Pemilihan pola pendekatan politik SBY yang gagal, karena tidak cermat dan ikuti pakem yang biasa mainkan. Penyerangan yang gagal karena motivasi kepentingan sendiri, bukan demi negeri. Ia lupa pada sisi lain, Jokowi pemain politik ulet.
Mungkin SBY meremehkan, sekelas Jokowi tidak bisa strategi, berbeda dengan dirinya militer yang sampai bintang tiga. Berbeda, ia kerja dalam tim. Jokowi cenderung hanya dengan orang-orang yang benar-benar ia tahu kapasitas, etos, dan kesetiaannya. Jauh berbeda dengan SBY yang berkeliling dengan tim yang sangat profesional, soal etos dan kepercayaan, sangat mungkin hanya karena uang.
Langkah taktis Jokowi sebagai pemain yang tidak banyak didukung oleh elit malah membuatnya lebih lepas bebas. Lepas banyak kepentingan yang harus ia puaskan. Ingat SBY memiliki jargon yang diulang-ulang, satu lawan terlalu banyak dan 1000 kawan kurang. Hal yang membuatnya jadi maunya menyenangkan semua pihak.
Lucu dan aneh jika Jokowi demikian sabar, perhatian, dan hati-hati soal pandemi, eh malah SBY yang biasanya sangat lamban itu malah mendesak Jokowi untuk cepat-cepat bertindak. Hal yang aneh, lucu, dan tidak pakem, wong dirinya sendiri saja tidak terbiasa gerak cepat, namun orang lain diharuskan cepat, dan malah potensial salah keputusannya itu.
Gotong royong, permintaan Jokowi. Adanya kerjasama, semua pihak, semua warga negara bahu membahu melakukan apa yang bisa dilakukan. Kapasitas masing-masing tentunya. Nah ketika tidak bisa membatu, bisa cukup diam saja. Riuh rendah tidak bermakna bisa membuat kacau. Apalagi tahu kalau perbuatannya itu tidak berguna, malah menambah ribet.
Kapasitas SBY jauh dari bisa melakukan banyak hal. Menciut via media sosial atau mengatakan ini dan itu apa sih manfaatnya? Padahal dengan jaringan, dengan kekayaannya juga mampu berbuat lebih banyak lagi. Selama ini toh belum ada aksi nyata yang terdengar.
Fokus 2024 terus yang ada. Padahal tidak cukup meyakinkan keberadaan partai dan kadernya. Besarkan dulu partai politik, baru bicara capres. Atau kadernya, semisal AHY memberikan dampak dulu, baru bicara nyapres. Masih banyak tokoh lain yang mempunyai panggung lebih baik. Ganjar dengan capaian di Jawa Tengah, Risma, Ridwan Kamil, atau tokoh lain yang tentu juga bergerak demi menanggulangi corona.
Atau merasa malu atau takut terlupakan? Halah, tinta emas akan mencatat sendiri, tidak perlu berteriak memaksakan diri untuk diingat. Jangan malah merusak ingatan yang pernah ada dengan kisah tantrum yang tidak pernah usai.
Wong sederhana kog, tidak bisa membantu diam saja. Mana ada kata-kata merendahkan untuk Pak Try Sutrisno atau Hamzah  Haz, atau Pak Boed, sama sekali tidak ada. Mereka tahu dengan baik posisi, peran, dan kapasitasnya. Diam itu emas juga ada benarnya dengan tidak menambahi beban untuk pemerintah.
Semua ada waktunya, semua ada masanya, dan jangan khawatir akan dilupakan. Biarkan rakyat dan bangsa itu memberikan sendiri penilaian, tidak perlu risau akan mendapatkan nilai buruk jika memang sudah bekerja dengan baik bukan?
Pemilu itu lima tahunan. Ada batasan dan tidak perlu nggege mangsa. Miris mengajari warga untuk tidak taat pada azas yang ada.