Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wagub DKI dan Kualitas Lobi PKS

6 April 2020   19:52 Diperbarui: 6 April 2020   19:56 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wagub DKI dan Lobi PKS

Akhirnya, setelah sekian purnama, DKI tidak lagi dikelola single parent. Terpilihnya Ahmad Riza Patria sudah banyak diduga sejak munculnya dua nama. Berbulan lampau saya juga sudah memprediksikan akan jadi nama ini, dari pada yang diusulkan PKS. Dominasinya tergambar dari perolehan suara. hanya satu yang lepas memilih jagoan PKS.

PKS jelas bulat malah mendapatkan tambahan satu suara, yang tidak cukup penting untuk dirunut kira-kira siapa. Toh bisa banyak alasan, iseng, tahu kalau menang mutlak, atau pertemanan yang erat sangat mungkin. Ada satu suara dari partai-partai lain. Hal yang  tidak cukup luar biasa. Hal yang sangat lumrah dan biasa banget malahan.

Beberapa hal yang cukup menaik dilihat lebih dalam lagi.

Pertama, Nasdem dalam banyak isu seolah bersama PKS. Sejak usai pilpres dan kehendaknya tidak sepenuhnya diakomodasi cenderung lebih oposan Nasdem, terutama di Jakarta. Pendekatan pada Anies dan pembelaan-pembelaannya atas perilakunya. Pun di pusat baru saja bersama PKS mereka satu suara soal pembebasan koruptor atas nama corona.

Kedua, tidak cukup banyak suara dari Nasdem misalnya yang memberikan dukungan bagi calon dari PKS.  Ajang kebersamaan mereka masih cukup rapuh, hanya gertakan di pusat yang tidak cukup signifikan ternyata.

Ketiga, kemampuan lobi dan diplomasi PKS sangat lemah. Ini  menjadi perhatian penting. Mereka sukses dalam kaderisasi, suka atau tidak mereka paling bagus dan solid. Hanya PDI-Perjuangan yang bisa bersaing soal soliditas dan kaderisasi. Sayang mereka gagal dalam lobi untuk menang dalam kontestasi keluar.

Keempat, kali kesekian PKS hanya menjadi penonton. Pilpres dua kali, timses pencapresan juga dua kali. Dua kali pula urusan pilkad khusus Jakarta. Pilkada 2017 kalah juga, kini pengganti pun lepas. Tidak ada representasi sepenuhnya PKS. Anies susah melihatnya sebagai perwakilan dari PKS. Lebih cenderung nonpartisan alias lompat sana  lompat sini. Apalagi ideologis.

Kelima, keberadaan kader yang mumpuni sangat rendah. Benar mereka militan, solid, dan susah beralih, lihat perolehan suara jarang berubah signifikan. Namun kader yang bisa bicara level lebih jauh susah. Mereka hanya kelas kedua bukan kualifikasi top. Di dalam sangat keren, ketika kelar habis.

Hal ini diperjelas ketika sejak 2018 mereka duluan berteriak 2019ganti presiden, toh sembilan nama yang digebar-gemborkan sama sekali tidak pernah  masuk dalam bursa riset kelas elit.  Lagi-lagi terlempar oleh yang namanya Sandi. Dua kali Jakarta 2017 dan pilpres.

Keenam. Mereka cerdas dalam memilih bahan kampanye, jargon-jargon yang meriah dalam media sosial. 2019 gantipresiden cukup menjanjikan dan marak ini yang membuat suara mereka bertahan. Namun tidak juga membawa kader mereka menjanjikan untuk banyak hal.

Ketujuh, riuh rendah, trendding di media sosial, belum tentu demikian dalam faktualisasi lapangan. Ini yang sering terbaiakan oleh pelaku politik yang mengandalkan gaungan media sosial. Memang mereka sigap dan lagi-lagi militan dalam pergerakan media sosial. Namun ya berhenti pada media saja.

Kedelapan. Pilihan para elitnya dalam bersikap tidak populer. Oposisi  itu penting, namun ketika bekerja dengan tidak populer ya mau apa lagi. Branding soal ganti presiden itu sukses bagi PKS, namun banyak yang malahmembuat mereka terpuruk. Tidak ada Fahri, malah nyaring suara Mardani dan Hidayat Nur Wahid yang keduanya malah melemahkan.

Mereka tidak melihat pangsa pasar, hanya  mengejar tema itu-itu saja. Mempertahankan suara mungkin, namun bagaimana menjalin relasi dan jaringan itu juga penting. Justru terbaca mereka lebih cenderung mengampanyekan ideologi yang berbeda. Ini jelas bumerang,

Kesembilan. Reputasi partai korup sangat susah mereka bantah apalagi lepaskan. Padahal tidak hanya mereka, hampir semua partai sama. Hanya mereka sampai top elit masalahnya, dan tidak bisa beranjak lebih jauh melepaskan bayang-bayang itu.

Kesepuluh. Kepemimpinan yang lemah. Ini jelas terasa bagaimana faksi yang ada, puncaknya gagal memecat Fahri pada periode lampau. Susah bergerak maju ketika kepemimpinan lemah, tidak ditunjang kerja tim yang bagus.

Mereka memang solid di dalam kaderisasi dan pilihan, namun ketaatan pada pemimpin tampaknya hanya pada akr rumput. Elitnya susah bisa demikian. Muda dan  bukan dari kalangan agamis sangat mungkin menjadi kendala.

Bonsai bagi PKS itu bukan oleh pihak luar, namun dari dalam sendiri. Mereka banyak aksi dan menanggapi banyak hal, namun gagal dalam lobi dan menghasilkan kader yang berkelas. Cenderung tenar ke dalam, ke luar sama sekali tidak cukup menjanjikan apalagi mumpuni.

Rekam jejak prestasi juga rendah. Mana sih, maaf kepemimpinan dari tangan kader PKS yang berbicara banyak? Ini era kerja dan prestasi. Wacana dan apalagi klaim akan ditinggalkan. Sudah ketinggalan zaman dan sudah tidak lagi mendapatkan tempat.

Belum berimbang antara ke dalam dan ke luar apa yang mereka bangun  itu. Atau komunikasi ke intern tidak akan bisa dilakukan untuk eksteren. Itu sangat mungkin.  Paham taklid jelas tidak berlaku untuk pihak di luar mereka.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun