Di tengah pandemi covid, ada dua gelaran politis. PAN dan Demokrat. Satunya sunyi senyap, lainnya riuh rendah karena kelahi. Berkepanjangan PAN karena sesepuh dan deklaratornya seolah tidak rela melihat sang besan masih berkuasa. Upaya berkelanjutan masih akan ada lagi, apakah mau PAN reformasi atau Perjuangan atau lainnya.
Demokrat pun mengadakan kongres dan mengesahkan AHY sebagai ketua umum. Tidak ada hiruk pikuk pemberitaan yang masif dalam media. Sepi dari sorotan, apalagi di tengah keadaan genting covid. Malah lebih menguar salah satu pesertanya ternyata positif korona. Bupati Karawang yang ada di sana dinyatakan penderita positif. Â Ini lebih banyak pembicaraannya.
Pun ketika covid belum mereda, pengurus baru Demokrat mengumumkan kabinetnya. Lagi-lagi sepi yang sama. Pemberitaan tidak cukup luas, apalagi dunia medsos. Keberadaan kakak beradik pun tidak menjadi bahan pembicaraan yang berlebihan. Sepi itu saja. Toh tidak cukup seksi keberadaan Demokrat kali ini. Mereka seolah hanya penggembira yang tidak perlu panggung dari media.
Pengurus ini secara umum generasi muda. Ini tim politik, bukan pemain sepak bola. Usai muda jika hijau alias ingusan untuk apa. Susah melihat  muda yang progresif dari tampilan tim ini. Apalagi abang adik ini lebih banyak karena proteksi bukan prestasi. Sama sekali belum ada inisiatif luar biasa bagi AHY pun EBY yang berkali-kali sudah ada di Senayan.
Cenderung muda pada tataran di atas kertas, toh akan SBY terus yang menjadi patron. Sama saja boong jika hanya tampilan. Susah melihat mereka bisa melaju sendiri. Ini bukan kesalahan anak-anak, namun pola pendidikan orang tua yang tidak mau membiarkan anak berkembang dan menjalani lakunya sendiri.
Andi Arief di bidang pemenangan. Memang ini juga relatif muda, angkatan 98 yang cukup kritis. Namun tidak sekeren Anas Urbaningrum, segarang Adrian, atau senyinyir Fadli Zon. Keberadaannya tidak memberikan cukup besar harapan. Ia hanya menang di dalam, ke luar masih  belum meyakinkan.
Tentu masih ingat, bagaimana permainan di kampanye pilpres kemarin. Dampak buruk yang diperoleh Demokrat sedikit banyak dari perilakunya. Dua isu yang ia usung jenderal kardus dan surat suara tujuh kontainer tercoblos, hanya isapan jempol. Mengapa demikian? Toh ia tidak berani datang mempertanggungjawabkan pernyataannya.
Prabowo terkena dampak yang cukup besar dengan pembunuhan karakter dengan istilah jenderal kardus. Â Bulan- bulanan kubu rival dengan sematan oleh anggota tim koalisi sendiri. Pembuktian ataupun tidak, sama saja merusak citra rekan sendiri. Kecewa yang tidak terkelola dengan baik.
Surat suara tercoblos juga tidak berdasar ketika ia tidak mau datang untuk melengkapi berkas pemeriksaan. Jika benar kan tidak perlu berkepanjangan pemilu. Lagi-lagi  hanya  omongan yang hanya sekadar, tanpa dasar. Merugikan tim sendiri, karena lontarannya dinilai sebagai asal bunyi. Rugi termasuk Demokrat.
Kehilangan sosok-sosok hebat seperti Andi Malarangeng yang kena bui. Pun Anas Urbaningrum setali tiga uang, meskipun cenderung berbeda masalah. Mereka  muda dan memang politikus  karir. Matang dalam organisasi dan benar-benar jeli dalam bersikap secara politis. Soal uang dan kursi  memang tidak mudah. Kejatuhan mereka sama juga dengan suramnya Demokrat.