Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Buatlah Opinimu Sendiri!

21 April 2020   07:39 Diperbarui: 21 April 2020   07:53 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pagi-pagi melihat, rekan Kner membuat konten pada media sosial mengenai opini sebuah media. Ia bereaksi dengan membuat opini senada dengan pihak yang ia duga sebagai berseberangan. Hal yang sangat lumrah dan jamak menjadi pilihan.

Sering pula pelaku medsos mengambil tayangan pada sosial media dan mereka kupas, namun minim opini, hanya kupasan dengan memperpanjang dan memperlebar apa yang ada di dalam konten medsos tersebut. Biasanya mengambil yang sedang ngehits, viral, dan menjadi trendding. Itu sah-sah saja dan sangat mungkin ikut ngehits juga, karena berakitan dengan SEO dan trend di dalam dunia maya.

Media-media daring juga memiliki model pendekatan yang sama. Terutama pergosipan politik dan dunia selebritas. Mudah, meriah, dan sangat mungkin menggoda pembaca untuk menekan tombol baca. Sesederhana  itu.

Artikel ini akan membahas dunia politik tentunya, bukan yang selibritas karena tidak paham dengan baik;

Opinimu, bukan opini pihak lain. Orang akan dengan mudah menuangkan ide, gagasan, dan narasi ketika itu menjadi milik. Bayangkan bisa menerangkan panjang lebar soal sungai tanpa pernah melihat sungai itu bisa tidak? Hati-hati jatuh menjadi fiksi, padahal opini bukan fiksi, bahwa bahasa fiksi mungkin indah, namun akan menjadi tidak pas, jika mengolahnya salah.

Menjawab opini, boleh dan sah-sah saja, namun akan ketinggalan satu langkah. Jelas sudah offdate jika itu berkaitan dengan hal yang sedang ngehits. Tipsnya adalah temukan sudut pandang yang lebih spesifik, belum terpikirkan pelaku opini lain, atau bisa mengkombinasikan dengan fenomena lain. Lagi-lagi perhatian, jangan lupa untuk berpikir logis, sehingga tidak jatuh pada clik bait, menggabungkan dua atau lebih fakta yang tidak terkait, atau gagal memberikan adanya kesinambungan bagian per bagian itu.

Contoh soal impeachment gagasan Demokrat, ini sedang hangat, namun sudah akan basi jika diangkat tanpa ada yang baru. Bisa disangkutkan dengan keberadaan kegagalan Demokrat masa lalu. Apalagi jika mampu menjalin dengan keberadaan Angelina Sondaag misalnya. Ini akan memantik pembaca.

Mengritisi media, atau penulis lain. Hal yang  paling mudah, sederhana, dan memancing untuk dilakukan. Apalagi dalam Kompasiana ada juga fasilitas khusus untuk menanggapi artikel. Perlu diperhatikan bahwa hal itu bisa berabe jika gagal membaca dengan baik artikel atau maksud dari tulisan dan penulis itu. Beberapa hal sebagai berikut bisa menjadi perhatian,

Asumsi. Semua opini jelas berdasarkan asumsi. Nah asumsi yang logis, berdasar data dan fakta, dan kemudian arahnya tentu harus logis dan benar dulu. Misalnya ada opini yang dituding sebagai mendeskreditkan tokoh A, bukan kemudian menjadikan tokoh yang biasa di pandangan berseberangan untuk dideskreditkan. Aneh malah.

Opini yang lebih pas, ya buat narasi sebaliknya tentang si A itu dengan sudut pandang yang bertolakbelakang. Memang kadang itu fakta yang tidak bisa dibantah akhirnya menjawab dengan waton sulaya, itu penyakit beropini yang jadi tidak sehat.

Bermain politik juga hati-hati, asumsinya bisa meleset jadi malu sendiri. Contoh, dulu Prabowo dan Megawati banyak yang mengasumsikan seperti musuh, mau cebong ataupun kamret sama saja. Ingat, politik itu tidak ada yang abadi. Baca rekam jejaknya cukup panjang baru mengambil simpulan. Ketika mereka memasak nasi goreng jilid dua baru pada bengong.

Kenali tokoh-tokohnya, contoh lagi, seperti Megawati dengan kepribadiannya akan sulit menerima SBY. Berbeda dengan Jokowi yang dengan mudah mengajak yang berseberangan untuk bergandengan tangan. Soeharto pun memiliki kekhasan sendiri. Demikian terus, jadi asumsi kita ada dasarnya, bukan asal saja, dan bisa menjadi malu.

Kesalahan simpulan dalam beropini sangat mungkin. Jangan takut salah dalam simpulan, tetapi takut dan malulah ketika salah dalam membangun logika. Ini hal penting. Contoh, SBY baper karena tersangkut kasus kerusuhan 98, itu bisa saja, namun terlalu jauh. Premis-premis pembangunnya akan banyak asal dan fiksi dari pada data. Berbeda jika misalnya tantrum karena kasus Jiwasyara. Gampang mengumpulkan data untuk itu.

Hati-hati soal UU ITE. Ini bisa menjadikan orang takut beropini, cari data dari media arus utama, situs-situs tepercaya, Wikipedia sebatas sebagai tambahan bukan yang utama. Dengan mengulas yang sudah ada dalam perbincangan media, opini kita bisa lebih aman dari jerat UU ITE.

Opini bukan fitnah, bukan hujatan dan makian. Nah agar terbebas rasa emosi, terbawa keadaan, lebih baik tidak menulis jika sedang emosional. Jangan tanya mengapa, akan terbaca dalam tulisan. Jika emosi akan jatuh pada curhat dan kesal, opini tidak lagi jadi enak, karena pembaca malah kesal juga.

Asumsi kita soal pihak lain, belum tentu sepenuhnya tepat. Seperti soal Prabowo dan Megawati. Terhadap penulisnya juga demikian. Karena bisa saja ia influenser, buzzer, atau memang senang saja beropini. Berbeda-beda dan simpulan juga bisa lain. Perlu kehati-hatian dalam menanggapi opini, apalagi malah membawa pada ranah pribadi penulisnya, soa agama  atau rasnya. Lucu dan gak nyambung kalau saya.

Buat opini sendiri itu akan jauh lebih orisinil, mau buruk atau bagus respons pembaca tidak yang utama. Paling penting adalah data valid, alur pikir logis, dan simpulan itu yang membedakan. Mau dibawa ke mana arah tulisan sehingga pembaca terpengaruh.

Membaca, membaca, dan membaca akan menjadikan referensi opini makin baik. Termasuk dalam menyusun kalimat dan bahan untuk mengambil simpulan. Tidak perlu risau tulisan orang, semua ada pangsa pembaca dan penikmat masing-masing. Silau tulisan orang bisa tidak jadi menulis, belajar dari sana baik.

Menciptakan kekhasan. Kalau bisa, tidak bisa memaksakan kog, tetapi lama-lama akan tercipta pola yang sama dan itu milik kita. Di sinilah peran proses itu penting dan belajar, belajar, dan belajar menjadi pembeda.

Nikmati perbedaan, jangan memaksakan keragaman. Hal yang indah dari pelangi itu karena berbeda. Coba pelangi kog biru ya apa bedanya dengan langit. Memaksa orang untuk sama, identik, dan seragam, ya sudah mati saja. Mana indah hidup begitu. Opini pasti akan seragam, tetapi ada apa yang sama, yaitu kemauan berproses dan berkembang dalam mengambil simpulan.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun