9 Alasan Fadli Zon Oposan Lebih Oposan
Prabowo masuk kabinet banyak pihak yang merasa akan kehilangan hiburan. Iya hiburan dari Fadli Zon yang dipikir akan diam dan tidak banyak mulut lagi. Sudah banyak  terbukti ketika orang banyak omong kemudian mendapatkan jabatan, menteri, direksi atau komisaris di BUMN, atau staf ini dan itu tiba-tiba jadi alim dan pendiam.
Bahasa politiknya kooptasi telah berhasil. Istilah kasarnya bisa dikenyangkan, mulut menyuap makanan akan tidak banyak omong. Pun sebaliknya, ketika dihentikan dari jabatan, baik karena skandal, kasus, atau sudah saatnya ngaso menggeliat lagi, omong banyak, padahal kinerjanya nol besar. Siapakah itu? Nah itu bukan bagian ulasan kali ini.
Politik gaduh, brisik, dan ribut-ribet kurang makna memang masih harus kita hadapi danjalani. Kecenderungan untuk waton sulaya dan merasa diri selalu lebih benar itu juga bagian utuh. Demokrasi yang masih ajaran, politikus abai etik dan paradigma demokrasi serta kebebasan, meskipun abai akan jati diri memang masih harus terjadi. Perilaku munafik, standart ganda, dan memainkan narasi  prosedur dan mengelabui hukum itu masih kental menjadi panglima.
Membahas salah satu tokoh oposan lebih dari oposan yang ada ya Fadli Zon. Ini bukan soal tidak boleh mengritik pemerintah. Sebutkan satu saja kritik Fadli Zon yang mendasar dan dia punya sedikit saja celah solusi, jika mau mengatakan mengapa tidak boleh mengritik pemerintah. Wong kritik itu begitu banyaknya, tapi lebih banyak yang asal dan bukan mendasar.
Tampaknya alasan-alasan berikut lebih mendekati mengapa perilaku Fadli Zon demikian;
Satu, berkaitan dengan kabinet. Fadli yang di depan media selalu keras, seolah berseberangan dengan Jokowi, toh dalam beberapa kesempatan sejatinya memiliki sebentuk respek. Minimal sebelum pilkada DKI 2012. Baik-baik saja, kemungkinan masuk kabinet itu gede. Tentu ia bukan jeles dengan Prabowo, tetapi Eddy Prabowo. Mana berani ia iri dengan Prabowo Subianto kan.
Nah Eddy Prabowo ini dibandingkan Fadli Zon bukan siapa-siapa jelas. Apalagi di depan media, ketika menyerang Jokowi dan pemerintah, haduh sama sekali jauh, bak langit dan bumi. Eh malah nama Eddy Prabowo yang menjadi menteri.
Dua, posisinya kini pun bukan siapa-siapa di dewan pun partai. Pimpinan dewan yang bisa menyatakan apa saja, memiliki palu sakti, kini anggota biasa. Kewenangan jelas jauh berkurang. Sangat terbatas. Sebenarnya kalau sadar diri banyak hal dia seharusnya malu. Melontarkan pernyataan yang jauh dari tugasnya.
Kebiasaan dulu sebagai pimpinan yang memiliki panggung dan palu sakti, susah hilang dan tentu berlanjut. Wong Prabowo saja pernah mengatakan dan mengakui susah mengendalikan yang satu itu. Yang lainnya memang tidak semasif Fadli Zon.
Tiga, bukan pula juru bicara partai. Kebiasaan omong Fadli cocok jika menjadi jubir Prabowo sebagai menteri ataupun partai. Toh keduanya tidak diberikan kepada Fadli Zon. Tentu ini ada sesuatu yang dipahami dengan baik oleh Prabowo. Makanya ia mengangkat diri menjadi jubir rakyat, entah rakyat yang mana, ataukah rakyat di dapilnya? Toh selama ini ia tidak pernah terdengar mengawal aspirasi dapil, tapi aspirasi dan mengulik Jokowi dan pemerintah semata. Apakah jubir pribadi? Nah hanya dia yang tahu.
Empat, ada agenda lain. Partai, Gerindra dan Prabowo semata alat bagi dia. Beberapa alasan bisa dikemukakan untuk menjadi dasar tersebut. Gerindra memiliki dasar dan ideologi partai nasionalis. Kebersamaan Fadli Zon jauh lebih erat pada kelompok ultrakanan, terutama dalam isu-isu berkaitan dengan penegakan hukum pada kasus tertentu. Cek sendiri dari pada nanti ada yang menuduh membahas agama yang sama.
Lima, agenda lain bisa saja kesamaan ideologis, sebagaimana dalam buku biografi Gus Dur, dituliskan kebersamaan Fadli Zon itu dengan kelompok ultrakanan bahkan sejak era Orde Baru. Ketika itu saja dia sudah bersama-sama dengan mereka, apalagi dalam kondisi bebas ala demokrasi bablas seperti ini.
Ideologis fundamentalis, Â kebersamaan dijalin sejak masa lalu, jika menjadi agen atau mata-mata bagi pemerintah saat itu, kurang mendapatkan dukungan selanjutnya. Nyatanya tidak ada tindakan apapun, malah dukungan baik terbuka ataupun pastinya jaringan personal. Tidak kurang data untuk melihat itu.
Enam, bersama Cendana. Prabowo sekali lagi adalah alat. Nah Cendana cenderung lebih mendasar. Bagaimana narasi komunis ia juga termasuk paling jagoan. Siapa yang jagoan memaikan narasi komunis? Cendana dan lagi-lagi ultrakanan yang hendak menangguk keuntungan dengan phobia yang ditanamkan Orde Baru puluhan tahun.
Tujuh tipe perusak, lihat saja siapa yang membangun negeri ini akan menjadi sasaran tembaknya. Ada Ganjar yang ia nyinyiri hanya sekadar mengatur lalin. Jokowi jangan dibahas lagi, SMI, padahal jelas-jelas dunia percay reputasinya, bisa ia katakan tukang cetak uang dan utang. Atau Susi yang sampai debat dan ia tidak berdaya itu.
Lucunya ia tidak pernah malah membahas apalagi mengritisi rekannya Eddy Prabowo, atau Anies Baswedan. Tipe perusak kog ada kemungkinan lebih pas ia lakoni, melubangi perahu ia ia naiki.
Delapan, pengamat. Ia pengamat yang jitu. Mengamati negarawan dan birokrat pekerja yang perlu diserang untuk dikerdilkan. Politik ala kepiting, mencapit yang potensial untuk dilemahkan. Suaranya bisu pada pimpinan daerah yang buruk tapi garang pada yang memimpin dengan cerdas. Â Pengamatan ala lalat dan kecenderungan cacing yang hanya masuk pada kotoran bukan untuk membawa perubahan yang lebih baik.
Ia juga bukan tipikal pencari jabatan seperti menteri, gubernur, apalagi sekelas bupati-walikota. Sama sekali tidak pernah terdengar ia mau menjadi gubernur atau menteri ini dan itu. Pengamatannya tidak akan jeli jika masuk dalam  kursi jabatan, kalau menteri bisa saja sih pengin cuma diam-diam. Kalau gubernur dan bupati-walikota sama sekali tidak pernah terdengar.
Sembilan, senioritas berpolitik. Ia juah lebih senior dari pada SBY. Ia seangkatan dengan Ahmad Sumargono, Â Anies Baswedan, memang masih yunior dibandingkan Amien Rais. Namun dalam teropongan Gus Dur ia lebih dulu dari SBY yang dua kali presiden itu. SBY saja masih kalah, apalagi Prabowo jelas ia lebih junior, karena usai 2000-an Prabowo baru masuk politik praktis.
Keberadaan Fadli Zon sejak mahasiswa berpolitik, masuk menjadi anggota MPR sebagai mahasiswa jelas terpandang dalam Orde Baru. Kawakan dalam dunia politik, Jokowi masih ingusan dalam permainan politik bagi senior model Fadli Zon. Jadi normal jika ia menjadi lebih oposan  dari oposan tentunya.
Bagusnya Fadli Zon itu banyak omong tapi tidak pernah menuntut dan melaporkan polisi, kecuali jaringannya yang marah. Toh masih bagus juga wong memang penghinaan fisik, tapi Fadli juga sering merendahkan Jokowi terutama dengan meledek fisik dan kemampuan. Yang jelas tidak baperan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H