Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjawab Profesor Felix Tani, PPS Saya, dan Roy Kiyoshi

9 Mei 2020   10:03 Diperbarui: 9 Mei 2020   10:03 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dua pagi hari dikejutkan dengan keberadaan  postingan dua Suhu Besar, satu di Kompasiana, satu di media sosial. Berangkat dari yang Kompasiana dulu, karena ini menyangkut kebersamaan secara langsung. Berinteraksi dan berdinamika langsung dan bersama-sama belajar di komunitas ini. Apa yang  tidak saya sadari, diungkapkan oleh Mas Poltak.

Kata-kata dulu, memang sebuah romantisme, yang tidak saya sadari, namun dinyatakan dengan telak oleh Prof. Felix. Ternyata moyok mondok, itu pas dan tepat. Sering meledek Pak Beye, eh ternyata jadi pelaku. Apakah sepenuhnya benar demikian? Bisa iya, bisa tidak. Sah sebagai sebuah amatan, sah pula sebagai ulasan saya. Mau berdebat dan berebut benar, memang buat apa.

Adanya perbedaan sudut pandang itu biasa. Lha mau apa, namanya juga media, amatiran pula. Nah berkaitan dengan Suhu Felix ini, lagi-lagi romantisme masa lalu, sering mengaku sebagai Suhu dan saya dengan Prof Peb, dan Mas Aji sebagai  murid, tapi diajak berkawan di Kompasiana, tidak balik menjadikan kawan, entah Suhu macam apa itu.

Berkali ulang, saling ledek, apakah itu masuk kategori nyampah di Kompasiana, atau bukan, tidak menjadi soal, yang pasti seharian nangkring di kolom NT. Dinamika connecting hadir di sana. Terhubung untuk sekadar bercanda. Sah-sah saja juga.

Perbandingan Prof. Felix juga berlebihan jika mengangkat artikel saya, kelas rengginang dan bukan siapa-siapa, kog diartikelkan dengan kaliber jawara Knival 17 pula. Dengan segala hormat Suhu Felix khilaf, dan hak beliau sih. Silakan saja.

Ini kisah kedua, mengenai Roh Kiyoshi yang tertangkap polisi karena penggunaan zat terlarang. Dalam media sosial Suhu Rudy Sebastian, Kner kawakan Planet Kentir, mengulas untuk apa Roy yang berbakat, indigo harus menggunakan zat terlarang, yang beliau tengarai kemungkinan besar ganja.

Mengapa ganja? Karena berpotensi bisa mengaitkan dan menghubungkan dengan dimensi langsung, sebagaimana berkaitan dengan kinerja dan kebiasaannya selama ini. Artinya,  ganja itu membantunya untuk bisa memasuki "dunia" yang berbeda dengan apa yang secara kasat mata dan indera bagi kaum awam bisa mendapatkannya.

Dalam banyak tradisi, kepulan asap sering menjadi media dalam hal-hal yang mistis, menghubungi roh, penyembuhan, dan sebagainya. Film-film menggunakan gambaran demikian. Konon penggunaan pada pukul 3-5 dini hari sangat kuat dampak dan pengaruhnya.

Apakah harus dengan itu? Nah ini yang menjadi penting.  Ternyata dengan meditasi dan khususnya yang ditawarkan Suhu Rudy mengenai Shamballa sangat identik dengan apa yang diberikan oleh ganja untuk bisa mencapai tahapan sebagaimana dikehendaki. Menghubungkan dengan dimensi berbeda sehingga bisa mengerti banyak hal.

Sayang Roy Kiyoshi yang sudah memiliki bakat, talenda alami, malah jatuh pada penggunaan barang terlarang. Mau pro kontra ganja banyak yang melegalkan, toh di sini tetap saja ilegal dan bui menjadi ujungnya. Padahal tanpa itu semua sangat bisa.

Meditasi menjadi sebuah solusi yang kebih alamiah, tanpa melanggar hukum, dan tentunya lebih sehat dan hemat. Masalahnya adalah kadang tidak ketemu, guru, suhu, atau komunitas dan lingkungan yang tepat.

Kadang orang menjadi jatuh kala tidak siap menanggung beban dilupakan, kek saya yang PPS kata Suhu Felix, atau penulis besar yang mulai kehilangan panggungnya karena memang seleksi alam untuk beralih peran. Cara instan sangat mungkin dipilih untuk bisa kembali eksis. Menghajar orang atau penulis lain sebagai sebentuk sensasi itu juga bisa.

Lihat media elektronik, terutama dengan reality show, sangat mungkin dipakai untuk mendapatkan panggung. Perselisihan, perkelahian fisik, atau bertikai  dalam media sosial dengan bumbu bombastis ala presenter bisa untuk pansos.

Ketika ramai-ramai menggunakan media youtube, sangat mungkin adanya gelimang dollar. Membuat orang yang tidak sabar akan proses menggunakan cara dan trik yang malah merugikan diri sendiri. Demi kontens ngepran dengan memberikan sembako berupa sampah. Ferdian Paleka menemukan ujungnya sel, bukan dollar.

Ini soal pilihan, mau berproses, sabar, dan tekun, atau mendapatkan  kemudahan sesaat. Mudah dan sangat menjanjikan mungkin dengan ngeprank, ngeganja, atau memainkan emosi penonton, yang ujung-ujungnya adalah klik dan doit pada akhirnya.

Apakah itu menjadi tujuan atau konsekuensi? Ini yang membedakan. Jika tujuan adalah uang, maka menggunakan segala cara bisa menyesatkan. Padahal ada cara-cara legal lain yang kadang tidak mudah. Ketenaran yang menjadi candu susah untuk sekadar berbagi panggung.

Potong kompas memang akan menjanjikan dalam sekejab, tanpa proses dan mau belajar keras, asal mendapatkan momen, ya sudah dapat durian runtuh, tetapi tidak hati-hati, bisa jatuh pada nestapa berkepanjangan.

Jelas ini bukan mau menghakimi Roy Kiyoshi atau Ferdian Paleka, hanya sebuah amatan bahwa yang instan belum tentu mendapatkan apa yang seharusnya, dan abai  proses itu bahaya. Berbagi panggung itu sangat mungkin, mengapa harus ribet demi mendapatkan yang ter di dalam hidup ini.

Terima kasih dan salam

Catatan, Suhu-suhu yang lain, pada tulisan yang akan datang. Demikian banyak Suhu Sang Pembelajar di K.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun