Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lagak Oposan Said Didu, PSBB, dan Sikap Tanggung Jawab

4 Mei 2020   18:01 Diperbarui: 4 Mei 2020   18:09 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PSBB, Sikap Bertanggung Jawab, dan Lagak Lagu Oposan Said Didu

Biasanya mendadak sakit menjadi alasan yang paling mujarab menghindari kepolisian, kejaksaan, atau KPK. Kali ini ada yang baru. Bahasa seolah-olah taat hukum, elegan, dan sangat santun mengatakan, dengan menghormati pelarangan berkaitan dengan PSBB, mohon penjadwalan ulang pemeriksaan. Dalih yang sangat kontekstual, menyebut UU hingga Maklumat Kapolri, ujungnya sama, menghindar.

Ternyata sama saja, tidak ada yang baru. Narasi dan lagak lagunya selalu sama, melontarkan pernyataan, ada pelaporan ngeles sana ngeles sini, tuduh ini tuding itu, mentok mengaku medsos atau alatnya dibajak, dan kemudian ketika sudah tidak lagi ada jalan keluar ngeles. Mendadak mules, darah tinggi, asam urat, jantung, dan kabur kalau bisa.

Pengalaman bakpao ternyata membekas bagi kelompok-kelompok ini. Mereka bisa  sangat bergairah ketika menebarkan pernyataan, pas diurus oleh penegak hukum ciut nyali, mencari teman dengan gaya yang sama, dan kemudian pura-pura sakit. Apalagi sudah susah ke luar negeri. Kalau soal uang saku tergantung siapa di belakangnya dan siapa yang mendapatkan keuntungan dari apa yang telah ia lakukan.

Tanpa sponsor ya hadapi saja sendiri. Tanggung jawab sepenuhnya tanpa kawan dan teman lagi. Seperti penumpang angkutan umum, kehilangan risiko penumpang. Nah baru merasa Said Didu, jangan lupa Buni Yani pernah mengalami, padahal banyak yang mendapatkan keuntungan dari, begitu saja lupa, apalagi ini, jadi urusan pribadilah.

Apa yang terjadi ini menjadi pembelajaran bersama dalam beberapa hal;

Sikap tanggung jawab itu masih rendah. Maunya menuding dan enggan untuk mempertanggungjawabkannya. Padahal sederhana, jika enggan mendapatkan perlakuan seperti itu, ya jangan melakukan yang sama. Sederhana sebenarnya. Namun ketika hasrat meluap-luap sering lupa pada sikap ini. Mudah dan  gampang menuding orang, dan kemudian minta maaf, khilap, dan meterai bisa menyelesaikan masalah.

Garang itu ketika banyak teman dan banyak dukungan. Ketika semua teman lari, ya ngeper. Padahal sudah sering terjadi. Eh masih juga pengulangan dengan nada yang sama. Tanya tuh Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, dan terutama Buni Yani. Mana ada teman-temannya yang mengatakan mendukung, tetap semangat, pas dibui satu pun tidak ada yang tampak batang hidungnya.

Selain tanggung jawab, rendah pula solidaritas di antara mereka. Yang ada itu kepentingan dan mendapatkan apa dengan keberadaan dan derita mu itu? Beneran seperti itu perjuangan? Apalagi membawa-bawa agama pula.

Cukup beralasan, ketika PKS mengusulkan internet gratis. Bayangkan seperti apa keadaan yang mungkin terjadi coba. Begitu masifnya fitnah, makian, hoax, dan penyebaran berita-berita tidak benar. Penyelesaiannya ya ujungnya seperti kata pengacara Said Didu ini. Ngeles atas nama PSBB. Syukur pemerintah membaca ke mana arah jika gagasan itu dipenuhi.

Benar satu sisi banyak kebutuhan internet  untuk kerja dan sekolah dari rumah. Toh penyalurannya sangat bisa dengan cara lain. Nyatanya masih demikian masif maksiat dari pada yang manfaatnya. Pilihan pemerintah pas.

Jelas mereka juga tahu PSBB ini masih relatif panjang. Kalau terus seperti ini, tanpa ada perubahan radikal dari pola pendekatan baik pemerintah dan juga sikap masyarakat. Apa iya  pemeriksaannya akan menunggu keadaan benar-benar steril.

Kemarin, ketika dengan gagah menolak meminta maaf, wah keren juga ini orang, berani. Ternyata sama saja. Masih layak untuk ditunggu, berani dan sampai seberapa nyalinya untuk menanggung atas apa yang ia lakukan sendiri.

Belum lagi jika pernyataan-pernyataan lainnya juga dijadikan laporan. Bisa kaku ketaakutan di rumah. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, dan rasakan atas perbuatan sendiri juga kog.  Padahal dengan pelaporan ini, sangat mungkin bisa menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar tertib.

Mengeluarkan pendapat memang hak dan itu dijamin UU, bahkan UUD, namun tentu bukan menghina, melecehkan, bahkan memfitnah. Mana ada sih agama yang mengizinkan orang menghina atau memfitnah orang lain? Sama sekali tidak ada. Hanya orang saikit yang menghina dianggap kebebasan berpendapat.

Penegakan hukum perlu dipisahkan  dengan memaafkan dan mengampuni. Selama ini campur aduk dan menjadikan hidup berbangsa ini kacau balau. Bisa seenaknya sendiri bicara namun enggan untuk mempertanggungjawabkannya. Bedakan mengampuni dengan bertanggung jawab. Ada ranah masing-masing.

Apa yang dilakukan elit itu dicontoh. Jangan kaget begitu banyak hujatan dilakukan di media sosial. Yaa karena elit yang memberi contoh. Belum lagi penyelesaian yang begitu-begitu saja. Kebebasan itu juga berkaitan dengan sikap ksatria. Salah mengaku, bukan malah menuding ke mana-mana. Ini memalukan namanya.

Reformasi itu seharusnya membawa kebaikan, bukan malah menjadi makin rusak dan blangkrak. Ngakunya beragama, tapi perilakunya memalukan, masih bagusan preman yang mau masuk bui karena menghajar orang. Elit makin hari makin kurang ajar dalam bertindak.

Sejatinya tidak banyak. Wong ya aslinya itu lagi itu lagi. Kalau bukan petualang politik mogol, orang yang terusik kenyamanannya dalam menikmati kue kekayaan bangsa. Mereka tidak banyak jumlahnya, tetapi menguasai aset negara ini demikian besar. Nah ketika terganggu, terusik mereka memprovokasi anak bangsa yang enggan membaca dan berliterasi dengan baik.

Kolaborasi pula dengan politikus malas dan nirprestasi. Sudah jadilah kegaduhan demi kegaduhan.  Jangan lupa juga pelaku ideologis yang menyamar ke mana-mana karena pembubaran yang tidak jelas mau apa dengan sikap itu.

Pola sama, sejenis, dan identik. Menebarkan berita kontroversial, berpolemik, gak ngaku, atau ngeles ke mana-mana. Ketika kepojok menuding pemerintah otoriter, hape atau medsos diretas, dan sejenis itu.  Pokoknya tidak ada sikap yang menujukkan kualitas dan pemberani.

Perlu waktu lagi seperti apa kualitas Said Didu pun keseriusan Luhut demi tertib hidup bersama. Jangan sampai sate atau meterai lagi yang bicara.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun