Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jakarta Bergetar dan Pilihan Sikap Menghadapi Pandemi

31 Maret 2020   08:28 Diperbarui: 31 Maret 2020   08:26 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin riuh rendah dalam lini masa media sosial ada pejabat yang mengadakan konferensi pres sambil menahan tangis. Mengatakan banyak korban yang bulan kemarin masih hidup. Sah-sah saja apa yang ia sampaikan. Pun apa yang ia pilih sebagai sebuah upaya. Mau pro dan kontra ya wajar namanya demokrasi.

Motivasi mau benar atau salah toh lagi-lagi ada pertentangan. Ya itu konsekuensi ketika mengatakan demokrasi namun abai soal etika. Mau benar atau salah, kalau memiliki jaringan bisa seperti apa yang dimaui. Lagi-lagi memang masa yang harus dilalui.

Nada Positif dan Membangun Semangat.

Laporan dari daerah-daerah, Malang, Solo, dan sejatinya Jakarta juga banyak yang baik. Berita positif, kesembuhan. Harapan hidup. Sayangnya nyaris kalah dengan berita bombastis yang kadang tidak jelas kebenarannya. Padahal kesembuhan itu peran demikian banyak orang, dan jangan lupa ada Tuhan di sana.

Dukungan dan motivasi positif dari kepala daerah waras, ada Ganjar, Kamil, Risma, atau Khofifah, jelas Jokowi dengan segenap daya upaya mengajak tenang. Kalah garang dengan narasi yang demikian asif tercipta untuk tetap takut, cemas, dan pilihan-pilihan negatif lainnya.

Angka kematian yang jauh lebih kecil dari angka kematian tingkat dunia. kematian dan kesembuhan juga lumayan tinggi. Jumlah yang sembuh dan meninggal lebih dari separo itu adalah harapan. Kemungkinan baik yang selalu saja kalah dengan kesukaan orang menyenangi keadaan buruk bagi yang lain.

Inisiatif baik dari mana-mana, akar rumput bergerak, elitpun tidak kalah sigap. Bersama-sama memberikan sumbangsih dengan kemampuannya masing-masing. Ada penyemprotan di wilayahnya, ada yang dengan kekayaannya menyumbang ber-M M, ada Anne Avantie yang menghentikan produksinya untuk membuatkan APK.

Hal-hal baik itu tidak akan ditemukan serempak dalam media-media. Satu satu dan kecil lagi, bukan sebuah berita utama. Berbeda jika sebaliknya. Media baik arus utama, atau media sosial dan tayangan para artis medsos akan serempak membombardir dengan nada seragam dan  mirisnya serempak.

Jepang tidak ada laporan mengapa mereka senyap dari laporan dunia kesuksesan mereka. Apakah memang tidak ada? Ada lah mereka termasuk awal. Mengapa tidak memahas cara hidup sehat mereka? Susah. Mengapa harus susah-susah, ketika ada yang mudah dan praktis.

Wuhan sukses. Toh yang lebih dikedepankan sikap curiga. Pemikiran konspirasi, tidak percaya dulu, mengulik hal-hal yang sebaliknya sebagaimana mereka yakini, bukan yang sebenarnya terjadi. mulai dari politik, ekonomi, dan ideologi sekaligus. Miris.

Negatif dan Gaungannya

Sejak awal dikatakan, jika imunitas sangat menentukan. Lha bagaimana imun baik ketika mengonsumsi berita-berita buruk. Pernyataan negatif lebih dominan, kuat, dan seolah menjadi santapan utama. Pagi siang sore makanan  tidak sehat, camilan pun buruk. Sama juga diabetes karena makan dan makanan ringan semua karbohidrat.

Lock down gagal di mana-mana, mulai Tegal hingga India, Italia dan wacana daerah yang mau mengikutinya. Mengapa tidak gegap gempita di Singapura, Jepang, atau Korea Selatan yang lebih menjadi perhatian. Kegagalan yang ditonjolkan. Ada yang lebih baik, tetapi lagi-lagi pilihan adalah yang gagal.

Mirip orang belajar bisnis MLM, malah belajar dari yang gagal untuk membuat pesimis, bukan yang sukses dan mengambil trik-triknya. Politik kepiting seolah menjadi gejala umum. Menginjak, menjatuhkan, menjepit demi aman sendiri.

Hoax, fitnah, dan separo kebenaran menjadi konsumsi publik yang sedang panik. Elit-elit yang tenang dalam segi ekonomi itu mempermainkan persepsi dan opini demi kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak lapar. Namun seolah mereka palin lapar. Iya lapar kekuasaan dan tamak akan materi.

Aneh dan lucu ketika media-media utama menuliskan judul dengan kata kunci sambil bergetar menahan tangis, mengumumkan kematian. Dan banyak yang lupa penyumbang kematian terbesar itu ada di wilayahnya. Jangan lupa dengan ngaco efek kejut itu berdampak besar dan banyak. Angka kematian nasional itu sebagian besar ada padaa wilayahnya, jangan lupakan itu, juga para pewarta.

Kini, jauh lebih penting adalah warga dan masyarakat itu tenang. Yakin dengan pilihan pemerintah. Rekam jejaknya lebih benar kog selama ini. Tidak ada yang salah pilih secara fatal. Pembuktian itu dengan kinerja selama ini, dan sebaliknya jelas kog produknya apa.

Mau curiga boleh, mau berpikir konspiratif silakan, mau menilai lamban atau grusa grusu ya mangga asal bukan malah menambah gaduh. Kebebasan bersuara juga harus dibarengi data dan fakta. Asal omong semua orang ya bisa, apa bedanya dengan debat kusir jika demikian.

Tambahkan sikap positif, politik yang beretika jauh lebih penting dari sekadar plitik ala kepiting. Kursi itu terbatas kog, kekuasaan hanya lima tahun. Kemanusiaan dan kebenaran itu abadi. Katanya bangsa religius, kog abai sisi spiritual?

Mengupayakan yang hanya lima tahun atau sepuluh maksimal, namun menggunakan segala cara  dan itu potensial menjadi batu sandunga hidup kekal. Naif mungkin. Tapi Jakarta memang istimewa dengan tangan bergetar mengetikkannya.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun