Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Refly Harun, Ketika Kritik, Buzzer, dan Pengkhianat Berebut Benar

1 Mei 2020   10:43 Diperbarui: 1 Mei 2020   10:56 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik hiruk pikuk memang seolah sudah menjadi gaya hidup berdemokrasi negara ini. Wajar juga ketika sudah mengalami kediktatoran puluhan tahun. Di mana berpeda berarti bui atau lenyap, kini alam pikir kebebasan dan ndilalah, presidennya bukan kalangan elit. Euforia yang berlipat ganda tersaji.

Suka atu tidak, rela atau berat hati, toh tidak sekadar SARA yang bermain dalam hidup berbangsa ini. Perbedaan asal kampus, atau asal muasal masa lalu dalam birokrasi bisa menjadi pembeda yang mencolok. Militer atau polisi dari akademi atau dari perwira karir sarjana bisa menjadi ajang dikotomi yang cukup kuat.

Pos menteri ini harus dari afiliasi ini, kementrian itu jatah dari sana, atau sini. Ini fenomena yang masih demikian ketat dan kental. Ironis zaman modern, makin maju, namun pergantian apapun itu menjadi heboh. Agama, politik, dan tidak jarang suku, atau asal-usul kampus pun ikut memanaskan suasana. Ormas apa nantinya di mana, jangan diganti dari yang berbeda. Ini sudah harus berubah dan dengan berat hati harus siap.

Sistem bekerja, profesionalisme harus lebih menjadi ukuran. Prestasi sebagai modal untuk bisa menjadi apapun. Pengetahuan dan kemampuan menjadi kendaraan untuk menjadi apa saja. Selama ini hanya itu lagi itu lagi untuk bisa menjadi elit di manapun berada. Mau dinasti itu tidak menjadi soal, asal kapasitas dan proses yang terjadi juga dijalani. Kesalahan itu tidak pada posisi soal keturunan namun cara untuk meraih jabatan.

Pergantian komisaris terutama BUMN itu hanya salah satu hal kecil dalam bernegara ini, namun mengapa begitu riuh rendah dan ke mana-mana. Salah dua atau tiga yang bisa disebut, ada Ahok dengan ancaman demikian masif ketika mau diangkat menjadi komut Pertamina. Gelombang penolakan dengan sangat keras dan melibatkan agama, politik, dan juga mengaitkan dengan hukum.

Erick Thohir melaju dan tidak mau tahu dan Ahok tetap menempati posnya. Pelaku yang dulu galak dan garang juga kini secara tidak langsung menjadi anak buah Ahok. Toh ternyata berjalan juga, dan ke mana suara lantang mereka? Sama sekali tidak ada lagi.

Said Didu. Jauh lebih lama sih sudah tidak lagi mendapatkan tempat. Padahal pada masa lalu sangat istimewa. Jabatan demi jabatan diemban dan tentu saja sangat sibuk jadi diam. Sangat bisa dimaklumi. Iyalah kan sibuk kerja sana karya sini, jadi tidak sempat meributkan kerja pemerintah. Apa karena kenyang? Ya bisa ya bisa juga tidak.

Berada pada gerrbong yang berbeda seolah ada jawara dan melontarkan serangan ke sana ke mari, apakah salah? Tidak juga, wong mengaku sebagai kritikan. Entah kritik beneran atau tidak, toh pemerintah juga melaju dengan tujuannya. Semua ada mekanismenya. Melempari kereta mungkin bagi abg itu prestisius, namun bagi PT KAI itu adalah perusakan, dan bagi penumpang itu adalah teror yang menakutkan. Seperti itu memahaminya.

Refli Harun ketika pamitan melalui media sosial telah menyatakan sikapnya. Jelas, gamblang, dan lugas. Nah tidak kaget ketika dalam sebuah acara media sosialnya ia mengundang  seorang yang sudah dikenal pada barisan yang berbeda. Kapasitasnya juga tidak pas ketika membahas pernyataan Prabowo. Politikus juga bukan, mengakunya sih ulama, toh tidak juga ada kajiannya yang bisa menjadi pembangun sisi spiritual bangsa. Nah ketika kapasitas orang demikian yang diundang, menanggapi sebuah kejadian politis, apakah patut diapresiasi sebagai sebuah kritikan?

Tudingan Buzzer, Penghianat, dan Klaim Kritik

Politik berbangsa sudah cukup nyaman, usai pelantikan presiden Oktober lampau. Laju pembangunan seolah akan mulus, namun tiba-tiba covid datang dan itu membangunkan gerbong barisan sakit hati dan politikus oposan yang sedang hibernasi. Amunisi mereka habis-habisan untuk pemilu dan pilpres. Pandemi seolah bahan bakar baru yang demikian kuat. Pelaku yang itu lagi itu lagi berpesta  pora dengan lagak lagu yang sama.

Isu ekonomi, HAM, ekonomi, ataupun jelas politik saling berkait dengan pandemi. Seolah semua menjadi pembela rakyat kecil, masyarakat berdampak, padahal jika mau jernih semua juga paham. Mereka berteriak soal  uang dan kekuasaan semata. Tidak jauh-jauh dari itu semua. Kursi wong nyatanya juga ujung-ujungnya Jokowi turun kog.

Nah ketika ada yang menuding pengritik pemerintah itu sebagai penghianat, atau sebaliknya pembela pemerintah dituding sebagai buzzer, itu sama saja. Ini soal mau benar sendiri dan menang sendiri. Tidak mau tahu berbuat secara adil dan berimbang. Paling tidak mendekati posisi lebih obyektif. Toh selama ini yang mengaku pengritik melakukan tanpa data dan asal berbeda. Nah ketika ada yang melawan mereka, ya tidak perlu meradang dan menuding dengan berlebihan.

Pembela pemerintah itu ada juga yang tidak mendapatkan apa-apa, sama sekali tidak berharap jabatan sekalipun. Mengapa membela? Lha semua serangan demikian masif, begitu deras semua terjadi dan dihadapi sendirian oleh Jokowi. Partai politik diam saja, menteri apalagi, dan itu yang membuat orang membela dengan suka rela. Sama sekali tidak berharap bayaran apalagi memikirkan menjadi komisaris.

Bangsa ini sudah mendekati rel yang tepat untuk mendapatkan kejayaan. Investor percaya, nilai tukar rupiah mendapatkan angka tertinggi. Toh begitu masih saja dipermainkan dan dinarasikan sebaliknya oleh orang yang sama itu lagi-itu lagi. Mereka juga paham kog keadaan negara ini baik-baik saja.

Apakah ada yang diganti legawa dan tetap membantu bernegara dengan baik-baik saja? Ada. Bisa dicek dan dilihat, siapa yang diganti kemudian menjadi barisan sakit hati atau masih berkarya dengan jalan yang baru.

Kritik dan pengkritik itu tidak salah. Sepanjang apa yang mereka lontarkan itu berdasar, memberikan dampak baik bagi lebih banyak orang. Bagaimana bisa mengaku itu kritik ketika demi melampiaskan sakit hati atau ngarepkan jabatan.

Membayangkan dengan begitu banyaknya serangan pada pemerintah dan pribadi presiden, bangsa ini melaju sekian jauh. Bagaimana jika mereka ini lebih tertib dan mendukung dengan lebih adil. Pemilu itu lima tahunan. Tanpa ada kesalahan yang fundamental kog mau mengganti. Apalagi rekam jejak mereka pun jauh dari prestasi. Lha narasi saja sumbang apalagi hasil kerja baik. Nol besar.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun