Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Dukungan pada Gibran

19 Juli 2020   19:36 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:00 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup berbeda, ketika pilkada Solo dengan calon Jokowi-Rudy periode dua. Mereka bisa dipastikan menang. Apapun yang terjadi rakyat pasti memilih pasangan ini. Tidak ada masalah yang terjadi. Pembangunan dan perubahan juga signifikan jelas nampak.

Secara politik, sosial, tidak ada masalah yang menghambat. Kemenangan itu hampir pasti. Namanya juga dunia, tidak patut mengatakan pasti. Susah menemukan celah untuk kalah. Selain pembangunan, sosok Jokowi juga sangat tenar. Media pun suka lagi, jadi pemberitaan baikitu selalu.

Memang ada Demokrat yang gengsi gede, plus ada sebagian kecil pihak yang malu jika tidak maju. Lumayan jadi demokrasi berjalan sebagaimana adanya. Tidak cukup normal juga sih sebenarnya. Lumayan demi bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Ribet, ketika nanti Gibran ini malah melawan kotak kosong. Sangat kecil kemungkinan rakyat Solo main-main dan Gibran kalah terhadap kota kosong, mengapa?

Alasan untuk menolak Gibran tidak cukup kuat. Memang ada suara-suara tidak setuju berkaitan dengan anak Jokowi yang lagi menjabat. Isu dinasti yang tidak cukup nyaring juga. Toh kapasitas Gibran juga sudah tampak, bandingkan dengan AHY. Pun yang dijadikan sasaran pun sekelas kota.

Rival politik juga tidak cukup kuat untuk sekadar  melakukan "boikot" tentu dalam arti yang sangat khusus. Mempermalukan diri partai politik sendiri, jika melakukan tindakan ini. Riskan malahan. Sejak awal partai-partai gede sudah menggadang-gadangnya. Mosok mau memecundangi sendiri.

Kinerja mesin partai politik PDI-P, Solo lagi cukup mumpuni. Belum lagi relawan yang suka dengan Gibran tentu akan kerja keras untuk itu. Alasan tidak cukup kuat untuk memperkirakan kalah melawan kota kosong.

Masalah justru pada model partai yang enggan kerja keras dan mengandalkan ketenaran sosok yang dipoles menjadi elektabilitasnya tinggi. Percuma menjadi kader partai berjenjang jika demikian. Lha untuk apa coba? Ini masalah klasik partai di Indonesia.

Setiap gelaran ramai dan riuh rendah kedatangan orang antah barantah ke kantor partai mengaku tenar, bisa bekerja, dan ujungnya amburadul. Hal demikian terjadi di mana-mana. Pusat dengan kementrian pun relatif sama.

Masalah parpol ini akan susah jika tidak disadari sebagai persoalan. Seolah-olah baik dan benar adanya. Padahal kan tidak. Kepemimpinan itu proses, bukan instan yang menjengkelkan.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun