Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lord Didi dan "King Cikeas" Coba Kolaborasi

12 April 2020   20:17 Diperbarui: 12 April 2020   20:25 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari ini sedang hangat pembicaraan rekaman dan album baru Pak Beye. Pada saat yang hampir bersamaan Didi Kempot mengadakan konser khas covid dengan tanpa melibatkan kerumunan atau penonton, layaknya pertunjukan akbar. Bersama Kompas. TV, kolaborasi penggalangan dana. Angka sekian rupiahnya adalah relatif, mau ada yang mengatakan itu gede atau kecil, bukan menjadi rujukan.

Didi Kempot yang akhir-akhir ini menjadi idola baru dengan sapaan akrab Lord Didi adalah pelaku seni yang benar-benar seniman. Tidak mendadak seniman dengan bantuan politis, medsos, atau ajang ini dan itu. Darah seninya mengalir dari keluarga. Memang berasal dari keluarga seniman yang asli pelaku-pelaku seni.

Kesederhanaan lirik, cara membawakan, dan benar-benar mewakili khalayak ramai membuat lagu dan keberadaan Didi Kempot sangat diterima pasar. Dulu, siapa yang bangga menyanyikan lagunya Didi Kempot, malu karena dibawakan para pengamen jalanan. Kini? Konsernya pun bisa terbilang papan atas.

Perjalanan dari bawah, panjang, dan menuai hasil karena memang kerja keras. Karyanya diakui pasar dan membuat publik  berdendang dengan riang gembira. Apalagi yang terbaru, seolah mewakili orang-orang yang sedang patah hati. Kisah keseharian yang sangat akrab dengan pengalaman orang kebanyakan, bukan elit.

SBY dan Rekaman

Maaf, memang bukan penggemar musik dan tuli dan buta musik dan seni. Apalagi proletar, kog tidak pernah ya dengar album dan rekaman Pak Beye menjadi perbincangan banyak pihak. Menjadi kenangan 17-an atau souvenir sih pernah dengar. Tetapi dinyanyikan oleh banyak kalangan masyarakat, kog tampaknya jarang deh.

Elitis, dan model birokratis memang tidak bisa dilepaskan dari diri Pak Beye, Jenderal AD yang puluhan tahun hidup dalam tatanan teratur, disiplin tinggi, mengenal hirarkhis yang sangat ketat. Usai menjalani dunia keprajuritan, Pak Beye menjadi menteri dan kemudian naik kelas menjadi presiden.

Dua periode dengan gaya khasnya, tenang, penuh perhitungan, dan tidak grusa-grusu. Keteraturan sangat jelas terliat dari penampilan, cara berjalan, bertutur kata, dan kelihatannya dalam berpose ketika mau berphoto atau ketemu orang sudah diperhitungkan dengan sangat ketat. Jangan harap pernah melihat Pak Beye belepotan seperti gambar atau photo Pak Jokowi.

Peluh di dahi dan muka yang kuyu sama sekali tidak akan tampak dalam gambaran Pak Beye sebagai presiden. Citra diri  sempurna memang demikian adanya. Keteraturan militer, yang berjalan dengan ukuran sama terus, menengok pun jangan harap akan pernah melihat Pak Beye ugal-ugalan. Apalagi tertawa terbahak. Yang ada adalah wibawa ala ningrat. 

Kekhasan Pak Beye yang itu haknya tidak bisa diganggu gugat, mau lebih baik atau kurang bagus, itu relatif. Ya mau apa lagi karena memang didikan dan lingkungan kerja dan sangat mungkin juga karena kelahiran dalam  pola seperti itu. Puluhan tahun dengan cara yang sama.

Lagu dan album SBY sangat produktif ketika menjadi presiden. Sependek ingatan ada enam album selama sepuluh tahun menjadi presiden. Eh malah "nganggur" enam tahun baru satu album, entah di mana salahnya. Atau kurang tekanan dan beban mungkin membuat idenya tidak mengalir. Kalau soal dana jelas tidak ada kekurangan, mau presiden atau tidak.

Kali ini, entah Lor Didi yang kelewatan mengadakan konser ketika "King Cikeas" juga mengeluarkan lagu. Mengapa? Langsung saja perbandingan keluar. Mirisnya ketika pembandingannya adalah dana yang disumbangkan untuk penanggulangan covid oleh Lord Didi dan Kompas. TV, sisi lain malah Pak Beye bernarasi yang tidak karuan tentang pemerintah.

Kolaborasi Lord Didi dan Pak Beye

Sangat kecil kemungkinan Pak Beye berkenan. Dengan segala hormat, bukan model Pak Beye mau cengengesan dengan Didi Kempot. Akan berbeda jika Pak Beye itu dengan penyanyi serius, kelas festival, atau pemenang ajang ini dan itu. Ingat ini bukan merendahkan kapasitas Mas Didi, namun sebuah gaya dan alur berkreasi yang berbeda gaya bak bumi dan langit dengan Pak Beye.

Didi itu kelas rakyat, sangat mungkin malah barengan Pak Jokowi, sayang alirannya berbeda. Pak Jokowi lebih ke arah rock dan keras, bukan melo Jawa dalam campur sari-nan. Artinya kolaborasi Mas Kempot dengan kedua presiden itu lamun tangeh.

Elit mencipta lagu  cukup marak dulu diwakili Mbak Tutut, kandidat yang digadang-gadang oleh Pak Harto menjadi penerus tahta kepresidenan. Lagu demi lagu mengudara melalui media televisi yang dimiliknya, dulu TPI. Toh sama juga tidak menjadi sebuah hits, kalah jauh dengan artis-artis kala itu, akhir 80-an hingga 90-an pertengahan.

Bermusik ternyata menjadi pilihan yang cukup lumayan di kalangan politikus tingkat atas.  Soal hasil pasar, tentu  penikmati musik yang akan memberikan jawaban dan menilainya. Pasar yang menjadi juri atas karya mereka.

Nah ketika covid mendera, perlu banyak dana, coba mana suara Mbak Tutut, atau Pak Beye dari lagunya untuk Indonesia. Karya nyata, bukan hanya katanya, apalagi membandingkan kinerjanya dengan kinerja Pak Jokowi. Jangan jengah kalau karya seninya juga saya bandingkan dengan capaian Mas Didi Kempot. Sah-sah saja bukan?

Pak Beye, kondisi berbeda dengan yang dihadapi Pak Jokowi. Pilihan Pak Jokowi dengan apa yang Pak Beye selesaikan itu lain. Memang memimpinnya sama. Tapi ketika pemimpin itu memiliki pola sendiri-sendiri, dan tim yang ada juga berbeda kog.

Hayo, dari pada ribet dengan kinerja Pak Jokowi, mengapa tidak melakukan kerja sama saja dengan Lord Didi. Keren lho King Cikeas kolaborasi. Itu jelas lebih membantu. Selama ini, mau Demokrat atau Pak Beye belum ada suara menyumbang untuk rakyat terdampak, selain menilai Pak Jokowi. Ada apa sih Pak Beye?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun