Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urgensi Lockdown

24 Maret 2020   11:22 Diperbarui: 24 Maret 2020   11:24 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Urgensi Lock-Down

Hingga hari ini, masih banyak orang, termasuk yang berpendidikan dan pengalaman, menyamakan, pembatasan inteksi sosial, yang wujudnya kerja dan sekolah itu dari rumah sebagai lock down. Pun demikian, masih banyak yang notot untuk pemerintah mengambil  keputusan LD. Sama kuat juga yang mendukung keputusan pembatasan interaksi sosial seperti ini.

Data memang memperlihatkan angka kematian di Indonesia cukup tinggi. Wajar ketika orang hanya melihat angka dari satu sisi. Padahal juga ada kemajuan di mana kesembuhan cukup signifikan juga. Belum lagi jika diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Atau malah dilihat dan dikomparasikan dengan angka korban DBD. Entah orang bisa demikian ngotot dengan data yang tidak menyeluruh seperti ini.

Pemerintah tentu sangat hati-hati. Tidak gegabah karena mempertimbangakan demikian banyak aspek. Penonton, warga, terutama warganet hanya melihat satu aspek. Kemanusiaan titik. Abai soal kemanusiaan jelas dengan kesehatan, belum lagi aspek sosial, ekonomi, dan jangan  naif pertahanan negara.

Gagasan, ide, sumbang saran itu penting, namun juga perlu melihat bagaimana pemerintah dan seluruh jajaran itu mempertimbangkan secara lebih luas. Grusa-grusu, ugal-ugalan ya seperti yang dipertontonkan DKI. Setiap saat konferensi pres, kebijakan asal-asalan yang kemudian dicabut lagi. Ini kog unsur kesengajaannya tinggi.

Pengumpulan massa dengan pembatasan angkutan umum  jelas efektif sangat mungkin penularan terjadi di sana. Ingat ini juga soal kemampuan kehidupan sebagian anak bangsa ini adalah harian. Jangan menghakimi mereka mengapa kerja. Belum tentu bisa kerja dari rumah. Atau bisa juga tidak berangkat mereka dipecat.

Pasar murah, padahal ada mekanisme lebih mudah, aman, dan pasti terjamin. Tapi tidak akan ada dua "reward" iklan bodoh gratis dan pengidap covid yang  sangat mungkin membengkak. Kan gampang salahkan saja pusat. Seperti biasa.

Ini jelas birokrasi saja ngeyelan seperti ini. Belum lagi masyarakat secara umumnya. Pemberitaan demi pemberitaan memberikan informasi polisi melakukan pembubaran massa. Baik itu yang duduk-duduk di resto atau cafe, juga termasuk kondangan.

Kesadaran yang sangat kecil, merasa baik-baik saja, lha ada orang dengan bangga mempertontonkan keterangan dia itu ODP di pusat penjualan ponsel yang sangat rapat dan  dalam kondisi biasa itu sangat ramai. Senggolan ataupun saling berdempetan sangat biasa. Lha antara satu lapak dengan lainnya paling satu meter, dipakai  untuk duduk kanan-kiri, pejalan paling tinggal satu badan pas. Bisa dibayangkan to.

Pembatasan interaksi sosial termasuk ibadah juga dimentahkan oleh beberapa tokoh agama. Permainan kata dengan mengatakan iman, telah menumbangkan banyak pihak. Toh masih saja menarasikan pemerintah antiibadah. Masih nyaring terdengar. Dan itu lagi-lagi tidak membuat kapok.

Menteri Keuangan mengatakan uang ada, logistik tidak. Artinya jika lock down dipaksakan sebagaimana kata beberapa orang seperti JK dan artis medsos. Mengatakan, akan terjadi keguncangan ekonomi jika tidak. Sama saja ini beaya mahal. Toh hampir 90% negara mengalami. Semua sama keadaannya. Lagi-lagi masih ada yang mengaitkan keadaan ekonomi dengan politik.

Mbok mata dan otaknya juga terbuka, kondisi ini global bukan hanya  Indonesia. Ini elit lho, apalagi yang makan setiap saat harus dicari. Kondisi yang identik terjadi. Mereka bukan melawan, namun tidak ada pilihan. Faktor ekonomi satunya demi kursi pihak lain ya demi hidup. Ini jangan dinafikan.

Bangsa ini sangat besar, bukan seperti Korea atau Singapura. Jangan anggap sepele untuk melakukan lock down. Mana mampu pengawasannya, siapa yang akan mendistribusikan logistik, lha PKH saja kacau dalam kondisi normal. Lagi-lagi jangan naif.

Mungkin konteks Jawa, pun tidak seluruhnya. Lihat dan ingat kemarin masih ada yang melahirkan di jalan, padahal dari  Jakarta hanya 100 km. Itu saja masih jalannya kacau. Lagi-lagi buka mata atas realitas ini.

Politik. Lagi-lagi naif jika mengatakan pemerintah kenapa takut. Lha bukan takut, dampak luar biasa, nyatanya cebong dan kamret saja masih bertikai. Apa tidak heboh jika terjadi keadaan pemerintah yang terjungkal? Ini juga perlu dipertimbangkan, jangan sok-sokan humanis, abai politik. Lha politik juga humanis, karena memikirkan tata kelola negara.

Jangan sampai mengatakan demi kemanusiaan namun mengabaikan sisi manusia yang lainnya. Ekonomi itu juga kemanusiaan lho.  Kemampuan bertahan dalam rumah selama dua minggu itu harus yakin ketersediaan segalanya. Siapa yang sudah memperhitungkan ini. Lha fakta hand sanitizer dan masker saja gila-gilaan harganya. Bagaimana dampak sembako jika benar-benar lock  down.

Distribusi dan geografis negara ini belum lancar betul. Jangan ini dilupakan karena sudut pandang Jawa saja. Masih banyak kawasan Jawa juga yang belum lancar terjangkau. Apa mereka dilupakan? Lha mana kemanusiaannya jika demikian? Mikir kritis boleh, ngaco ya jangan.

Masalah sangat komplek. Disiplin diri dan para elit sangat lemah. Pendekatan tegas aparat akan membuat masalah baru. Ingat model LSM dan lembaga negara bergaya LSM. Mereka tidak mikir kebaikan hanya soal mereka dapat panggung.

Politikus. Jelas mereka tidak peduli covid tapi bagaimana kursi bisa diperoleh dengan tunggangan apapun. Mereka, apalagi demokrasi yang maish latihan ini memang mengandung banyak persoalan. Kegaduhan lebih kuat dari seharusnya. Hal yang esensi belum bisa diharapkan. Lihat saja malah mereka mau rapid test dulu. Abai soal keprihatinan berbangsa.

Kemanusiaan. Sepakat ini soal nyawa orang. Lha sudah mempertimbangkan juga manusia ini harus terjamin makan, minum, dan semua hal di dalam rumah. Berapa yang bisa benar-benar bertahan. Mengingat kedisiplinan, pun soal kemampuan keuangan.  Menjadi lucu menggembar-gemborkan soal kemanusiaan, abai soal ketahanan mereka.

Keamanan. Belum tentu karena mereka lapar kemudian marah, bisa juga karena jenuh, bosan, dan mau bersosialisasi. Ingat ini soal kemanusiaan. Maunya berkumpul. Ini soal kemanusiaan juga lho, jangan abai.

Pilihan pembatasan sosial jauh lebih realistis. Polisi menertibkan juga menjadi lebih baik. Karena sikap abai dan seenakny itu masih demikian kuat.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun