Cukup menarik apa yang dilakukan petinggi Demokrat ini. Ia maksudnya mau meledek dan merendahkan pilihan dan kondisi Jakarta. Cuitannya di media sosial mengenai Jakarta bisa bangkrut karena PSBB. Bansos, BLT, tunjangan, dan gaji pegawai bisa membuat Jakarta kesulitan keuangan, apalagi jika lock down.
Ferdinand tahu dengan baik, kondisi keuangan Jakarta saat ini. Memang pernyataan politikus, tanpa jabatan, sangat mungkin tendensius dan jauh dari yang semestinya. Paling tidak, ada kebenaran di sana, di  mana kondisi keuangan Jakarta tidak baik-baik saja, apa yang telah Menkeu Sri Mulyani ungkapkan mendapatkan tambahan faktualnya. Menko PMK dalam laporan kepada Menkeu bukan asal-asalan.
Pada sisi lain, prank lagi prank lagi, ala Anies, ketika mengatakan siap dengan anggaran 5 T. Mana buktinya coba? Lha anggaran bansos untuk 1.1 juta yang telah dinyatakan pun hanya  bualan.  Anak buahnya baru saja mengatakan kalau ada wacana pemotongan gaji ASN pula. Tampak kalau soal keberadaan uang hanya omong kosong.
Pernyataan Ferdinand Hutahaen ini maunya menghantam Anies dengan mengatakan Jakrta bangkrut. Sah sebagai rival politik. Namun apa iya sudah lupa belum seminggu geger gede karena sang cucu presiden bersurat terbuka kepada pemerintah atau Jokowi untuk melakukan lock down? Baguslah, jadi posisi Deny Siregar tidak lagi jelek.
Pilihan PSBB jauh lebih realistis, ekonomi masih bisa berjalan, negara masih bisa mengupayakan kehidupan yang benar-benar langsung terdampak. Berbeda jika lock down, berarti semua, siapa saja, termasuk kelas petinggi negeri, klongkomerat yang di Jakarta, sampai penghuni bantaran kali harus dibeayai negara. Gagasan waras? Lebay.
Faktanya toh angka pengidap positif masih relatif stabil. Tidak ada lonjakan yang ekstrem. Layanan kematian dan juga perawatan masih normal bisa tertanggani dengan baik. Apanya yang kurang lagi? Di mana-mana, di seluruh dunia, mengalami kejadian yang sama. Toh hanya sini yang ribet dan ribut dengan keputusan pemerintah.
Lihat saja lock down di negara maju, kaya, dan tertib saja bisa ricuh. Pembanding yang identik mungkin India, seperti apa lapangan, mau dengan sabetan bambu, atau pohon ketela? Komnas HAM akan teriak lebih kencang dari suara terompet kapal. Makin gaduh lagi, politik dan calo kursi kekuasaan.
Om Ferdinand lupa, bagaimana atasannya baik yang senior atau yunior mengatakan apa. SBY sejak awal menuding pemerintah lambat. Kini diam seribu bahasa ketika ekonomi cukup stabil dengan nilai tukar yang semakin mantab. Pura-pura diam, atau malu, entahlah Pak Beye itu, hanya Om Ferdinand, mbok yo jangan mengusik bapak e dulu.
Si yunior lebih ngeri lagi, ketika mengatakan negara bisa porak poranda ekonominya. Lha dalah ekonomi membai lho, kog malah membuat gaduh dengan tugas di anak. Melebar pula ketika mengatakan anaknya dirundung. Lha siapa juga yang membuat tekanan pada anak-anak. Respon buat si bapak, mak, dan eyangnya kog.
Kini, ketika elitnya merundung gubernur Jakarta, pilihannya malah bertolak belakang dengan pernyataan elit dan juga tugas si puteri, apa tindakannya coba? Ini akan menjadi titik balik dan pembuktian AHY sebagai politikus yang matang.
Pilihan ada di tangan AHY sepenuhnya. Mengapa demikian?
Pertama, Ferdinand Hutahaen merundung Anies Baswedan. Ada hal yang sama sebagaimana ditudingkan kepada Denny Siregar. Apa yang akan dilakukan? Membiarkan saja, menegur, atau malah mendukung itu sebagai sebuah upaya politik?
Kedua, pernyataannya berbeda dengan apa yang digariskan partai, sebagaimana apa yang SBY, AHY, dan puteri sebutkan. Ini serius, berarti ada "pembangkangan". Hal yang serius dalam sebuah komando berpartai politik.
Ketiga, jika membiarkan saja Ferdinand berlaku demikian, bagaimana pernyataan lockdown sebagai solusi terbaik? Jika demikian, perlu minta maaf kepada Jokowi yang menjadi bulan-bulanan selama ini. Padahal memikirkan dampak yang  jelas-jelas diabaikan AHY dan SBY.
Keempat, jika berani menegur, dan Ferdinand mencabut pernyataannya, keren, tegas, dan berani. Jangan sampai akar rumput makin mencibir. Melihat sama saja apa yang dilakukan SBY dan AHY. Mana garis partai jika demikian.
Kelima, mendiamkan sama juga hanya mengurus urusan pribadi. Ketika anaknya atau dirinya kena serangan langsung meradang. Semua kader pasang badan dan mengeroyok pihak yang dituding menyakiti. Apa beda dengan SBY, yang tantrum-an itu.
Keenam, bisa pula disimpulkan sejatinya Demokrat juga melihat lockdown pilihan konyol, hanya agar berbeda dengan Jokowi mengatakan lock down lebih baik. Halah kalau hanya begitu oposan omong kosong, Demokrat menuju senja kala jika terus terusan demikian.
Ketujuh, paling-paling akan menyatakan ini pendapat pribadi. Tidak akan bisa, sepanjang orang berpolitik, pernyataan pada pihak yang berseberangan, akan cenderung itu sebagai politikus, bukan sebagai pribadinya. Susah melihat itu sebagai pernyataan pribadi.
Saatnya pebuktian bagi AHY bisa tidak bersikap tegas, sama, dan tepat di dalam menghadapi satu tema dengan dua versi seperti ini. Layak ditunggu. Apakah melihat ini sebagai sebuah momentum untuk menyelamatkan muka dan karir diri dan juga keberadaan partai. Pesimis akan dianggap penting.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H