UU MLA dan Jalan Panjang Menarik Uang Haram Kembali dari Swiss
Dua presiden dan menjelang empat periode pemerintahan, akhirnya UU MLA sah, kemarin diketok DPR RI. Jalan panjang dimulai dari 2007, ketika Presiden SBY bertemu Presiden  Konfederasi Swis, di Istana Negara Jakarta.
Tahun 2010 kembali ada pembicaraan itu, namun kemudian hilang bak ditelan bumi. Baru tahun 2015, pergantian presiden menjadi momentum untuk mengupayakan kembalinya dana yang sangat besar ini.  Perundingan di Bali  ini dibalas denga kunjungan dan pembicaraan di Bern Swiss pada Agustus 2017. Pada 4 Februari 2019, kedua Menteri Hukum dan HAM Indonesia dan Menteri Kehakiman Swiss menandatangani perjanjian MLA, di Bern Swiss.
Awal Juli 2020, DPR, melalui panja dan Kemenkumham telah menyetujui RUU untuk dibicarakan dalam sidang paripurna DPR-RI. Ketika ini sudah selesai dengan mulus, tidak akan riuh rendah lagi dalam paripurna. Benar, kemarin, 14 Juli DPR-RI mengesahkan UU MLA, kerjasama antara Indonesia-Swiss untuk menyelesaikan masalah kejahatan keuangan.
Dengan syahnya UU dengan Swiss ini, sangat mungkin terbuka untuk juga membuat UU kerjasama dengan banyak negara, di mana orang-orang Indonesia menempatkan uang dan aset ilegal mereka. Jadi jangan kaget begitu gencar ontran-ontran terjadi akhir-akhir ini. Deligitimasi Jokowi, menggunakan isu UU, RUU macam-macam, covid, dan banyak lagi, ujungnya adalah perlindungan aset dan dana yang sangat mungkin bisa terampas untuk negara.
Dampak politis yang sangat berat. Wajar jika sekian lamanya seolah jalan di tempat semata. Menyaangkut kekuatan uang yang bisa melakukan apa saja. Jaringan yang bisa dibeli, termasuk hukum. Jaminan konstitusional memang sudah ada. Itu tentu menjadi kekuatan untuk mendapatkan apa yang telah diambil dari negara dan seyogyanya dikembalikan kepada yang berhak, yaitu negara.
Apakah mudah? Tentu tidak. Perlawanan baik legal atau ilegal tentu dilakukan. Persoalan politis sejak prapilpres hingga akhir-akhir ini, susah dilepaskan dari masalah ini. Jauh dari soal Jokowi-Prabowo. Atau nasionalis-radikalis. Ini semua adalah perlawanan koruptor plus orang-orang yang tidak rela negara ini baik-baik saja.
Kebetulan ada orang-orang radikalis yang bisa mendapatkan panggung untuk membuat keadaan tidak nyaman. Siapa menunggangi atau siapa yang menjadi pengendali, ini semua ketersalingan. Yang pasti, jika sukses mereka akan saling patahkan dan serang sendiri.
Saatnya kolaborasi KPK, Kejaksaan, Kepolisian, Kemenkeu, dan juga Kemenlu, serta Kemenkumham untuk menjalankan amanat UU ini demi mengembalikan kekayaan bangsa. Jangan takut dan kalah dengan tekanan para penyeleweng amanat negara di era lampau.
Tekanan publik, politik, dan model lainnya makin menguat. Isu segala isu muaranya Jokowi lengser. Haduh, capeknya negeri ini, bagaimana bisa orang yang maling, pelanggar hukum. Tamak lagi, namun mampu menggerakan massa untuk melakukan ini dan itu.
Kolaborasi antarlembaga mendesak dilakukan. Jangan sampai upaya panjang dan melelahkan ini mentah oleh perilaku enggan bekerja keras oleh segelintir oknum demi mendapatkan fee dari sana. Hal yang akan selalu terulang. Dulu ketakutan bayangan, dasar hukum, dan sejenisnya.