Paskahan Bersama Jokowi
Masih dalam masa Oktaf Paskah, masih cukup wajar menuliskan Paskah. Masa di mana penuh keprihatinan asli dalam arti teologis ataupun faktual. Rangkaian ibadat yang demikian padat, kini harus "menonton" Â semata. Syukur bahwa ada kemajuan teknologi. Pilihan untuk tidak ikut karena enggan memang. Â Sejak awal ada yang tidak nyaman. Kinerja iblis menang.
Itu bukan yang utama, biar Tuhan yang menjatuhkan vonis atas pilihan itu. Ada yang  lebih penting dan baik justru jika berbicara Paskah ini dalam konteknya Presiden Jokowi. Bagaimana Paskah dan keberadaan Jokowi baik sebagai presiden atau pribadi.Â
Tentu ini bukan menyamakan Jokowi sebagai tokoh KS, jangan lebay. Pengalaman manusiawi yang memaknai dengan sudut pandang religius. Pengalaman religius pribadi, lepas agamanya tentu saja.
Paskah itu keprihatinan, maka diawali dengan puasa 40 hari. Duka mendalam karena penyaliban Yesus. Kematian dan ada di dalam alam kubur. Tidak perlu berdebat soal terminologi agamis dan teologis berlebihan.Â
Artikel ini bukan membahas itu. Ada penghianatan dan kondisi Yesus sendirian. Para murid malah ada yang menjual, ada pula yang menyangkal kalau ia adalah salah satu murid. Ada pula yang lari telanjang karena takut.
Salah satu murid juga mengandalkan kekerasan demi membela. Pada ujungnya ia juga menyangkal bahkan sampai tiga kali. Ketidaksabaran melihat proses, konsep manusiawi yang bekerja. Suasana itu yang diangkat dalam konteks Jokowi dalam politik hari-hari ini.
Duka mendalam atas kepergian si ibu, itu jelas pukulan amat besar. Anak, meskipun sudah seorang kakek, tetap adalah anak bagi ibu. Ibu yang tidak pernah tergantikan, baik oleh istri, anak, ataupun cucu. Khas, dan peran yang tetap berbeda. Kondisi pandemi yang sangat harus ditaati, menjaga jarak, tidak boleh ada kerumunan, dan itu semua adalah kondisi anomali dalam budaya Jawa ketika kesripahan.
Selaku anak yang sekaligus presiden tidak bisa berlama-lama dalam duka. Sore hari berikutnya sudah harus bekerja. Pekerjaan yang tidak mudah tentunya, bersama-sama negara maju berpikir tentang dunia. Padahal  hati dan pikirannya pasti galau berat. Toh tidak perlu menampilkan wajah muram, galau, apalagi menjual derita. Ia tampil sebagai seorang presiden.
Pandemi lebih mengerikan lagi aksi dan reaksi yang ada. Rival-rival politik yang mengintai di pojokan mulai menebarkan racunnya. Kebijakan apapun tetap saja salawi bicara. Beberapa pihak sejak dua bulan lalu memaksakan lock down, tidak ada penutupan lokasi. Narasi berikutnya hadir. Pemerintah enggan membeayai rakyatnya. Negara gagal menjamin kesejahteraan warganya.
PSBB, penyebaran virus makin luas, angka relatif tinggi. LD di mana-mana gagal. India, Italia, Malaysia gagal, keputusan realistis adalah PSBB, beberapa kota mengikuti. Dana bantuan mulai didistribusikan. Angka masih relatif sama, belum ada lonjakan kenaikan ataupun terjun bebas. Masih harus prihatin, namun dalam koridor yang sama.