Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Langkah Kuda Jokowi Versus Lebaran Kuda SBY

21 April 2020   20:34 Diperbarui: 21 April 2020   20:38 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada dua mantan presiden yang masih hidup. Keduanya  memiliki posisi dan peran yang hampir bertolak belakang. Relasional pribadi dan politik juga tidak cukup hangat. Lebih cenderung kaku, dingin, dan tidak ada kaitan. Memang tidak ada sebuah keharusan untuk  baik-baik saja. Usai mangkatnya BJ Habibie, tidak ada lagi sesepuh, presiden yang berjiwa negarawan.

Leluasa datang ke istana, berbincang dengan presiden yang menjabat, sebagai seorang tua kepada anaknya. Sesepuh dalam arti yang sesungguhnya. Pemandangan adem, ketika mengantar dengan penuh hormat, membungkuk dan penghormatan tulus itu terbaca, bukan sekelas pencitraan atau jaga image sebagai seorang pemimpin. Itu sudah lewat, tidak akan ada lagi.

Megawati sebagai pengusung Jokowi untuk dua periode bukan sosok yang sangat terbuka seperti Habibie. Tidak akan ada model tampilan epik kedatangannya untuk memberikan nasihat, masukan, atau dukungan secara terbuka pada yuniornya, penerusnya, dan juga kadernya. Padahal jika itu dilakukan, akan sangat bagus. Rakyat melihat adanya kesinambungan kepemimpinan.

Lebih lucu relasi Jokowi dan SBY. Aneh dan seolah ada yang berjarak. Atau karena pola pendekatan dan didikan militer SBY jadi kaku, resmi, dan lucu. Padahal Jokowi sangat cair dan tidak akan kesulitan jika ada komunikasi. Model protokoler birokratis militer SBY sangat tidak ada kesulitan bagi Jokowi yang tentunya memahami kebiasaan pendahulunya itu.

Lihat saja relasional "atasan bawahan" ketika SBY presiden dan Jokowi gubernur, Jokowi selalu menuntupkan mobil presiden, mengantar sampai ke dalam mobil. Pasti akan dilakukan yang sama, sebagaimana kebiasaan lama itu juga terjadi kepada almarhum Habibie. Pertemuan yang sangat baik demi menjaga kewibawaan negara. Ada persoalan katakan saja, tidak perlu berpolemik dan malah menjadi tertawaan anak-anaknya.

Miris sebenarnya melihat beberapa kali SBY malah menanggung malu. Dua kisah besar SBY balik kanan dengan penuh malu, ketika mereka, Demokrat dengan dalih menyerap aspirasi akar rumput mengadakan, tour de Java, dengan pernyataan-pernyataannya yang memanaskan telinga, respons Jokowi hanya datang ke Hambalang dan menyatakan, sayang mangkrak. Hanya datang dan tidak banyak cakap. Rancangan besar keliling Indonesia berantakan, balik kanan. Seperti Hambalang yang tidak jadi diteruskan.

Pun ketika Jokowi bertemu Prabowo dan naik kuda bersama, SBY seolah tersinggung dan melakukan aksi yang cukup heroik, dengan muka merah padam melakukan konpres. Pilihan kata dan kalimat , serta gerak bahasa tubuh menunjukkan lepas kendali. Selengkapnya di sini  

Itu periode pertama. Pas menghadapi pemilu untuk pilpres kedua, lagi-lagi SBY "berulah", ia keluar dari rombongan arak-arakan KPU dan pulang. Tampilan kekanak-kanakan yang terus terulang. Hal yang sejatinya tidak selayaknya demikian.

Kini, di tengah pandemi, Ada tiga pernyataan baik SBY langsung, ataupun via AHY dan juga kader mereka. Toh satu itu SBY. Tidak bisa dipisahkan Demokrat-SBY. AHY, mengatakan negara bisa porak-poranda. SBY mengatakan tidak pernah memenjarakan warganya, dan diikuti Benny K Harman yang menyatakan pemerintah melanggar hukum dengan Perpu untuk pandemi ini. 

Politik kuda, cepat, kuat, dan bergegas itu bukan ciri SBY, malah menjadi lucu, dan gagap sendiri. Mereka bukan tipikal model menyerang, tidak fasih memainkan peran itu. Jauh  kedodoran dan malah membalik ke muka sendiri.

Lihat saja tour de Java, jadi amburadul. Cara berpolitik SBY itu memang lamban, tenang, penuh perhitungan. Aneh dan lucu ketika menyerang ke sana ke mari dan malah akhirnya kebobolan banyak. Ini mirip pertandingan bola ala Italia dengan gerendel namun memainkan taktik menyerang ala Inggris. Serangan melempem, malah kena gol lambung dan telak di depan gawang kosong.

Pemilihan pola pendekatan politik SBY yang gagal, karena tidak cermat dan ikuti pakem yang biasa mainkan. Penyerangan yang gagal karena motivasi kepentingan sendiri, bukan demi negeri. Ia lupa pada sisi lain, Jokowi pemain politik ulet.

Mungkin SBY meremehkan, sekelas Jokowi tidak bisa strategi, berbeda dengan dirinya militer yang sampai bintang tiga. Berbeda, ia kerja dalam tim. Jokowi cenderung hanya dengan orang-orang yang benar-benar ia tahu kapasitas, etos, dan kesetiaannya. Jauh berbeda dengan SBY yang berkeliling dengan tim yang sangat profesional, soal etos dan kepercayaan, sangat mungkin hanya karena uang.

Langkah taktis Jokowi sebagai pemain yang tidak banyak didukung oleh elit malah membuatnya lebih lepas bebas. Lepas banyak kepentingan yang harus ia puaskan. Ingat SBY memiliki jargon yang diulang-ulang, satu lawan terlalu banyak dan 1000 kawan kurang. Hal yang membuatnya jadi maunya menyenangkan semua pihak.

Lucu dan aneh jika Jokowi demikian sabar, perhatian, dan hati-hati soal pandemi, eh malah SBY yang biasanya sangat lamban itu malah mendesak Jokowi untuk cepat-cepat bertindak. Hal yang aneh, lucu, dan tidak pakem, wong dirinya sendiri saja tidak terbiasa gerak cepat, namun orang lain diharuskan cepat, dan malah potensial salah keputusannya itu.

Gotong royong, permintaan Jokowi. Adanya kerjasama, semua pihak, semua warga negara bahu membahu melakukan apa yang bisa dilakukan. Kapasitas masing-masing tentunya. Nah ketika tidak bisa membatu, bisa cukup diam saja. Riuh rendah tidak bermakna bisa membuat kacau. Apalagi tahu kalau perbuatannya itu tidak berguna, malah menambah ribet.

Kapasitas SBY jauh dari bisa melakukan banyak hal. Menciut via media sosial atau mengatakan ini dan itu apa sih manfaatnya? Padahal dengan jaringan, dengan kekayaannya juga mampu berbuat lebih banyak lagi. Selama ini toh belum ada aksi nyata yang terdengar.

Fokus 2024 terus yang ada. Padahal tidak cukup meyakinkan keberadaan partai dan kadernya. Besarkan dulu partai politik, baru bicara capres. Atau kadernya, semisal AHY memberikan dampak dulu, baru bicara nyapres. Masih banyak tokoh lain yang mempunyai panggung lebih baik. Ganjar dengan capaian di Jawa Tengah, Risma, Ridwan Kamil, atau tokoh lain yang tentu juga bergerak demi menanggulangi corona.

Atau merasa malu atau takut terlupakan? Halah, tinta emas akan mencatat sendiri, tidak perlu berteriak memaksakan diri untuk diingat. Jangan malah merusak ingatan yang pernah ada dengan kisah tantrum yang tidak pernah usai.

Wong sederhana kog, tidak bisa membantu diam saja. Mana ada kata-kata merendahkan untuk Pak Try Sutrisno atau Hamzah  Haz, atau Pak Boed, sama sekali tidak ada. Mereka tahu dengan baik posisi, peran, dan kapasitasnya. Diam itu emas juga ada benarnya dengan tidak menambahi beban untuk pemerintah.

Semua ada waktunya, semua ada masanya, dan jangan khawatir akan dilupakan. Biarkan rakyat dan bangsa itu memberikan sendiri penilaian, tidak perlu risau akan mendapatkan nilai buruk jika memang sudah bekerja dengan baik bukan?

Pemilu itu lima tahunan. Ada batasan dan tidak perlu nggege mangsa. Miris mengajari warga untuk tidak taat pada azas yang ada.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun