Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Genitnya Oposan Menanggapi Reshuffle Kabinet

3 Juli 2020   18:50 Diperbarui: 3 Juli 2020   18:51 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Genitnya Oposan Menanggapi Kemungkinan Reshuffle Kabinet

Beberapa waktu lalu, presiden memberikan sebuah sentilan bagi kinerja para menteri.  Sikap dan penyerapan anggaran dalam kondisi pandemi yang cenderung tidak sesuai harapan. Raami-ramai media dan media sosial menggunakan kata marah bagi presiden. Lha memangnya presiden tidak boleh marah, jika anak buahnya tidak bekerja dengan baik?

Lucu dan aneh sebenarnya, mengapa orang dan juga media berlomba menyajikan presiden atau Jokowi marah? Malah tidak memberikan warta kemarahan itu mengapa. Toh bisa paham dengan kondisi kekinian dengan berbagai isu dan celah untuk menjatuhkan wibawa pemerintah.

Secara politis, langsung orang dan parpol berlomba untuk unjuk gigi, merasa layak, pantas, dan menampilkan citra baik untuk bisa masuk pada kabinet. Makin lucu partai pengusung dan pendukung pemerintah malah adem ayem, eh oposan pada genit dan merasa seolah-olah pasti ada reshuffle atau diajak serta. Tapi namanya ngarep dan pengin sih bebas to ya....

Parpol pengusung dan pendukung adem ayem. Sangat tidak mungkin presiden tidak berbicara kepada ketua umum partai politik yang mengusungnya dalam pilpres. Semua tentu ada tata krama, etika, dan kepatutan. Itu yang tampaknya terjalin dengan baik selama ini. kecenderungan harmonis dan tidak ada yang aneh-aneh. Lucu malah yang di luar pada caper dan seolah gadis yang melihat cowok sedang jomlo.

Tanpa perlu membahas para ngarepwan dengan label relawan. Lha ngarep jabatan dan kursi kog ngaku relawan, itu namanya ngarepwan. Itu tidak usah diulas wong sudah jelas.

PKS. Entah ini pancingan pewarta yang memang menggoda, sempat terlontar kalau PKS tidak mau masuk kabinet. Lha iyalah, tidak tertarik, wong tidak ada yang menawarkan. Lucu saja respons cepat seolah ada yang mau mengajak. Mengapa kecenderungan sengaja PKS dialienasikan?

Satu, mereka selalu ngotot menolak Pancasila. Aneh dan lucu memang, enggan mengakui Pancasila namun tetap ikut dan hidup dalam alam Pancasila. Entah model macam apa pola mereka ini.

Dua, dulu, awal-awal presiden PKS dijabat Sohibul Imam, kisaran 2015, mereka sudah mencoba mendekat ke istana. Mengekor ala PAN dan ternyata tidak ada sambutan yang cukup untuk bergabung.

Tiga, mereka ini termasuk lebih ugal-ugalan dalam menjadi oposan dibandingkan Gerindra periode lalu. Apalagi sekarang karena hanya mereka yang memiliki cukup keberanian untuk oposan dan waton sulaya.

Empat, setiap isu melengserkan presiden, ada saja oknum PKS yang ikut atau meramaikan. Lha kondisi seperti ini tentu tidak layak untuk masuk dalam kabinet.

Lima, sudah pengalaman bagaimana SBY kewalahan menghadapi perilaku kasar ala PKS di dalam kabinet namun juga menjadi oposan lebih galak dari PDI-P kala itu. Sangat tidak layak masuk rekomendasi masuk kabinet.

PAN.

Lucu lagi ini, setali tiga uang dengan PKS, main dua kaki dalam banyak kesempatan. Periode lalu dengan licik atay cerdik, bisa mengirim satu wakil di kabinet namun juga dapat kursi pimpinan di DPR dan MPR. Sangat mungkin Zulhas akan mengulang hal yang sama. Apalagi kini sang besan yang seolah menjadi batu sandungan untuk mendekat pada Jokowi sudah terpental.

Mantu Zulhas dan anak Amien Rais menyatakan kesiapannya masuk menjadi salah satu menteri. Pertanyaannya adalah, kapasitas dan pengalaman apa untuk menjadi menteri? Sangat riskan dengan model PAN yang demikian, apalagi orang tidak cukup pengalaman.

Sama sekali tidak cukup alasan membawa PAN masuk kabinet, dengan kemungkinan makin hancur, ketika loyalis Amien Rais berdiri sendiri. Mumtaz belum cukup memiliki jaringan dan juga kecakapan untuk menjadi seorang menteri. Masih terlalu hijau dalam banyak hal, pengalaman dalam memimpin pun masih meragukan.

Berbeda jika Soetrisno Bachir yang masuk. Ini soal soliditas di dalam kabinet saja. Toh sangat tidakefektif dengan koalisi tambun. Tidak perlu menambah rekan koalisi kalau malah memecah keadaan yang sudah relatif baik. Masalah baru bukan mengurangi persoalan, tentu penting.

Demokrat

Tidak ada pernyataan lugas soal ini, tetapi melihat perilaku ugal-ugalan Demokrat dalam banyak isu, terutama pandemi, lebih baik tidak usah. Biar saja ribut di luar. Toh kontribusi mereka sebagai pemimpin saja nol, apalagi ikut dalam gerbong.

Paling-aling juga AHY kalau ditawarkan masuk kabinet, itu juga masih meragukan kapasitasnya. Jadi lebih baik tidak usah. Posisi sejak awal berseberangan, buat apa coba disatukan.

Pada lain kasus, sama juga memelihara anak macan untuk pilpres 2024. Menyiapkan karpet merah dan itu merugikan partai lain yang berjuang mati-matian dalam pilpres 2019 kemarin. Sangat tidak adil bagi PDI-P atau Golkar, tanpa mengecilkan PKB, Nasdem, atau partai lain. Kemungkinan ada pada dua partai ini yang bisa berbicara lebih banyak. Kader dan suara yang cukup signifikan. Tentu bersama Gerindra.

Jika benar mau mengadakan reshuffle jauh lebih baik malah memasukan dari profesional untuk mengisi pos-pos yang memang harus profesional. Susah mengharapkan orang parpol bisa bekerja dengan lepas kepentingan. Tentu bukan antiparpol, namun sangat berat kinerja orang parpol selama ini.

Mengajak partai baru, sama juga menambah satu masalah, karena sangat mungkin menyingkirkan satu partai atau malah profesional terdepak. Ini tentu merugikan bukan malah menambah kekuatan untuk pembangunan.

Saatnya membangun bukan lagi bagi-bagi kursi. Sudah cukup tahun-tahun yang lalu dengan pola pendekatan parpol yang tidak konsisten bagi negara dan bangsa. Mereka cenderung memilikirkan partai dan nama baik untuk pemilu, bukan kepentingan negara.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun