Mencermati Keinginan Rocky Gerung
Dua hal dinyatakan Rocky Gerung berkaitan dengan kabinet. Satu ia mau dan sanggup menjadi Menteri  Hukum dan HAM. Kedua, ketika menjadi menteri mau membubarkan kabinet. Layak dicermati dengan rekam jejaknya selama ini. Soal pantas atau tidak, toh namanya politik ya sama saja. Ulasan bukan soal pantas atau tidak, namun ada apa?
Yang pertama mengenai kesiapan menjadi Menkum HAM. Beberapa hal layak dicermati.
Jadi ingat adik teman, usai kelas dua SD, kalau ada temannya bermain ia nangis. Usai si teman pulang pasti bicara mau dibunuh. Apakah ia tahu membunuh dan kakaknya menasihati dengan mengancam dilaporkan polisi? Jelas tidak demikian. ia belum paham apa yang ia katakan. Mirip dengan Rocky Gerung.
Satu, kapasitasnya. Tentu pendidikan dalam bidang hukum itu mutlak. Sama sekali tidak ada latar belakang Rocky Gerung mengenai hukum. Bicara HAM pun tetap berkaitan erat dengan hukum. Ini bukan soal pembatasan hak, namun yang namanya kapasitas itu ya jelas.
Dua, jangan bandingkan kemudian dengan mantan Menteri Susi Pudjiastuti. Berbeda. Menkum HAM cenderung menteri teknis, kemampuan hukum dan segala perangkatnya itu mutlak dikuasai. Saya ragu Rocky Gerung hafal satu saja pasal dari KHUP.
Tiga, perundang-undangan di Indonesia ini ngaco, dan pembenahan sekian lama seolah masih jalan di tempat. Terobosan demi terobosan ala Jokowi masih mentok di tangan jajaran di bawahnya. Mau apa dengan Rocky yang tidak tahu apa-apa.
Empat, keren juga, lupakan soal kapasitas, toh kesanggupan ini perlu diapresiasi. Lha masalahnya siapa yang mau mengangkatnya? Ini beda ulasan tentu saja. Lebih susah lagi, ketika mengaku siap di pos Menteri Hukum dan HAM. Lha apa pengalamannya selama ini berkaitan dengan dua bidang gede itu?
Lima, inilah esensi demokrasi, orang bebas bicara. Asal siap juga bertanggung  jawab. Jangan kalau jatuh menghina dan memfitnah tiba-tiba menjadi lembek dan merengek. Bebas mau jadi apa saja, asal juga bebas dan mau terima tidak didengarkan.
Enam, gerbong yang membawa Rocky Gerung apa? Jika orang parpol, kapasitas mungkin masih bisa didongkrak oleh kader dan bahkan partai secara penuh. Lha ini? Orang parpol bukan, pendukung utama juga bukan, apanya yang menjadi dasar. Ketika kapasitas saja jauh.
Soal kedua membubarkan kabinet. Lha katanya mau jadi Menteri Hukum dan HAM. Kog dasar konstitusi saja tidak paham. Yang bisa membubarkan atau mengganti kabinet kan hanya presiden. lha piye to? Identik bukan dengan adik teman tadi.
Posisi Menkum HAM itu menteri, di bawah koordinasi menko, jelas pembantu presiden. Nalarnya di mana menjadi menteri kemudian membubarkan menteri atasan dan rekan menteri yang lama. Ngakunya profesor tetapi nalarnya kog seperti ini?
Apa yang disampaikan itu semata olok-olok. Mencari perhatian. Anak-anak yang mainannya minta ganti. Ia mengatakan apa saja asal didengar bapaknya untuk mendapatkan mainan seperti yang ia inginkan. Soal bapaknya mendengar atau tidak, ya beda sudut pandnag tentunya.
Ada yang meledek, ketika mau jadi menteri, banyaklah  menjelek-jelekan pemerintah. Tidak pas juga. Strategi kooptasi dalam kementrian hanya ada pada Rizal Ramli. Lainnya tidak demikian. Gerindra yang oposan keras pun tidak pernah demikian. Apalagi Eddy Prabowo, sama sekali tidak pernah terdengar.
Prabowo dalam masa kampanye ya tahu sendirilah namanya kampanye. Memang di KSP dan duta besar dugaan itu ada benarnya. Beberapa, bukan dominan. Benar mereka berteriak dengan sangat kencang dan menjadi pendiam. Toh masih juga banyak yang demikian tidak dibawa serta.
Demokrat, sekencang apapun susah masuk kabinet. Ada gap yang susah dijembatani di antara Mega dan SBY. Berbeda dengan Gerindra atau Golkar. Kalau modal nyinyiran kenceng mengapa bukan Fadli Zon. Atau Karni Ilyas.
Benar kooptasi itu strategi paling mudah dan murah dalam politik. Tapi tidak semua juga perlu dan layak dilakukan kooptasi. Dampak yang ditimbulkan dengan pribadi atau kelompok itu diam atau ribut merusak mana itu saja.
Masih banyak oposan lebih dari oposan, seperti Said Didu, Rizal Ramli, toh mereka juga tidak pernah dilirik masuk dalam jajaran apapun, baik kabinet, BUMN, atau sekelas duta besar. Pertimbangan masak presiden dan tim tentu lebih menyeluruh.
Politik itu tidak gampang. Hitung-hitungan bukan matematis, tetapi otak, kepala, dan kepribadian orang. Siapa yang bisa menerka dengan tepat dan mutlak mengenai orang. Itulah politik sebagai seni, bukan harga mati.
Apa yang disampaikan Rocky Gerung sih lucu-lucuan sebagai seorang anak negeri demokrasi. Bebas sebebas-bebasnya mengatakan apa saja. Mau jadi apa saja juga merdeka. Nah apakah presiden mau mendengarkannya? Itu soal lain. Toh tidak  banyak alasan yang bisa menguatkan Rocky Gerung bisa menjadi menteri.
Mau mengatakan caper, lha orang tua. Mau mengatakan serius, lha tidak ada dasar. Mosok mengigau, tidur pun tidak.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H