Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ngapain Saja Anies?

16 April 2020   10:56 Diperbarui: 16 April 2020   11:16 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngapain Saja Anies?

Nama yang paling tenar selama pandemi covid jelas Anies Baswedan. Tidak akan ada yang mampu menandinginya. Ada saja tingkah polahnya yang menjadi polemik dan pro-kontra berhari-hari. Satu blunder belum selesai sudah menciptakan kisah baru yang tidak kalah konyolnya. Toh ia nyaman-nyaman saja. Karena itu memang sengaja. Ada kehendak di balik perilaku aneh itu.

Di waktu yang bersamaan malah ada yang lebih humanis untuk dilihat lebih jauh. Pandemi ini bisa disikapi dengan adem, manusiawi, dan cerdas, bukan semata teror. Tidak perlu settingan mahal-mahal jika ada ketulusan dan relasional personal. Karib yang bertukar khabar, sebuah tagihan yang membawa nostalgia dan persaudaraan yang hakiki.

Bayangkan saja, kejenuhan massa dengan berbagai narasi soal covid. Belum lagi lagak lagu pemain politik yang tidak malu-malu menunggangi apa saja pokoknya menjadi bahan pembicaraan atau pemberitaan.

Media cenderung pokok ramai tanpa mau tahu benar salah. Ketika mengangkat tema asal menarik pembaca dan iklan bagi media daring. Hal yang memang sudah demikian menjadi kebiasaan. Masyarakat yang perlu belajar, toh masih banyak elit waras dan normal dalam berelasi.

Mencari kebenaran dari media pun sudah tidak mudah. Bagaimana media arus utama pun sekarang tidak kalah dengan media abal-abal dalam menayangkan pemberitaan atau opini. Toh warga masih bisa menalar, mana yang wajar mana yang lebay.

Kisah Ganjar dan Susi Pudjiastuti yang bercanda dalam media sosial sangat baik bagi rakyat. Mereka masih terhubung sebagai manusia. Tidak berkaitan dengan birokrasi dan relasi jabatan. Hal yang sangat baik, di tengah relasi mekanis politis semata.

Bu Susi menyaksikan Pak Ganjar sedang menikmati masakan khas Semarang manyung ketika masih menjadi menteri pada kabinet lampau. Tidak lama sudah terkirim ke Jakarta masakan itu, dan menyatakan terima kasih  serta laporan manyung sudah diterima dan dinikmati. Ada relasi gubernur dan menteri.

Cair dan seperti bukan relasi birokrasi. Kekakuan gaya berbelit khas birokrasi masa lalu itu tidak ada. Manajemen modern, sekat-sekat primordial dan feodal saatnya runtuh. Kerja dan prestasi itu karena bebas bukan soal kaku dan saklek aturan protokoler berlebihan.

Nah sekian lama itu sudah lewat, beberapa hari ini kembali tersaji, Bu Susi menagih Pak Ganjar, kiriman manyung Semarangan. Respon baik, via media sosial. Padahal Bu Susi bukan lagi menteri, Ganjar masih gubernur. Artinya bukan relasi kerja dan birokrasi yang ada.

Beberapa hal yang bisa dan patut menjadi pembelajaran.

Ganjar dan Susi bukan rekan dalam kabinet, namun bisa demikian akrab dan erat. Pertemuan paling sangat terbatas, ketika ada persinggungan kerja atau politik. Namun bisa demikian bebas. Bandingkan dengan Anies, meskipun dalam kabinet hanya sebentar, toh ada kesempatan lain ketika sudah jadi gubernur.

Relasi personal terjalin bukan karena kerja, jabatan, atau birokrasi.  Kebersamaan dalam kerja belum tentu melahirkan hubungan personal. Sebaliknya karena kedekatan pribadi bisa menjadi jembatan jarak dan pertemuan.

Adem  melihat pola relasi elit yang cair, apa adanya, dan bisa saling dukung dengan kapasitas masing-masing. Ini bisa terjadi karena orang tidak berlebihan di dalam mencari panggung. Malah datang "iklan gratis" itu. Apa ada  settingan untuk mengunjungi jerapah, apakah mereka stres, atau tidak?

Hewan di kebun binatang sepanjang makanan tersedia ya tidak akan stres, ingat itu hewan di kandang, bukan hewan liar. Asal makan-air, tempat cukup nyaman pasti aman. Karena mau dibicarakan datanglah ke sana. Perlu settingan, butuh tenaga ahli menciptakan moment, padahal Ganjar dan Susi tidak perlu demikian. Namun gaung  pembicaraan lebih kuat.

Covid pun bisa menjadi panggung, mau diciptakan atau datang sendiri. Bagimana Jakarta dengan berbagai narasi dan aksi malah berujung caci maki dan hujatan. Padahal banyak hal bisa menjadi bahan kampanye murah meriah. Kembali asal ada ketulusan semua akan mengikuti.

Polemik mudik dan tidak. Ada yang pro dan kontra, ada yang ngompor-ngompori tentu saja. Gagasan Rudy walikota Solo dan Ganjar lagi-lagi lebih waras dan rasional. Mereka memiliki pemikiran wajar, sehingga berdaya guna.

Rudy menyedikan tempat untuk karantina dan isolasi bagi warga yang datang dari luar Solo. Langkah nyata, berdaya guna, dan benar. Tanpa harus teriak-teriak PSBB atau lock down, namun mandiri mengatasi permasalahan. Dan cukup efektif. Bandingkan daerah yang seolah-olah lebih pinter, bekerja lebih keras namun setiap hari angka kematian lebih tinggi. Pengidap positif juga kisaran separo angka nasional.

Padahal apa yang dinyatakan, dikatakan, dan dilakukan seolah paling bagus, cepat, dan aktif. Mana buktinya? Kerja itu dari bukti, bukan klaim saja. Bisa kerja itu hasilnya negatif, tetapi prosesnya kan jelas terlihat. Ada faktor lain yang membuat gagal misalnya.

Gagasan Ganjar menjemput warganya yang ada di Jakarta dan mengadakan karantina di tempat yang disediakan jelas lebih manfaat, tepat, dan berdampak. Ketika orang tidak memikirkan kepentingan diri lebih dulu, ada solusi lebih baik dan itu membawa banyak keuntungan. Mana ada gembar-gembor yang berbicara demi politisasi covid. Toh ada pembicaraan nada positif yang lebih kuat.

Tanpa ulah negatif yang perlu untuk menaikan lalu lintas pembicaraan. Mosok orang bisa memilih konyol ketika ada yang lebih baik bisa dilakukan. Pimda banyak yang tidak perlu membuat ulah dengan meminta anggaran ke mana-mana berlebihan biar dikatakan telah bekerja kog. Nyatanya bisa.

Politik itu seni. Dan tampak nyata ketika sukses memainkan peran. Ada peran jahat, peran baik, atau memilih biasa saja. Politik cemar asal tenar bagi sebagian orang itu prestasi. Memang secara instan akan demikian. Namun apakah berdampak lama dan panjang? Jelas tidak. Sekali sukses mau dilakukan lagi sudah gagal masih juga dipaksakan. Namanya konyol.

Pemain politik yang bisa memainkan peran dengan cerdik, cantik, dan tidak fokus semata-mata pada hasil, jauh lebih kreatif. Sebenarnya dalam banyak kasus dan hidup hal ini sama. Bagaimana orang bisa bebas dan merdeka akan menghasilkan lebih baik dan banyak.

Nah ketika ada kebaikan yang bisa membawa hasil lebih baik lagi, mengapa memilih cemar asal tenar? Ya karena tidak cukup modal. Tahu diri terbatas sehingga memainkan narasi kehebohan dan kegaduhan tanpa makna.

Pilpres 24 masih jauh kog. Tidak perlu menunggangi apapun demi empat tahun lagi. Masih banyak hal yang bisa terjadi. Dan parahnya masyarakat kita itu pendek ingatannya. Buat apa menabung dengan keburukan pula untuk empat tahun yang akan datang.

Sabarlah, lakukan apa yang hari ini bisa dilakukan dengan yang terbaik. Lepaskan kepentingan demi kesejahteraan warga yang nyata, bukan malah mengarantina pohon dan membezuk hewan yang baik-baik saja. Ada yang lebih baik dan jelas terukur untuk mendapatkan point kog. Gege mangsa dadi kebat klewat.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun