Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Didi Kempot, Pembelajaraan Viral, Politik, dan Kesadaran bagi AHY, dan Youtuber Ini

5 Mei 2020   13:04 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:03 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Didi Kempot, Pembelajaran Viral, Politik, dan Kesadaran bagi AHY, Anisa, dan Youtuber

Pagi-pagi, ada pertanyaan soal kebenaran berita meninggalnya Didi Kempot, belum ada pemberitaan dan lini massa medsos. Belum lama, sudah masuk serbuan dengan berita yang sama. Membagikan berita dari media kalau benar Didi Kempot meninggal dunia. mengagetkan karena belum begitu tua, masih relatif kuat.

Hari-hari ini, kita dikejutkan banyak aksi, tindakan, perilaku, dan gagasan demi viralitas apapun dilakukan. Ada dua kasus besar, dengan melibatkan tiga pribadi, yang sejatinya berbicara demi viral, tenar, dan menangguk pembicaraan besar.

AHY dengan Tugas Sekolah Puterinya

Kemarin sudah menulis, jika KPAI menegur netizen, itu salah, karena yang lebay AHY. Mengapa harus menayangkan tugas sekolah puterinya ke media sosial dia, apalagi ketum partai politik. Artikel saya menjauhi nama si puteri, karena tidak mau menjadi bagian pembully anak-anak. kesalahan mutla ada pada AHY. Toh teman si anak tidak ada yang menjadi korban bully, ketika tidak ada bapak yang lebay menayangkan pada media sosial.

Jangan salahkan perilaku para pembully, tanpa mau tahu akar masalahnya. Tentu bukan soal membela pembullyan anak, tidak. Namun terapkan pada posisi yang sama. Bagaimana AHY yang berlaku tidak bijak dan malah cenderung politis. Jangan dikira ini lepas dari maksud politis.

Ada beberapa hal yang bisa menjadi penguat alasan itu politis.

Pemilihan tema lock down. Mau tugas guru atau bukan, usia kelas enam SD akan memilih ulasan, karena lock down aku kangen teman, kagen guru, kangen lapangan dan seterusnya. Pemikirna tua dipaksakan pada anak yang mengatakan agar meminta lock down kepada pemerintah, Jokowi tepatnya.

Hal yang sama dengan pemikiran Demokrat. Apakah tidak ada keuntungan politis jika lepas dari amatan netizen? Ya silakan dikalkulasi sendiri.

Lebih jelas, gamblang lagi, ketika Anisa Pohan "mendamprat" Deny Siregar sebagai pendukung Jokowi, dilaporkan kepada Jokowi dengan melabeli sebagai pendukung. Aneh dan lucu jelas afiliasi politik mengemuka. Apakah ini gawe anakk SD? Bukan. Jelas toh, siapa yang memolitisasi dan membawa pada ranah publik dan politik.

Youtuber Memanipulasi Konten demi Hits

Ferdian Paleka, tentu orientasinya ketika merancang pembuataan videonya untuk mendapatkan pengunjung yang tinggi. Ia memberikan bantuan sembako yang ternyata berupa sampah. Model ngeprank, membuat click bait, atau beda isi dengan judul atau kemasan seolah lumrah. Membuat kehebohan demi hits, klik, dan pengunjung.

Viral menjadi kata kunci, ketika menjadi urusan polisi ya itu beda kasus. Kadang orang abai akan sisi kepantasan, kepatutan, atau ini merugikan pihak lain atau tidak. Pokoknya menarik, heboh, dan akan menjanjikan hits yang besar, berkaitan dengan uang. Ramai berarti banyaknya uang yang akan diterima juga lebih gede.

Yo tidak salah, apalagi ketika raah itu masih abu-abu. Pro dan kontra adalah iklan gratis. Tapi apa iya mencari uang dengan modal dan model begitu?

Satu kesamaan viral dan politik adalah ketenaran, popularitas, dan kesempatan. Sangat mungkin bahwa itu hanya sekali, nah di sinilah kadang dan malah seharusnya kesadaran itu harus ada. Mengapa demikian?

Jangan sampai demi viral dan tenar secara politis malah melanggar hak orang lain. Mungkin itu secara hukum positif tidak ada pelanggaran hukum atau pasal dalam KUHP. Kembali soal kepantasan dan kepatutan.

Politik dan juga viral cemar asal tenar sering menjadi pilihan banyak politikus. Sayang, ketika perilaku pelaku politik model ini cenderung bukan proses dan prestasi. Potong kompas, mau cepat berhasil dan mendapatkan pengakuan. Panggung instan dan kilat.

Belajar dari Almarhum Didi Kempot

Perjalanan panjang karir dan perjuangan untuk menjadi seniman. Tidak kenal menyerah dari jalanan hingga panggung spektakuler. Tanya saja tahun 90-an atau 2000-an awal siapa kenal nama Didi Kempot. Namun jangan tanya sekarang. Tembangnya yang merakyat dan mewakili banyak rasa menjadikannya artis papan atas.

Proses, jatuh bangun, dan perjuangan tidak kenal lelah itu pembeda. Bapak dan kakaknya seniman juga dengan beda jalur. Toh mengupayakan dengan cara dan jati dirinya sendiri seperti apa yang hendak dicapai. Ini ada kesadaran. Apakah ia tahu akan menjadi tenar dan lagunya dinyanyikan bahkan oleh generasi yang berbeda? Bisa iya bisa tidak.

Satu yang pasti, bahwa ia tekuni itu, tanpa merengek atau merontak dan menlompati jalan yang harus ia lalui. Namanya juga cukup anteng dengan pemberitaan miring dengan gonta ganti pasangan atau narkoba. Padahal dua jenis itu biasanya menjadi pemicu dan pemacu ketenaran, viral, dan puncak segala capaian.

Viral, politik, itu jelas tidak salah. Baik-baik saja, jika tidak terlalu pesimis mengatakan sebagai sebuah kenetralan. Namun bagaimana mencapai dan mendapatkan itu adalah penting. Semua ada jalannya. Tidak ada yang sama itu menjadi penting.

Ada yang cepat, ada yang lambat, ada yang begitu tampil langsung ngehits dan terus demikian, namun ada pula yang tidak pernah ngehits sama sekali sampai kapanpun. Itulah garis tangan, itu yang namanya jalan Sang Sumber. Apakah kita mau memaksakan sama dan kemudian iri melihat apa yang dicapai pihak lain?

Capek, letih, karena semua mendapatkan bagian dan cara yang khas, berbeda, dan berlainan untuk sampai kepada akhir milik kita. Tidak ada yang sama juga tujuan itu, berbeda, apalagi, cara, dan jalannya.

Pemikiran seragam, enggan belajar, malah mencermati, membuat orang potong kompas dan mengambil jalan pintas. Budaya instan itu enggan berproses. Maunya hasil semata.

Kesadaran yang membantu orang untuk setia, tekun, dan mau berproses. Letih dan lelah itu bagian  dari usaha dan layak dijalani.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun