonesia.
Setiap gelaran ramai dan riuh rendah kedatangan orang antah barantah ke kantor partai mengaku tenar, bisa bekerja, dan ujungnya amburadul. Hal demikian terjadi di mana-mana. Pusat dengan kementrian pun relatif sama.
Masalah parpol ini akan susah jika tidak disadari sebagai persoalan. Seolah-olah baik dan benar adanya. Padahal kan tidak. Kepemimpinan itu proses, bukan instan yang menjengkelkan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H