Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Luhut Ajarkan Oposan Bermartabat, Tidak Menista Agama, dan Elegan

3 Mei 2020   11:01 Diperbarui: 3 Mei 2020   10:54 1899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Luhut Ajarkan Oposan Bermartabat, Tidak Menistakan Agama, dan Elegan

Esok adalah ajang pembuktian, ketika Said Didu datang ke kantor polisi. Ke mana dibawa pernyataan orang itu harus dipertanggungjawabkan. Selama ini, saling tuding dan menguap begitu saja. Ada yang kabur tidak tahu rimbanyanya usai berkicau, ada yang terdesak dan kemudian menggunakan jurus meterai Rp. 6.000,00 atau menjual derita dengan klaim akun atau alat komunikasinya dibajak. Semua itu basi.

Waktunya membuktikan bahwa yang dituduh berhak membela diri, pun yang menuduh bersikap ksatria dan ikuti proses hukumnya. Kalau yang menuding benar, bagus dan bawa ke ranah hukum selanjutnya. Pencemaran nama baik gugur atau memang melakukannya. Jangan malah melebar dan menebar ancaman ke mana-mana.

Kedua belah pihak patut menggunakan jalur hukum. Biar hakim yang  menggunakan konstitusi sebagai penengah, jangan kemudian di kepolisian dengan atas nama berdamai, cabut kasus, dan nantinya yakinlah mengulangi. Model yang ini sudah bosan menyaksikan. Jangan kaget, ketika makin banyak orang mencaci maki, mengatakan tuduhan, bahkan fitnah tanpa merasa bersalah dan ketika terpojok mengaku khilap, tidak bermaksud demikian.

Mirisnya, pola-pola ngawur dan waton sulaya ini dipakai oleh pihak-pihak yang mengaku oposan. Padahal secara tata negara dan sistem pemerintahan, tidak ada namanya oposisi karena sistem bernegara kita ini presidensial. Dewan secara keseluruhan itu pengawas pemerintah. Sebenarnya tidak ada oposan karena bukan sistem parlementer. Salah kaprah diperparah oleh ideologis yang ugal-ugalan.

Era 2004-2014 sistem bernegara kita cenderung waras, sebagaimana mestinya. Ada PDI-P bersama Gerindra menjadi pihak di luar pemerintahan. Mereka tidak mendukung SBY-JK karena kalah dalam pilpres. Pilihan bagus, waras, dan normal. Hal yang mereka lakukan selama sepuluh tahun. Tidak banyak mulut  bahkan juga hingga lahir fitnah dan ugal-ugalan. Pun masyarakat, SJW, atau elit lebih tertib.

PKS-Golkar malah lebih galak di dalam menyikapi kebijakan SBY-JK. Mereka memainkan dua kaki dalam banyak kasus. Mereka lebih "liar" dari  pada duet Gerindra-PDI-P. Hal yang terbaca dengan baik bagi massa pemilih. Mereka sukses luar biasa dalam dua pemilu berikutnya. Meninggalkan Demokrat, yang sempat berjaya. Ini bukan semata efek mereka memiliki calon presiden, namun membangun politik berkarakter.

Semua berubah ketika 2014 ada lahir gaya baru bernegara.  Caci maki bahkan kepada pemerintah, khususnya Jokowi, fitnah dengan segala cara. Pelakunya beraneka ragam, namun dengan satu frame, oposan. Sebenarnya berbeda latar belakang, hanya menggunkan satu kesamaan ideologi "oposan".

Barisan sakit hati. Ini dimotori elit Gerindra yang kecewa jagoannya kalah pilpres. Mereka ini sangat mudah dipahami karena memang demikian adanya. Siapa yang tidak kecewa sih, ada Fadli Zon dan kawan-kawan. Asli oposan apapun pemerintah salah, pilihan yang tidak benar juga. Belajar 10 tahun hilang sekejap karena kalah pemilu. Lebih ngawur lagi ketika menyandera keberadaan dewan. enah namanya, yang jelas politik ugal-ugalan dan waton sulaya.

Kelompok ini, mengembang dan makin banyak karena ada menteri dipecat, komisaris dipecat, dan banyak alasan berbeda dan kumpul menjadi satu. Ada pula gelandangan politik karena perbuatan masa lalu. Narasi mereka sama, pemerintah gagal.

Keberadaan kelompok sakit hati ada yang berubah, ketika Prabowo masuk kabinet. Toh sebagian masih sama saja. Ada yang memang tidak tahu politik, tetapi ada yang karena ideologi. Dukungan kepada Prabowo hanya semata kamuflase demi mendapatkan panggung perjuangan mereka.

Faksi ideologis khusus. Karena HTI dibubarkan, tanpa ada penanganan hukum yang pasti dan jelas, mereka ini masuk ke mana-mana dan mengaku sebagai oposan. Jauh lebih susah karena mereka bisa menjadi apa saja dan ke mana saja. Jelas kog keberadaan mereka. Entah alasan apa demikian lamban menangani dan seolah membiarkan menebarkan virus yang begitu akut.

Bagian-bagian masa lalu yang mogol baik dalam bisnis, birokrasi, atau ideologis. Mereka yang sempat merajalela dan kemudian terputus aksesnya bisa bertingkah lebih mengerikan. Sama juga orang sedang mendapatka banyak keuntungan, tiba-tiba keadaan berubah. Orang panik bisa lebih berbahaya. Nah salah satunya menebarkan banyak masalah dengan berbagai cara.

Elit korup, ASN malas, dan para pecundang negara. Mereka ini demikian merajalela dengan proyek, kemalasan namun gaji dan tunjangan gede. Rakyat kebanyakan yang tidak pernah demikian sih suka cita, perilaku mereka dibungkam. Lha yang kena jerat meronta lah. Jangan kaget pilpres kemarin Jokowi susah payah memenangkan, padahal jelas seperti apa hasil yang disajikan dari periode pertama.

Tebaran racun, virus, dan fitnahana mereka-mereka ini begitu kuat. Pada sisi lain masih banyak orang malah membaca. Nah ditelan mentah-mentah dan banyak pengikutnya. Mereka yakin persepsi yang telah diulang-ulang itu.

Penanganan masih lagi-lagi sama, khilap, maaf tidak bermaksud demikian, dan atas nama agama, memaafkan, dan mengampuni. Apakah demikian? Jelas tidak.

Penistaan agama yang ada. Pengampunan benar baik, maaf juga baik, namun proses hukum juga hhaus, ketika itu berkali ulang. Menistakan agama, jika mengulangi perbuatan yang sama, tanpa sesal yang hanya di depan polisi saja. Orang model demikian bukan beragama, namun menggunakan agama sebagai kedok.

Mendadak alim dengan menyitir kata-kata suci, penampilan agamis semata pakaian dan kata. Munafik, karena kauflase atas kejahatannya. Lebih jahat dari yang tidak beragama sejatinya. Mereka paham agama, nyatanya pakaian atau sitiran ayat suci, tetapi dalam perilaku jauh dari agama yang ada.

Parah lagi ketika dikaitkan dengan agama tertentu, menuding agama lain sebagai pelaku penindasan. Ingat, sekali lagi ingat, ini bukan soal agama, pelaku beragama yang buruk. Lha ada Kner juga perilakunya demikian, apa-apa dikaitkan dengan agama yang diulas atau Kner yang mengulas, padahal sama sekali tidak berkaitan. Hanya saja kebetulan sama.

Agama jauh direndahkan namun malah seolah sedang menegakan agama. Miris, memalukan, malah apa bedanya dengan menjual diri daripada menjual agama? Lebih nista menjual agama demi sesuap nasi atau jabatan.

Kritik itu harus, bagus malah, namun ketika tanpa dasar, waton sulaya, apalagi ketika berkaitan dengan kepentingan sekelompok orang kemudian menisbikan kebenaran universal, apa iya benar kritik? Toh mereka itu sejatinya paham, hanya demi kepuasan sakit hati, atau keinginan mendapatkan panggung untuk mendapatkan kekuasaan ya begitulah.

Kasus ini bagus, ingat bicara Luhut ini bukan karena agama Luhut tetapi pilihan menyelesaikan kasusnya patut diapresiasi. Apakah yang tidak mengasuskan itu lebih buruk, belum tentu juga. Jadi tidak serta merta bisa dinilai baik atau buruk. Ada pertimbangan-pertimbangan lain. Baca dan lihat secara luas, bukan hanya kasus per kasus, dan dikaitkan dengan afiliasi  tertentu.

Masih layak ditunggu, apakah kembali meterai atau bisa menjadi negara demokrasi besar. Pengadilan yang memutuskan. Sikap bertanggung jawab itu penting. Tidak soal baper, tapi soal mau dan berani mempertanggungjawabkan pernyataan.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun