Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahbisan Uskup, Politik, dan Hukum Gereja

21 Maret 2020   12:58 Diperbarui: 21 Maret 2020   13:17 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup  menarik, hampir tiga hari masih cukup panas pembicaraan tahbisa Uskup Ruteng. Apalagi kemudian diikuti pernyataan banyak Gereja Setempat untuk meniadakan Misa selama dua minggu ke depan. Eh pagi ini ada juga pernyataan setingkat Kepausan, bahkan hingga Pekan Suci dan Tri Hari Suci dengan puncaknya Paskah pun ditiadakan perayaan bersama umat.

Pekan Suci dan Paskah masih bisa melihat perkembangan lebih lanjut di Indonesia, Dan rata-rata keuskupan masih belum memutuskan, masih menunggu keadaan yang serba belum pasti. Berbeda dengan Vatikan dan Italia yang hingga Paskah masih belum bisa berkumpul. Kondisi di sini masih cukup belum memberikan indikasi bagaimana.

Beberapa pembicaraan di grup percakapan, apalagi berkaitan dengan penahbisan kemarin, cukup memilukan, ketika sebagian besar yang mencela dengan keras itu adalah "anak-anak" rohani Bapa Kardinal.  Hanya melihat sepotong, bahwa tahbisan tetap berlangsung. Sepanjang hari ketika hari pelaksanaan itu pembicaraan hanya  berkisar itu, dan sepihak. Ada dua grup yang intens membahas ini dan ada salah satu lainnya tidak cukup ramai karena grup campur. Jadi hanya sebentuk kekecewaan.

Ada pernyataan bahkan meminta membuat surat ke KWI agar uskup mengadakan klarifikasi. Mengapa memaksa diri. Ada pula yang mengatakan mengapa tidak ada ketaatan atau bahkan solider dengan bangsa dan negara. Komentar lain ini seolah pengalaman pribadinya yang mengatakan, ngeyelan, dulu saya juga dihakimi begitu, he..he...he...

Baru kemarin, ada sedikit pernyataan, bukan resmi juga, hanya dalam pesan percakapan, salah seorang uskup mengatakan, bahwa penahbisan kemarin sudah melewati batas akhir sebagaimana diatur oleh KHK, Kitab Hukum Kanonik, Hukum Gereja yang memberikan syarat 60 hari, atau dua bulan usai diumumkan untu ditahbisakan. Nah ini sudah mundur sebulan, dan itu sudah atas dispensasi Vatikan tentunya. Sangat tidak mungkin dispensasi lagi.

Paling legal dan juga logis. Toh tetap saja model demikian tidak terdengar lebih luas lagi. Masih saja ribet soal ketidakmau tahuan Gereja, mengandalkan imanlah, dan sebagainya. Padahal lepas dari itu kalau mau mendengarkan dengan lebih jelas dan jernih.

Politik.

Ternyata ada juga aroma politik di sana. Bagaimana Benny K  Harman menyalahkan Kepala Gugus Tugas Pengendalian Corona, terlambat memberikan surat. Kata kuncinya jelas terlambat, sebagaimana kata SBY di dalam beberapa kali pernyataan, pemerintah lamban. Konteks politik yang sama.

Jelas bisa dilihat, kapan Gugus Tugas ini dibentuk, kemudian apakah ia mereka tahu apa yang terjadi di Ruteng sana, plus, apa paham dengan yang terjadi dengan adat budaya di Ruteng tentang tahbisan.  Ini sih sejatinya bukan polemik, jika si politikus yang tahu baik kondisi setempat malah bisa memfasilitasi. Pasti berbeda, jika partai penguasanya Demokrat.

Sebagai politikus, pusat lagi, bisa memberikan masukan, tamu undangan inti, keluarga besar 100, pejabat dengan keluarga 100, uskup maksimal paling juga 20 paling banyak, pastor yang berkarya di sana misalnya 300. Maksimal 600-750. Ini jelas lebih realistis, tidak arogan kekuasaan politis. Pernyataannya menyalahkan pihak lain. Mana bisa  dibatalkan, memang susah, tahu persis wong tahbisan imam saja ribetnya seperti itu.

Kini bersambung dengan keputusan-keputusan yang belum keluar soal Misa ditiadakan untuk dua pekan kedepan. Masih beberapa Keuskupan, setingkat provinsilah wilayah cakupannya, walaupun tidak persis sama, belum menyatakan Misa ditiadakan. Misa, kegiatan lingkungan, dan juga latihan-latihan untuk Haro Raya Paskah sudah banyak yang meniadakan.

Lagi-lagi pro dan kontra. Ngeyelan, saatnya hirarkhi dengar umat, atau sejenis terlontar. Hiik...hiik lucu lah pokoknya. Keputusan yang sangat tidak mudah, ketika lokal setempat tidak merasa bahwa ada ancaman. Ini memang sangat sulit. Mengapa? Karena merasa baik-baik saja. Tidak heran ada yang menyamakan dengan maaf kadrun. Kita selama ini berjuang melawan kadrun, eh ternyata di dalam juga banyak kadrun. Hik...hik lucu, lha juga memaksakan dirinya benar begitu kog. Lah apa bedanya coba?

Perlu dicamkan, keputusan apapun, mau meniadakan Misa atau tetap mengadakan, mana ada sih Uskup yang akan menyengsarakan umatnya. Pasti mempertimbangkan dengan lebih luas dan lebih mendalam. Benar bahwa mereka juga bisa salah, karena tetap manusia. Namun ada keunikan Gereja Katolik yaitu ketaatan. Dan ketaatan itu tentu tidak serta merta bisa diiyakan, ataupun dibantah.

Vatikan memiliki pertimbangan  matang soal Paskah, itu jelas. Dan Keuskupan-keuskupan di Indonesia tentu juga memiliki kondisi yang berbeda-beda, tidak akan bisa menyamaratakan dengan satu kata, semua harus sama. Tidak. Kegentingan itu juga menentukan. Memang akan baik dan ideal, jika semua ikut serta.

Potensi itu jelas tidak bisa diketahui dengan pasti. Semua masih meraba-raba kemungkinannya akan seperti apa. Dan salah memilih bisa berantakan semua. Belajar dari Gereja Kristen di Korea, di mana separo jemaatnya terkena, ini tentu sangat penting untuk menjadi perhatian bersama.

Mau meniadakan atau tetap melaksanakan itu ada konsekuensi logisnya. Jika baik-baik saja ya akan santai, pasti dilupakan. Tetapi jika satu saja positif, jangan pikir akan dilupakan dalam waktu singkat. Cap dan stempel selamanya tetap tersemat, Uskup atau Imam bebal, keras kepala, ngeyelan, dan seterusnya akan menempel.

Tentu tahu dengan baik kondisi Gereja, bagaimana rupa-rupa mereka, bukan untuk memuja dan menjadikan pejabat Gereja sebagai panutan yang tidak bisa salah. Sangat mungkin keliru pun ada, tetapi tetap bisa bijak di dalam menilai.  Keputusan itu sangat berat, memang awam jauh lebih berat dan tahu, dan kadang tidak diajak untuk berbicara.

Berdiskusi dengan  kepala dingin, bukan memaksakan kebenaran, menyaring lebih luas informasi tentu lebih baik. Dan itu kadang perlu waktu dan sangat biasa dinilai sebagai lamban. Alon-alon asal kelakon lan slamet kadang juga penting. Lha dari pada kebat klewat?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun