Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

UU MLA dan Jalan Panjang Menarik Uang Haram

15 Juli 2020   18:32 Diperbarui: 15 Juli 2020   18:34 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

UU MLA dan Jalan Panjang Menarik Uang Haram Kembali dari Swiss

Dua presiden dan menjelang empat periode pemerintahan, akhirnya UU MLA sah, kemarin diketok DPR RI. Jalan panjang dimulai dari 2007, ketika Presiden SBY bertemu Presiden  Konfederasi Swis, di Istana Negara Jakarta.

Tahun 2010 kembali ada pembicaraan itu, namun kemudian hilang bak ditelan bumi. Baru tahun 2015, pergantian presiden menjadi momentum untuk mengupayakan kembalinya dana yang sangat besar ini.  Perundingan di Bali   ini dibalas denga kunjungan dan pembicaraan di Bern Swiss pada Agustus 2017. Pada 4 Februari 2019, kedua Menteri Hukum dan HAM Indonesia dan Menteri Kehakiman Swiss menandatangani perjanjian MLA, di Bern Swiss.

Awal Juli 2020, DPR, melalui panja dan Kemenkumham telah menyetujui RUU untuk dibicarakan dalam sidang paripurna DPR-RI. Ketika ini sudah selesai dengan mulus, tidak akan riuh rendah lagi dalam paripurna. Benar, kemarin, 14 Juli DPR-RI mengesahkan UU MLA, kerjasama antara Indonesia-Swiss untuk menyelesaikan masalah kejahatan keuangan.

Dengan syahnya UU dengan Swiss ini, sangat mungkin terbuka untuk juga membuat UU kerjasama dengan banyak negara, di mana orang-orang Indonesia menempatkan uang dan aset ilegal mereka. Jadi jangan kaget begitu gencar ontran-ontran terjadi akhir-akhir ini. Deligitimasi Jokowi, menggunakan isu UU, RUU macam-macam, covid, dan banyak lagi, ujungnya adalah perlindungan aset dan dana yang sangat mungkin bisa terampas untuk negara.

Dampak politis yang sangat berat. Wajar jika sekian lamanya seolah jalan di tempat semata. Menyaangkut kekuatan uang yang bisa melakukan apa saja. Jaringan yang bisa dibeli, termasuk hukum. Jaminan konstitusional memang sudah ada. Itu tentu menjadi kekuatan untuk mendapatkan apa yang telah diambil dari negara dan seyogyanya dikembalikan kepada yang berhak, yaitu negara.

Apakah mudah? Tentu tidak. Perlawanan baik legal atau ilegal tentu dilakukan. Persoalan politis sejak prapilpres hingga akhir-akhir ini, susah dilepaskan dari masalah ini. Jauh dari soal Jokowi-Prabowo. Atau nasionalis-radikalis. Ini semua adalah perlawanan koruptor plus orang-orang yang tidak rela negara ini baik-baik saja.

Kebetulan ada orang-orang radikalis yang bisa mendapatkan panggung untuk membuat keadaan tidak nyaman. Siapa menunggangi atau siapa yang menjadi pengendali, ini semua ketersalingan. Yang pasti, jika sukses mereka akan saling patahkan dan serang sendiri.

Saatnya kolaborasi KPK, Kejaksaan, Kepolisian, Kemenkeu, dan juga Kemenlu, serta Kemenkumham untuk menjalankan amanat UU ini demi mengembalikan kekayaan bangsa. Jangan takut dan kalah dengan tekanan para penyeleweng amanat negara di era lampau.

Tekanan publik, politik, dan model lainnya makin menguat. Isu segala isu muaranya Jokowi lengser. Haduh, capeknya negeri ini, bagaimana bisa orang yang maling, pelanggar hukum. Tamak lagi, namun mampu menggerakan massa untuk melakukan ini dan itu.

Kolaborasi antarlembaga mendesak dilakukan. Jangan sampai upaya panjang dan melelahkan ini mentah oleh perilaku enggan bekerja keras oleh segelintir oknum demi mendapatkan fee dari sana. Hal yang akan selalu terulang. Dulu ketakutan bayangan, dasar hukum, dan sejenisnya.

FPI, nikel, dan juga ancaman barat dan Amrik biasanya membuat keder, ketakutan, dan akhirnya mendiamkan saja semua kekayaan negeri dicolong. Jangan salah, elit juga kebagian. Jangan merasa kalau tanda tangan kontrak yang tidak adil bagi negara itu tidak ada bagi-bagi doit di sana. Itulah model makelar oleh para elit negeri ini yang terjadi.

Landasan hukum cukup kuat, lebih dari cukup. Hanya perlu menanti keberanian dan nyali penegak hukum dan jajaran untuk mengambil dana yang lebih dari tiga kali APBN bangsa ini. uang sangat gede untuk bisa melakukan apa saja.

Jangan sampai nanti malah seperti pembubaran HTI. Bubar seperti bubarnya upacara dan tanpa upaya untuk mengatasi itu. Kini benar organisasinya bubar, namun masih eksis dan lebih ngaco, dan seolah pembiaran oleh penegak hukum yang ada.

UU MLA yang sangat strategis ini jangan kemudian menjadi UU muspra tanpa ada tindak lanjut. Di mana semua usaha dikerahkan, namun penegak hukum yang terlibat diam saja. Diam karena sudah mendapatkan bagian atau ketakutan atas bayangan itu semua bisa terjadi.

Pemutihan atas pidana sangat mungkin. Asal kooperatif dan uang dikembalikan. Jangan sampai kemudian tawar menawar dan menguap begitu saja. Kini, sih tidak demikian buruk kinerja pemerintahan. Rekam jejaknya selama ini kelihatan. Harapan besar masyarakat, semoga bukan hanya isapan jempol dan hitam di atas putih semata.

Melihat perlawanan makin masif dan sengit. Komunis yang mati saja dibangkit-bangkitkan, kon nampaknya merekaa memang sudah putus harapan. Asa untuk bisa bertahan makin kecil, dan ujungnya ya delegitimasi atas pemerintah.

Gugatan yang sama sekali  berkaitan dengan hasil pilpres pun dipaksa-paksakan. Padahal Gerindra sebagai rival utama politik tidak menganggap itu sebagai sebuah peluang. Pilpres sudah final. Toh masih ada yang menggunakan. Siapa itu? kebaca orang-orang yang berkaitan dengan masalah Bank Swiss.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun