Ustad "Anak Kardinal" Lulusan Injil Vatican School, Gereja Jangan Diam
Tadi dalam sebuah grup percakapan ada rekan membagikan video. Merasa tidak tertarik biar saja, ada pembicaraan tanpa tahu alur, lewat begitu saja. Ternyata rekan Kner membuat status dalam media sosial, karena menyangkut kata Injil dan Vatikan, wah ada apa ini, ternyata ada lelucon baru.
Kali ini, ada lulusan Undip yang mendapat beasiswa ke Roma, Vatikan, Italia untuk studi teologi alias perbandingan agama. Ia mengikuti jejak bapak ibunya lulusan sana. Sah-sah saja sih mau mengaku apa saja, toh negara demokrasi. Masalahnya adalah, jangan membangun karakter, citra diri, dengan sebuah kebohongan.
Masih lah diterima nalar, ketika membualnya itu tanpa melibatkan komunitas atau agama lain. Contoh banyak demikian. Tetangga saya menyebarkan bisa berdiri di pucuk pohon bambu untuk menarik minat lembaga pendidikannya. Tidak ada yang dirugikan dengan khabar itu, meskipun belum ada bukti atau saksi yang memberikan bukti itu adalah fakta. Atau kisah-kisah heroik dan di luar akal dan nalar. Sepanjang tidak merugikan siapapun, masih lah tutup mata dan telinga. Tidak pula kriminal.
Beberapa hal yang layak dicermati bersama,
Pertama, soal Kardinal itu siapa, jelas orang ini tidak  paham. Di Indonesia ada tiga Kardinal, satu sudah almarhum, satu pensiun, dan satu masih aktif yaitu Mgr Ignatius Kardinal Suharyo. Ketiganya dapat diyakini bukan model pribadi yang penuh skandalum, jadi omong kosong jika memiliki anak. ia menyebut nama bapaknya juga Ignatius, bukan menglaim Mgr Suharyo juga sih, masih cukup waras.
Kedua, lagi-lagi kekacauan pikir ala --ala pencari panggung sama dengan Bangun dan Indra, di mana Katolik dan Kristen saja tidak paham. Bagaimana bisa mengaku anak Kardinal tetapi sekaligus katanya Ketua Missionaris Kristen Indonesia. Mengapa lucu? Jika Katolik, merujuk pada Vatikan dan Kardinal, tidak ada awam menjadi ketua misioaris. Semua ada dalam naungan KWI.
Klaim pendeta termuda Asia Tenggara pula. Bagaimana bisa pendeta studi ke Vatikan, di mana pusat Katolik berada. Sangat mungkin ada pendeta studi di sana, namun bukan orang ini.
Ketiga, kekacauan gelar akademik. Lagi-lagi cenderung orang tidak  cukup berpendidikan nampaknya, karena ada Insinyur dan Mater Teologi. Bagaimana mungkin si bapak seorang insinyur sekaligus mater, kelihatannya mau mengatakan master. Sangat mungkin sih ada pastor berpendidikan insinyur, tetapi tidak ada gelar mater teologi di sini.
Keempat, ia mengaku lulus 2000 dari Undip namun mengaku bergelar insinyur, sependek ingatan, gelar insinyur sudah selesai sejak 1990an. Lha lulusan jauh sebelum 2000an saja sudah Sarjana Teknik. Pun tidak ada seminari mengenakan gelar  Sarjana Teologi di Indonesia. Beberapa kampus menggunakan Sarjana Sastra ikut rumpun sastra dan beberapa ikut Sarjana Agama, toh tidak banyak yang menyematkan gelar ketika menjadi pastor.
Lima,  jurusan tafsir Injil jelas ngaco. Injil itu dalam mata kuliah saja dibagi dalam dua mata kuliah dengan bobot SKS yang berbeda. Injil  Sinoptik dan Injil Yohanes. Bagaimana ada jurusan Tafsir Injil. Akan lebih masuk akal adalah Jurusan Kitab Suci, pun masih ngaco karena banyaknya cabang untuk itu. Artinya jelas ngarang alias tidak ada.
Pendidikan lain, teologi atau perbandingan agama. Ini lagilagi lebih ngaco, teologi bukan perbandingan agama. Teollogi Ilmu mengenai Tuhan, bukan perbandingan agam. Jauh banget sebenarnya. Hanya memperlihatkan ketidaktahuan.
Enam, beasiswa gereja ke Roma, Vatikan, usia dari Undip. Jalur pendidikan ke Roma, hanya bisa ditempuh usai sarjana filsafat-teologi dari seminari-seminari di Indonesia. Itu lewat ordo-tarekat, keuskupan. Ia jelas tidak tahu hal itu mengaku dari Undip dibeasiswa gereja ke Roma. Kemungkinan sangat-sangat kecil.
Tujuh, Bangun Samudra dulu mengaku lulusan S3 Vatikan, sudah ramai-ramai dibantah dan dinyatakan di Vatikan tidak ada kampus. Benar kampus adanya di Roma, luar Vatikan, mengapa masih ada klaim berulang?
Orang tidak akan kaget, kagum, dan menjadi besar jika hanya mengaku lulusan Roma, sangat sekular, berbeda makna ketika mengaitkan dengan Vatikan. Ada unsur sentimen agama terbawa ke sana.
Delapan, masih banyaknya orang yang mabuk dengan agama, sehingga dengan mudah menggunakan agama apalagi pindah agama untuk menjadi tokoh di tempat lain. Sangat  bisa dipahami ketika beragama belum mencapai esensi kemanusiaan, hanya sebatas label dan cenderung memisahkan dengan mencari-cari perbedaan.
Sikap Gereja pasti sangat mungkin menilai hal yang sangat tidak penting. Tidak akan memberikan tanggapan. Namun sangat perlu ada sikap resmi untuk mengatakan kebenaran. Mengapa? Gereja jangan ikut membiarkan kesesatan dengan model demikian. Ini sudah kesekian kalinya.
Tentu bukan  dan tidak harus KWI, bukan kapasitas mereka, namun ada pernyataan dan sikap resmi ang dinyatakan oleh minimal pastor mengatakan klarifikasi, bagaimana pendidikan, jenjang imamat, dan bahkan mana yang ngibul atau tidak itu bisa dideteksi dengan mudah.
Penipuan dengan mengaku pastor itu banyak dan biasa. Â Cinta kasih itu memberikan kesempatan dan pengampunan, namun bukan berarti membiarkan kejahatan merajalela pula. Gereja memang tidak terpengaruh dengan kata-kata orang, namun memberikan pencerahan itu juga penting.
Bagi rekan-rekan Muslim. Bukan bermaksud merendahkan, namun jauh lebih baik jika belajar ya pada guru, ustad, dan kyai yang jelas belajarnya. Ini tentu bukan soal agama, namun cara beragama yang tidak tepat.
 Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H