Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jaminan Kesehatan Orba Lebih Baik dan Lagu Iwan Fals Kehilangan Makna

18 Mei 2020   07:56 Diperbarui: 18 Mei 2020   07:53 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jaminan Kesehatan Orba Lebih Baik dan Lagu Iwan Fals Kehilangan Makna

Kemarin lupa persisnya di mana membaca ada postingan jika jaminan kesehatan era Orba lebih baik. Kemungkinan tulisan atau tayangan generasi muda yang sama sekali tidak tahu masa lalu. Generasi tua pemuja Mbah Harto, atau angkatan yang tahu kondisi nyata namun ada maksud, bahasa kasar telah terbeli Cendana.

Eh semalam, anak-anak remaja, usia Sekolah Menengah Atas, sambil berjaga dan mencari hiburan di tenagh kesuntukan main gitar dan menyanyikan lagi  Iwan Fals. Mereka ini jelas generasi 2000-an, yang 90-an lahir saja tidak ada. Nah terdengar asyik namun makna dan di balik kisah lagi itu tidak ada sama sekali.

Mungkin sama juga menyanyikan lagunya Kla Project soal Jogyakarta. Asyik, menarik, riang, namun bagi yang belum pernah ke Jogyakarta ya akan semata membayangkan, bukan menghayati sebagaimana Katon merasakan sensasi hidup dan berdinamika di Jogyakarta yang penuh kenangan.

Ilustrasi lain, anak-anak menyanyikan lagu-lagunya almarhum Didi Kempot yang semata senang, riang, riuh rendah, tapi patah hati saja belum pernah ya tidak akan persis sama dengan apa yang ditampilkan oleh Didi Kempot atau pelaku yang pernah merasakan patah hati.

Orba dan Gambarannya

Lagu-lagu Iwan Fals sangat tepat guna jika dinyanyikan 20-30 tahun lalu. Lha kini ya hanya sekadar hiburan, kritik kepada pemerintah, anak sekolah dasar saja bisa saat ini, tidak taku ditangkap intel, dulu tentara, bukan polisi  jika berbicara soal kritikan pada negara. Ingat kritik pada negara bukan kepala negara.

Lihat kini langsung tunjuk hidung Jokowi, bukan presiden tapi pribadi. Pembohong, gambaran pinokio sangat mudah kita temui. Generasi sekarang  cenderung suka judul, abai baca. Berita koran baik OL apalagi cetak mereka enggan baca. Begitu banyak limpah bagaimana gambaran dan perilaku Orba demi mempertahankan kekuasaan. Anak-anak ini sama sekali tidak tahu.

Pemuja masa lalu, jelas karena mereka ikut kenyang, jangan harap bisa ikut kue pembangunan seperti sekarang pada masa itu. elit Golkar, Jenderal AD, dan sedikit elit ekonomi tertentu saja, salah satunya Aburizal Bakrie dalam kampanye bagi Golkar 2014 mengambil jargon, enak zamanku to? Dengan gambar Soeharto tersenyum.

Kelompok ini masih cukup banyak, eksis, dan mau kembali karena akses dalam mengeruk kekayaan negeri ini sangat terbuka bagi kalangan mereka. Akhir-akhir ini kran itu satu demi satu dikunci dan dimanfaatkan bagi pembangunan negara. Apakah mereka rela? Mana ada sih yang rela ketika pernah berpesta dan kini diminta kerja keras?

Abu Rizal mungkin pada saat itu optimis bisa menarik simpati masa lalu, tapi lupa bahwa generasi 98 sudah demikian banyak yang memegang peran dalam partai politik dan juga lini-lini hidup berbangsa. Jadilah ia tereliminir bahkan hanya untuk sekadar cawapres. Ironis karena salah di dalam menjual masa lalu kelam yang masih banyak yang ingat, bahkan saksi sejarah secara langsung.

Kini, hari-hari ini kecenderungan yang memainkan adalah para pemuja Cendana. Ini bukan lagi soal Soeharto, namun anak-anak Cendana yang akan mau kembali kepada lingkaran elit kekuasaan. Hidup enak 32 tahun dan tanpa kerja sudah kaya raya. Ketika hal itu makin sulit kini, mereka memainkan narasi.

Tommy paling getol menjual jargon masa lalu, meskipun jelas naif, karena ia tidak tahu kondisi di luar Cendana. Hidup di dalam sangkar emas, semua tersedia, mau apa-apa terkabul, apa iya model demikian bisa tahu dan mengerti kondisi bangsa? Sama sekali nol besar.

Lagu-lagu Iwan Fals biasa mengritik gaya hidup anak-anak Cendana dan kawan-kawan, pun kritik sosial lainnya, itu semua kehilangan gigitan kini, karena beda kondisi, yang menyanyikan pun sama sekali tidak tahu latar belakang dan kondisi terciptanya lagu itu.

Perilaku Tommy itu tentu memiliki gaungan yang dilakukan para pemujanya demi doit. Mau paham atau tidak yang penting kenyang dan ikut enak tanpa kerja keras. Ikut dalam pemilu via dapil Papua saja kalah mengapa? Ya karena memang tidak memiliki kapasitas sama sekali di dalam hal apapun.  "Membeli" pemilih kali sekian rupiah pun tidak mampu, lha mau apa?

Reputasi buruk lebih kuat dari prestasi mau sekecil apapun. Pembicaraan mantan pembunuh lebih mendominasi, bukan kesuksesan apapun. Aksi sosial sama sekali tidak pernah terdengar dilakukan. Hidup berkeluarga juga tidak jelas, mau pribadi demikian menjadi pemimpin masa depan?

Klaim kesuksesan masa lalu sangat lemah dengan era keterbukaan seperti ini. Lha SBY  yang masih sezaman saja menjadi bahan tertawaan, apalagi Tommy dengan Soehartonya? Mau menaikan posisi tawar memang paling mudah membenturkan diri pada pribadi besar. Namun jika tidak kuat ya akan remuk.

Tommy dan AHY, perlu belajar pada Messi, badannya kecil, ia tidak akan berduel dengan bek Liverpool Van Dijk, dia yang akan terkapar. Kelincahan mengolah bola bukan membenturkan badan menjadi pilihan cerdas. Bangunlah karakter dan prestasi, bukan semata sensasi dan mencaci Jokowi.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun