Hari-hari ini sedang hangat pembicaraan rekaman dan album baru Pak Beye. Pada saat yang hampir bersamaan Didi Kempot mengadakan konser khas covid dengan tanpa melibatkan kerumunan atau penonton, layaknya pertunjukan akbar. Bersama Kompas. TV, kolaborasi penggalangan dana. Angka sekian rupiahnya adalah relatif, mau ada yang mengatakan itu gede atau kecil, bukan menjadi rujukan.
Didi Kempot yang akhir-akhir ini menjadi idola baru dengan sapaan akrab Lord Didi adalah pelaku seni yang benar-benar seniman. Tidak mendadak seniman dengan bantuan politis, medsos, atau ajang ini dan itu. Darah seninya mengalir dari keluarga. Memang berasal dari keluarga seniman yang asli pelaku-pelaku seni.
Kesederhanaan lirik, cara membawakan, dan benar-benar mewakili khalayak ramai membuat lagu dan keberadaan Didi Kempot sangat diterima pasar. Dulu, siapa yang bangga menyanyikan lagunya Didi Kempot, malu karena dibawakan para pengamen jalanan. Kini? Konsernya pun bisa terbilang papan atas.
Perjalanan dari bawah, panjang, dan menuai hasil karena memang kerja keras. Karyanya diakui pasar dan membuat publik  berdendang dengan riang gembira. Apalagi yang terbaru, seolah mewakili orang-orang yang sedang patah hati. Kisah keseharian yang sangat akrab dengan pengalaman orang kebanyakan, bukan elit.
SBY dan Rekaman
Maaf, memang bukan penggemar musik dan tuli dan buta musik dan seni. Apalagi proletar, kog tidak pernah ya dengar album dan rekaman Pak Beye menjadi perbincangan banyak pihak. Menjadi kenangan 17-an atau souvenir sih pernah dengar. Tetapi dinyanyikan oleh banyak kalangan masyarakat, kog tampaknya jarang deh.
Elitis, dan model birokratis memang tidak bisa dilepaskan dari diri Pak Beye, Jenderal AD yang puluhan tahun hidup dalam tatanan teratur, disiplin tinggi, mengenal hirarkhis yang sangat ketat. Usai menjalani dunia keprajuritan, Pak Beye menjadi menteri dan kemudian naik kelas menjadi presiden.
Dua periode dengan gaya khasnya, tenang, penuh perhitungan, dan tidak grusa-grusu. Keteraturan sangat jelas terliat dari penampilan, cara berjalan, bertutur kata, dan kelihatannya dalam berpose ketika mau berphoto atau ketemu orang sudah diperhitungkan dengan sangat ketat. Jangan harap pernah melihat Pak Beye belepotan seperti gambar atau photo Pak Jokowi.
Peluh di dahi dan muka yang kuyu sama sekali tidak akan tampak dalam gambaran Pak Beye sebagai presiden. Citra diri  sempurna memang demikian adanya. Keteraturan militer, yang berjalan dengan ukuran sama terus, menengok pun jangan harap akan pernah melihat Pak Beye ugal-ugalan. Apalagi tertawa terbahak. Yang ada adalah wibawa ala ningrat.Â
Kekhasan Pak Beye yang itu haknya tidak bisa diganggu gugat, mau lebih baik atau kurang bagus, itu relatif. Ya mau apa lagi karena memang didikan dan lingkungan kerja dan sangat mungkin juga karena kelahiran dalam  pola seperti itu. Puluhan tahun dengan cara yang sama.
Lagu dan album SBY sangat produktif ketika menjadi presiden. Sependek ingatan ada enam album selama sepuluh tahun menjadi presiden. Eh malah "nganggur" enam tahun baru satu album, entah di mana salahnya. Atau kurang tekanan dan beban mungkin membuat idenya tidak mengalir. Kalau soal dana jelas tidak ada kekurangan, mau presiden atau tidak.