Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surat Terbuka kepada Mak Anisa Pohan, Jokowi Sudah Hafal, Tak Usah Lapor

4 Mei 2020   20:49 Diperbarui: 4 Mei 2020   21:03 2365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Surat Terbuka kepada Mak Anisa, Jokowi Sudah Hafal, Tidak Usah Laporan Lagi

Cukup memanas, ketika AHY mempublikasikan karya puterinya via media sosial, tidak akan berpikir dampaknya seperti ini. Yakin kalau AHY gak mikir akan menjadi bulan-bulanan di media sosial. Nah salah satunya dengan sigap mendapatkan semprotan dari Nyonya AHY adalah Deny Siregar. Beberapa hal layak dilihat lebih dalam, sebagai pembelajaran publik, seperti apa dunia maya, politik, dan dampaknya itu.

Pertama, riuh rendah itu akibat AHY. Jelas ia hanya melihat ada peluang mendapatkan panggung cukup kuat. Ia lupa atau tidak tahu, bahwa bisa jadi bumerang yang luar biasa dampaknya. Ini Indonesia, media sosial pula yang dipakai. Gak kebayang sejak awal sepertinya tindakan AHY itu akan seperti ini.

Tulisan pertama soal ini, saya tidak menyebut Almira, atau mengupas si anak. Kesalahan dan  layak dibahas adalah kecerobohan AHY yang seolah sengaja memanfaatkan anaknya demi capaian politik. Jangan salahkan publik ketika menyatakan ini adalah politisasi anak. Kesalahan minimal abai jelas AHY.

Kedua, Anisa, ketika mengeluhkan posisi Deny Siregar jauh lebih lucu lagi. Ada beberapa kelucuan. Satu, ia melaporkan kepada Jokowi mengenai Deny Siregar yang ia nyatakan sebagai pendukung Jokowi, lha apa hubungan pendukung dengan presiden? Sama  sekali tidak ada kaitan. Berbeda pada kasus jika Ferdinand, Andi Arief, atau Roy Suryo itu menghujat, meledek, merendahkan Jokowi atau pemerintah. Mereka secara struktural ada dalam komando SBY, toh Jokowi tidak pernah berlaku demikian.

Ada kesatuan jalur, struktur organisasi, dan unsur pimpinan dan anak buah. Lha pendukung, mana bisa Jokowi menegur atau malah memberikan sanksi? Lucu juga si mak ini. Lupa kalau partai atau kader mertua dan suaminya lebih ugal-ugalan lagi.

Ketiga, jadi ingat almarhum Ibu Ani, ketika ada yang "menegur" karena Jakarta banjir, malah ngegas dan mengapa bukan menjadi Bu Jokowi atau gubernrnya.  Padahal si anak ini maunya, mbok prihatin to Bu, sebagai Ibu Negara, begitu lho, jadinya salang surup. Maksudnya lepas karena tidak siap dengan kondisi yang sangat buruk bagi diri dan keluarganya.

Keempat, Jokowi dan keluarga itu sudah waleh, sudah sangat hafal  mungkin cenderung menjadi imun, tidak lagi peduli dengan kata-kata buruk. Hampir sepanjang periode kemarin, hingga detik ini lho mau yang namanya fitnah, caci maki, hujatan, dan sebagainya. Tidak hanya artis medsos, tapi juga elit negeri, maaf Mak termasuk suami dan mertua panjenengan lho.

Mulai soal PKI, agama, plonga-plongo, Jan Ethes itu cakep karena ibunya, bukan dari garis keturuna Jokowi. Terbaru malah soal ijazah, dan itu pelakunya dilaporkan polisi kasus lain ngacir. Model cibiran kepada puterine jenengan sudah bukan hal baru bagi Pak Jokowi dan keluarga.

Kelima, apa yang menimpa pada cucu SBY ini juga pernah dialami Jan Ethes, kala kampanye kemarin, ia yang bersama keluarga termasuk capres Jokowi jalan-jalan, wawancara TV, dan juga main dikatakan eksploitasi dan kampanye dengan anak-anak, oleh Hidayat Nur Wahid. Orangnya masih hidup, rekam jejak digital apalagi, semua ada. Itu sampai diangkat dalam rapat penyelenggara pemilu.

Itu lebih ngeri mana Mak, anak di bawah umur, tanpa tahu apa-apa. Bandingkan dengan anak Mak yang kelas enam SD, dan ndilalah, ayahnya molitik pisan dalam tugasnya itu.

Keenam. Titik kealphaan adalah postingan di media sosial, dengan narasi yang sangat tendensius, dan politis. Diskusi sampai menertawakan juga banyak yang lebih cocok jika anak sekolah itu akan memilih kangen teman, kangen guru, kangen sekolah, dari pada meminta lock down kog. Apa iya paham apa itu lock down?

Ketujuh, ini mengenai pilihan tema tulisan, mau perintah guru atau bukan, tidak menjadi soal. Masalahnya ketika dibawa ke ruang publik, oleh ayahnya dengan rekam jejak demikian politis, apa salah ketika direspons politis juga? Mosok salah Jokowi? Lha anak atau cucu siapa? Mengajak Jan Ethes Jokowi salah, lha Almira Jokowi pula yang salah. Lha dagelan to Mak.

Kedelapan, ini salah kalian Mak dengan suami, gak usah menyalahkan Deni Siregar atau malah Pak Jokowi. Kalau tidak mbok bawa ke ranah medsos, dan itu suamimu ketum partai politik, yo tidak akan seramai ini.

Kesembilan, malah syukur dengan covid ini, dipertontonkan dengan gamblang seperti apa sih yang merasa diri calon pemimpin masa depan bangsa ini, keluarganya dalam menyikapi masalah, dan bersikap dalam media sosial. Tanpa ada pandemi masih baik-baik saja, belum terlihat seperti apa warna keluarga Yudhoyono dengan lebih gamblang untuk generasi keduanya. Semua juga sudah paham kog, hanya dengan ini makin lugas, jelas, dan seberapa kelasnya.

Kesepuluh, berlebihan sikapnya dengan melibatkan Jokowi, dan merasa sebagai ibu biasa. Salah besar. Posisi jual derita sangat terasa dengan tudingan kesalahan pada pihak lain. Itu khas mertua dan penguasa Demokrat. Apa iya bangsa ini masih mau kembali  ke era itu lagi? Sekali lagi point sembilan makin diteguhkan.

Sejatinya tidak ada yang salah dengan surat Almira itu. Masih wajar dan  bisa-bisa mendapatkan tas atau sepeda dari presiden. Namun menjadi berbeda itu diketik dengan laptop aple kroak, anak ketua umum partai yang mengaku oposan, dan cucu presiden yang rekam jejaknya sudah diketahui dengan baik seperti apa.

Tanggapan yang cenderung lebay juga, menyasar pelaku media sosial dengan mengaitkan afiliasi dan presiden malah. Jelas sangat berlebihan, tidak pada kapasitas untuk membela anak seperti itu. Apalagi titik masalah dimulai dari suaminya sendiri. Mempertahankan diri, membela diri itu mekanisme umum. Tapi dengan menjatuhkan pihak lain, ya miris.

Ini termasuk blunder yang amat parah, padahal sangat mungkin ke depan, dalam waktu tidak terlalu lama sangat terbuka ada pergantian kabinet. Mungkin saja membawa AHY ke gerbong kabinet. Ah dengan model  berpolitik demikian, jauh lebih aman tidak usah diajak.

Manfaat atau keuntungannya tidak cukup dari pada apa yang bisa diperoleh bagi bangsa dan negara ini. AHY masih tidak cukup dewasa dalam bersikap bagaimana sebagai pemimpin. Memilah dan memilih saja masih gagap, apalagi menentukan skala prioritas. Apa tidak ribet jika demikian.

Membiarkan saja silap itu dan pasti juga tidak lama kog. Itu juga kebijaksanaan dan kedewasaan, nasi sudah menjadi bubur. Emosional, reaktif, dan akhirnya malah salah lebih gede. Sulit untuk memperbaiki.

Lebih baik, sikap ke depan lebih baik, sadari untuk tidak mudah bereaksi yang malah menjadi efek bola salju. Pun dalam bertindak, memainkan media sosial. Ditimbang dan dipikirkan berkali-kali dampaknya. Susah bagi Demokrat yang masa lalunya kelam diperparah salah tindak, ketika mau menaikan citra eh malah salah demi salah.

Pembelajaran penting juga bagi siapa saja. Apalagi level maunya presiden dan ibu negara.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun