Kemarin, ada dua pernyataan dari pengamat politik, bahwa kemungkinan empat kelompok dari sisi oposan sangat mungkin mengadakan pemakzulan. Tidak lama kemudian ada yang mengatakan dari dalam istana justru lebih mungkin. Sah-sah saja mau siapa juga bisa dan mungkin, namanya juga prediksi.
Seberapa kuat dan didukung data dan fakta itu pembeda dan menemukan nilai logika, bukan semata ngasal dan prediksi kosong. Toh masih banyak analisis ngasal tapi banyak menjadi rujukan dan dibagikan ke mana-mana. Ya boleh saja, namanya juga alam demokrasi. Siapa saja bisa berbuat apa saja, bicara apapun dan dijamin oleh UU.
Menarik untuk mengulik lebih jauh soal dari istana, istilah untuk pendukung pemerintah, bukan sisi oposan yang hendak menggantikan presiden. Ketika dikatakan cara menggulingkan Gus Dur akan diterapkan. Beberapa hal layak dilihat lagi;
Pertama, era Gus Dur penggatian presiden itu sangat sederhana. MPR bersidang dan menolak pertanggungjawaban presiden selesai. Komposisi MPR nantinya dilihat pada poin lain. Poin ini melihat bahwa penggantian presiden sangat mudah. Mengapa 32 tahun Soeharto tidak jatuh? Karena MPR itu semua dari tangan Soeharto siapa-siapanya. Mosok orang yang ia pilih mau menusuk dari belakang, jelas tidak mungkin.
Ada fraksi ABRi kala itu, jelas ini orang Soeharto, dengan Golkar dan Utusan Daerah, sudah tiga sendiri yang atas usulan dan perkenanan Soeharto. Bagaimana mereka mau mendongkel Soeharto. Kondisi yang masih cukup identik ini yang membuat almarhum Gus Dur tergantikan.
Kedua, komposisi, selain dari model Orba adalah, pemenang pemilu, PDI-P kala itu yang menguasai parlemen, sekaligus MPR tentunya bisa kalah loby ketika kemenangan Gus Dur berarti juga kekalahan Mega. Kondisi seperti ini jelas mudah disulut untuk bisa merasakan tampuk kekuasaan. Plus yang dulu memenangkan Gus Dur juga menggosok-gosok keadaan.
Ahli-ahli itu tidak ada semua di dalam keadaan saat ini. Tidak cukup mudah memainkan MPR seperti era lampau, apalagi komposisi MPR sekarang juga tidak cukup reaktif menghadapi pemerintah. Kondisinya tidak cukup seideal ketika masa pemerintahan Gus Dur.
Ketiga, alasan yang dicari-cari masa itu , toh memang tidak terbukti hingga kini. Kondisi yang sama juga terciptta bahkan dari 2014. Mulai isu keturunan, simpatisan PKI, atau tidak bisa memimpin dan sejenisnya. Lha nyatanya pemilu juga langsung menang. Upaya tuntut sana tuntut sini tidak bisa juga, malah dagelan di MK ketika saksi-saksi ngaco. Ini bukti sahih semua tidak terbukti.
Era Gus Dur masih belum seterbuka sekarang dalam banyak hal. Dugaan yang kecil disematkan selesai sudah. Lha kini, semua terbuka, transparan, dan semua bisa melihat dan dilihat lagi. Pembuktian makin mudah, artinya tuduhan asal-asalan mungkin, tetapi menjadi bahan untuk menggulingkan tidak  mudah.
Keempat, pemilihan MPR dan langsung jelas berbeda. Kekuasaan itu mandat rakyat, bukan lagi mandat Majelis. Kini MPR hanya menjadi salah satu komponen, bukan hakim tunggal. Nah  kini, rakyat memiliki andil untuk juga mengawal. Salah satu buktinya adalah "hukuman" yang diberikan kepada media yang selama ini dinilai tidak cukup bertanggung jawab atas pemberitaan. Kekuatan ini juga sama, akan mengawal dan mengikuti alur ke mana para pelaku yang mungkin saja mendongkel pemenang pemilu.
Kelima, posisi Megawati dan KHMA berbeda sangat jauh. Tidak usah lebay bicara kapasitas atau agama. Hanya bicara posisi politik antara keduanya yang jauh berbeda. Susah untuk melihat upaya itu jika dari kubu pemerintah sendiri.