Pihak yang berdiri berseberangan pun kampanyenya keras dengan jargon komunis. Malah ada dua kepentingan atau bahkan lebih jika dari dalam dan luar. Jika keadaan demikian makin  ribet siapa yang akan menjadi pengganti. Beda kala era Gus Dur itu.
Keenam. Kondisi Amrik yang cukup santer menjadi tertuduh kala itu. Bisa iya bisa tidak, toh memang kepentingan mereka banyak juga. Kini mereka jauh lebih parah dan payah. Susah melihat mereka mampu dan sekuat kala itu di dalam banyak hal. Gagasan, uang terutama, atau ahli untuk mengatur strategi. Sumber daya dan sumber dana untuk melindungi kepentingan mereka tentunya.
Keadaan mereka jauh lebih buruk. Tidak mungkin bisa berbuat lebih untuk tanah seberang. Mereka sendiri saja kacau dan belum tentu bisa menyelesaikan dengan lebih cepat. Isu komunis sih biasanya mereka.
Ketujuh kondisi secara umum, baik politik, sosial, dan keamanan jauh berbeda. Waktu itu masih sedang tahap eforia dan semua merasa mampu menjadi presiden. Berapa banyak saja nama-nama dalam usia emas untuk menjadi RI-1. Keadaan itu tentu saja menggiurkan.
Kini, mereka-mereka itu sudah usai. Terlewat jauh, dan tidak lagi cukup kuat untuk banyak hal. Tokoh kekinian juga tidak banyak yang mampu dalam banyak hal untuk siap menggantikan posisi RI-1 dengan cara bukan pemilu.
Tidak cukup kuat fakta yang mengaitkan pergantian presiden jika dari lingkungan dalam pemerintahan saat ini. Jauh lebih mungkin sisi oposan yang terdiri atas berbagai elemen yang memang memiliki rekam jejak cukup panjang dan mudah ditemui. Mau yang halus atau kasar ada semua.
Saatnya membangun. Pergantian presiden ada mekanismenya. Kalah dan menang politik itu lima tahun, jika memang memiliki pendukung ya ikut pemilu, bukan hanya gaduh dan mengganggu.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI