Sabar Ya Pak Jokowi!
Hari-hari ini, bahkan menjelang berbulan pemerintah terutama presiden selalu saja kena hujat. PSBB yang harusnya pimda yang menanggung keadaan lapangan, presiden pula yang  disalahkan. Bansos yang ngaco RT dan itu adalah tetangga kanan atau kiri rumahnya eh Jokowi pula yang dituntut untuk tahu lapangan. Enak ya orang kampung saja bisa mengata-ngatain presiden.
Coba hal itu terjadi tahun 97 atau sebelumnya, entah apa yang terjadi. Â Ada pula yang dengan enteng membuat surat untuk mundur, lha Teater Koma mau pentas denga judul Suksesi saja geger. Ini hanya drama, pertunjukan, jauh dari politik praktis, itu saja geger. Lha ini menunjuk hidung, nama presiden disebut eksplisit lho. Anak-anak pun dipakai orang tua yang menggunakan momen tugas sekolah berbicara yang senada. Â Lagi kalau itu era Orba, entah nasibnya seperti apa.
BPJS naik ngambeg, presiden tidak tahu diri, tidak tahu penderitaan rakyat, dan aneka kekesalan ke presiden, malah pribadi Jokowi. MA saja sudah mengatakan tepat apa yang dipilih pemerintah. Coba kalau lembaga resmi negara saja kalah sama warga yang asal ngoceh?
Penyebaran virus masih belum terkendali, laporan demi laporan mempertunjukan, mempertontonkan, dan menampilkan bagaimana warga yang tidak karuan. Â Pasar ditutup saja dipaksa untuk buka, dianjurkan diam di rumah, lihat saja jalanan masih relatif ramai. Benar mereka ada yang mencari upah, toh tidak sedikit yang hanya dolan dan keliling-keliling.
Lha narasinya, pemerintah tidak tegas. Padahal kalau tegas main kayu seperti India, petinggi dan pegiat HAM akan ngamuk. Jelas, lugas, dan pasti peraturannya itu, tapi karena memang ada yang menggelontorkan info, persepsi, Â dan gagasan waton sulaya, ya ada saja yang timbul. Ketika A yang dijadikan keputusan pemerintah, pasti Z yang ditawarkan oleh para pelaku yang mengintai kursi dan jabatan.
Apakah mereka beneran mau membenahi negara? Ah omong kosong, wong nyatanya mereka yang koar-koar selama ini juga sudah menunjukkan kegagalannya dalam bidang yang mereka ampu kog. Ada nama-nama gede dan jelas tanpa dampak ketika mereka bekerja, contoh Said Didu, Rizal Ramli, atau Fadli Zon. Cek saja reputasi mereka.
Nah ketika mulut-mulut ini yang bicara, tidak perlu didengar. Mereka hanya mau mempertontonkan kualitas mereka sendiri. Mereka tahu kog, hanya saja hendak mencoba, siapa tahu masih ada yang bisa dikibuli, ingat ini masanya infomasi, orang pelosok saja paham mana bualan mana yang asli.
Kondisi akhir-akhir ini identik dengan rusuh Mei dan September tahun lalu. Pelakunya ya itu lagi itu lagi. Gagasan akhirnya ya sama Jokowi mundur. Lha buat apa pemilu jika gampang meminta pemenang pemilu mundur pula. Â Padahal yang sudah kalah dengan ksatria dalam pemilu pun tidak ribet dan ribut.
Pola yang sama terjadi selama ini, membenturkan pemerintah dengan agama tertentu. Tokoh tertentu membuat ulah agar pemerintah berbuat tegas kala mungkin kekerasan fisik, dan kelompok yang memiliki kepentingan akan menggaungkan itu sebagai sebuah aksi kegagalan pemerintah. Padahal jauh dari Jokowi sekalipun, baik posisi ataupun masalahnya. Dua kisah terdekat, mengenai dua ustad. Bagaimana Fadli Zon hendak membesar-besarkan kasus itu. Ini hanya contoh, bukan malah jadi bahasan utama.
Mengais-ngais kelemahan pemerintah, mirisnya justru itu adalah kekuatan dari kabinet. Contoh lagi meributkan pembangunan infrastruktur yang katanya suruh mengalihkan ke penanganan covid, termasuk ribut ibukota baru. Mengapa tidak menyuarakan kesuksesan Bali dan daerah lain yang kinerjanya baik? Meneror pemerintah dengan narasi kegagalan terus menerus, padahal diri dan kelompoknya yang gagal.
Copi  paste kejadian demi kejadian yang dianggap berhasil menekan pemerintah.  Isu basi yang terus diuang-ulang, komunis dan antiaseng.  Entah  akan sampai kapan anak negeri ini waras dan membangun bukan malah merusak. Masalahnya adalah virus tetapi selalu saja urusannya kedudukan presiden. menyerukan contoh Vietnam, padahal mereka komunis, kalau Jokowi yang meniru Vietnam pasti akan teriak nyontoh komunis.
Agen atau pion yang digunakan itu-itu saja. Pecatan tentara, ibu-ibu istri prajurit. Mereka mungkin sakit hati, tidak tahu harus bagaimana dan akhirnyalah dimanfaatkan elit yang hatinya lebih parah. Mereka hanya korban dan akan berujung bui, bukan elit yang memanfaatkan.
Barisan sakit hati yang tidak ikut lagi gerbong kekuasaan. Ada dua nama yang baru makin menguat, Mei dan September mereka masih enak dan ada pula yang ngarep untuk dapat jatah kue. Jusuf Kalla yang selama ini juga tahu kog kontribusinya seperti apa. pun Refli Harun seperti apa. Â menambah kekuatan barisan sakit hati yang ikut menggedor-gedor tiang bangunan utama negeri ini.
Standart ganda yang didengung-dengungkan, ini sejatinya miris, mengajarkan kepada generasi muda, anak bangsa untuk melihat perilaku munafik sebagai baik-baik saja. Miris ketika itu juga dikemas dalam bentuk label dan pakaian agamis. Di mana-mana dan mendapatkan panggung.
Kondisi yang terjadi karena alam demokrasi  usai  reformasi masih dihuni kelompok minim prestasi namun merasa menguasai negeri. Gaya feodal yang masih mau bertahan dengan maaf keberadaan diri yang minim kualitas, hanya mau menggarong saja. Siapa saja mereka, sudah pada tahu kog.
Benar pengakuan Pak Jokowi yang mengatakan, karena bukan anak kolong, bukan anak elit negeri, dan bukan pengusaha kaya raya maka dengan mudah dipermalukan. Toh itulah kekuatan yang menjadikannya tetap kuat dan tabah.
Anak negeri ini juga sebagian besar sama, namun namanya juga feodal, malah iri ketika ada sesamanya yang melompat, bukan ikut mendukung, malah menelikung karena dimanfaatkan elit maaf bodoh.
Pak Jokowi yang sabar ya, perilaku seorang bapak memang demikian. Ada anak yang memaksakan membeli motor baru padahal baru saja ayahnya di-PHK, si adik mau masuk sekolah lanjutan. Keuangan mungkin ada, namun ada yang lebih mendesak dan penting. Sikap memaksa membeli kesenangan dan melupakan kebutuhan adik dan keluarga dengan dalih itu tugas ayah.
Eh, malah istrinya pun mendukung si abang untuk beli motor baru demi mendapatkan gengsi di depa n teman arisan. Bapaknya mau mati TBC perilaku gengsi dan gaya ini tidak akan berubah. Lagi-lagi ini ilustrasi, jangan malah dijadikan bahan dan ribet lagi.
Kondisi yang memang harus dihadapi, dengan segala keadaan tidak nyaman, tidak mudah, dan segala keriuhrendahan ini. Harapan selalu harus dijaga agar tetap  ikut optimis, bukan pesimis.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H