Sejatinya politik dinasti itu tidak ada salahnya. Sepanjang menggunakan kekuatan sendiri di dalam menapaki tangga dan perjalanan berpolitik. Negara-negara besar pun demikian. Memiliki sejarah dan memberikan peluang kepada anak, cucu, keponakan, atau siapapun berpolitik. Asal itu semua ditapaki dengan karir politik yang jelas. Reputasi kerabat, atau nama besar ya mau tidak mau ikut membantu.
Kan kasihan, karena kakeknya atau bapaknya memiliki darah politik, kemudian anak atau cucunya seolah pendosa jika berpolitik. Alam demokrasi tidak demikian. Ingat, asal dengan cara-cara demokratis. Ada jenjang dan tahap-tahap yang perlu dilalui. Itu semua adalah proses, tidak kemudian mengandalkan darah itu untuk memotong kompas dan jalur berkompetisi dengan pihak lain.
Masalah itu, ketika jenjang karir, kaderisasi, atau jabatan diperoleh dengan menggunakan kacabele, koneksi, dan menggusur kesempatan sesama kader yang lebih potensial hanya karena kedekatan kekerabatan. Jelas sisi  keadilan dan kesamaan untuk berjuang dan berpeluang untuk apa saja tidak tercapai. Di sini masalahnya, bukan soal darahnya.
Sukarno dan Keturunannya
Anak-anak Sukarno dengan menyandang nama besar leluhur memang bisa mendapatkan kepercayaan publik. Itu tidak bisa menjadi bahan iri atau dengki. Ya itu namanya rezeki. Pernah dalam sebuah kurun waktu itu menjadi kutukan, sehingga sangat susah untuk sekadar kuliah. Lihat saja bagaimana perlakuan Orba terhadap mereka. Ketika kini, cucunya setelah puterinya bisa berbuat banyak, itu hal yang masih normal.
Toh, memilukan  juga, ketika politik ini pun membawa perpecahan. Paling tidak antara Rahma dan Mega, dulu Sukma pun seolah menjadi oposan, bahkan bagi sang kakak. Apa coba yang bisa diperoleh dengan rupa demikian. toh itu fakta yang terjadi.
Syukur bahwa Soeharto memiliki anak yang lebih solid di dalam membanngun politik. Kegagalan yang memang karena kemampuan. Asyik dengan bisnis dan sejak awal tidak dibina untuk berpolitik, membuat mereka gagap. Ikut pemilu punsekadar menjadi bahan candaan. Dikeliling dana yang tak terbatas toh tidak cukup membawa mereka bisa sekadar numpang nama.
Mungkin, karena kesamaan kepentingan, belum juga masuk pada kalangan elit politik, atau bahkan masuk pada kekuasaan, mereka masih akur dan satu suara dalam perjuangan politik. Belum cukup banyak kiprah mereka.
Yudhoyono. Dua anak dan masih cukup terkendali oleh sang ayah. Tipikal anak-anaknya pun sangat patuh. Didikan ketat membuat tidak banyak ulah dan kreatifitas bagi keduanya. Seiring sejalan seperti anak TK yang bergandengan tangan berangkat sekolah. Satu ketum, satunya wakil. Sudah mau apa lagi.
Langkah dan perilaku mereka bukan sebagai pribadi dewasa, namun laku anak-anak di bawah kendali bapak yang masih begitu dominan. Kurang kreatif dan memiliki pemikiran sendiri. Sangat wajar sih dengan model dan pendekatan SBY dan almarhum Ibu Ani.
Daerah juga memiliki reputasi klan dan politik dinasti. Toh masih juga banyak yang memilih dan percaya, padahal banyak kekacauan ditimbulkan. Miris sebenarnya, ketika bukan kebaikan, prestasi, namun sebatas sensasi dan malah korupsi.
Cukup fenomenal satu pribadi ini. Gencar dalam  banyak aksi dan situasi. Hampir semua era ia ada. Kini memasuki generasi kedua, besan pun orang politik. Klop, di dalam membangun dinasti politik. Suara keras, lantang, dan juga oposan bagi pemerintahan kini, padahal pernah sepi, itu adalah pilihannya.
Reformasi dengan segala drama yang Amien lakoni, membuatnya melahirkan partai politik. Di mana mengantarnya hanya sampai pada jabatan ketua MPR. Apa yang jauh dari angan yang sebenarnya. Maunya adalah presiden. Toh, dewi fortuna, atau memang karena salah langkahnyalah membuatnya gagal menjadi orang nomer satu di negeri ini.
Wajar ketika ia demikian galau, sakit hati, dan sangat mungkin iri dengan yang namanya Jokowi. Sepuluh tahun lagi melihat orang yang bukan siapa-siapa itu menjadi pemimpin. Di mana-mana ia melihat photo resmi kenegaraan. Upayanya dengan mengampanyekan Prabowo yang kini malah ikut Jokowi membuatnya semakin gerah.
Puncaknya 2020, ketika sang besan mau dipertandingkan dengan puteranya. Ternyata partainya memilih sang besan. Terjadi kekerasan dan kerusuhan, yang memilukan, ketika reforman malah berlaku bar-bar. Sang besan menambah luka itu, ancaman untuk mengamankan agenda ternyata tetap tidak terbendung. Alternatif akhir keluar dan biasa membuat partai baru.
Hanafi mundur dari partai dan dewan. Sikap yang wajar, namun komentar adik yang sekaligus adalah menantu Zulkifli Hasan ketua baru terpilih, membuat makin panas. Seolah menyerang kakak dan adik-adiknya. Mengatakan politikus cengeng, mutungan, dan melodramatik. Sangat bisa dipahami, keberadaannya sebagai menantu dan jelas banyak pertimbangan rasional, emosional, dari sekadar politik.
Amien sejak lama sudah ancang-ancang mendirikan partai baru. Tambahan daya dari Hanafi dan gerbongnya masih cukup lumayan. Namun dampak dari ini dapat dilihat;
PAN ini bukan partai gede. Benar banyak loyalis dan itu sudah terbukti. Perolehan mereka ya segitu-segitu saja. Artinya dengan keadaan ini akan menjadi dua kelompok sama kecil. Ketika bersatu saja tidak bisa berbuat banyak, apalagi hanya separo kekuatan.
Sebelum ini, tidak pernah terlihat perkembangan baik dari berpolitik PAN, selain nyolot sana sini, main dua kaki, dan sok oposan ketika sepi job, mereka tidak memberikan dampak kuat. Benar ada beberapa kader kelas luar biasa, toh tidak cukup besar dampaknya bagi parta. Lebih banyak pendompleng dan parasit, bukan membesarkan partai.
Model mengambil pesohor, artis, atau tokoh, juga tidak cukup kuat memberikan dampak baik. Pemilih sudah mulai cerdas. Kebetulan artisnya juga tidak banyak memberikan kontribusi signifikan dalam menanggapi kejadian atau peristiwa penting.
Susah melihat partai baru bisa berkembang dengan baik, ketika dana yang ada tidak cukup kuat. Para kadernya pun level-level sangat biasa, bukan pemain politik berkarakter dan petarung. Nama-nama anak Amien pun susah banyak berbicara tanpa ada Rais di belakang nama mereka.
Pengalaman dengan Hanura toh tidak bisa bicara banyak. Partai sempalan yang begitu-begitu saja. Apalagi anak-anak yang masih terlalu hijau. Berangkat dari sakit hati pula, bukan demi perjuangan.
Apalagi, ketika Mumtaz sudah menyatakan baper politik bagi kakak dan adiknya. Persoalan politik bisa melebar kepada relasi keluarga. Sangat mungkin, meskipun tentu tidak diharapkan. Politik ya politik, namun apa ya bisa.
Kondisi yang tidak mudah tentu bagi Amien Rais. Anak berhadapan dengan anak dan besan. Di sana ada pula menantu dan cucu. Toh hasrat berpolitik masih bisa apa saja. Â Layak ditunggu, nanti akan seperti apa dan bagaimana akhirnya. Layak pula untuk menjadi pembelajaran berpolitik dan berbangsa.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H