Seperti yang sudah banyak prediksi, jika AHY yang akan memegang tampuk ketua umum Demokrat. Tidak ada hal yang baru dan mengejutkan, apalagi dengan aklamasi. Suara lebih dari 600 pemilih, namun dengan bulat memilih satu nama malah membuat sebuah kelucuan dan tanya di sana.
Beberapa hal cukup menarik dilihat lebih dalam berkaitan dengan Demokrat dan AHY juga, sebagai berikut;
Demokrat ini bukan lagi partai gede. AHY mendapatkan warisan maaf mobil bobrok, bukan karena tua, hanya karena salah pakai. Seperti level mobil timor lah, mobil ala kadar dipakai ugal-ugalan dan akhirnya remuk.
Pendirian Demokrat yang hanya sesaat, demi kendaraan SBY, jelas tanpa perencanaan matang, benar saja cepat gede dan cepat pulan meredup. Hanya dalam satu kali pemilu mendapatkan suara  yang luar biasa, artinya bisa diterjemahkan sendiri ada apa di sana.
Pemilu berikutnya malah babak belur. Jelas karena adanya skandal demi skandal, dan bahkan ketua umum, bendahara, sekjend, menteri dan dewan dengan bidang yang sama, kedua belah pihak masuk bui. Mau apa yang dijual? Rongsongkan dengan kualitas awal yang juga asal-asalan.
Para penumpangnya, jelas kader dan petinggi Demokrat  pun kualifikasi level KW, pelaku politik mencari aman, seperti Didi, Amir, Syarif, Roy yang akhirnya mundur. Kader keren level Anas telah dijebloskan dulu. Takut ada matahari kembar, malah menyuramkan keberadaan Demokrat sendiri.
Ruhut meskipun level anjing penjaga, sebegaimana pengakuannya, toh masih memiliki kekuatan dan jaringan, dibandingkan yang masih bertahan di dalam Demokrat. Yang bertahan itu tahu diri tidak akan bisa bekerja sebagai politikus di tempat lain.
Tidak ada yang bekerja demi Demokrat, namun bekerja dari Demokrat. Mereka bukan memberikan bagi partai namun mencari dari partai. Lihat kualifikasi Hutahaen, apa yang bisa diharapkan ke depan dengan politikus model demikian. Â Apa yang dinyatakan hanya sebuah gaungan sepi demi amannya diri, mau merugikan partai mana duli.
Ada Andi Arief, sebenarnya masih cukup kemampuan, entah mengapa menjadi sedemikian, maaf bodoh, atau karena takut menjadi matahari, sehingga malah berubah jadi kunang-kunang. Miris bukan?
Ibas, sejatinya banyak harapan diberikan kepadanya oleh SBY dan alharhum Ibu Ani, dengan menempatkan di dewan. Tetapi ya itu, ternyata hanya segitu levelnya. Tidak jauh-jauh dari modal awal. Sama sekali tidak berkembang. Menyikapi isu saja  tidak pernah. Entah kerjanya di dewan itu apa.
Pernikahan dengan anak politikus ulung juga tidak menambah apa-apa bagi karir politiknya. Sama saja, dan akhirnya makin tenggelam, ketika AHY turun dari barak. Ini senjakala kedua anak SBY mulai.
Masuknya Anas ke bui, dan entah sengaja atau beneran korupsi, toh membuat Demokrat oleng, SBY turun gunung dan tetap saja. Apalagi menghadapi Jokowi effek. Demokrat terlibas banteng, dan terpuruk.
Kadernya merengek untuk sekadar wapres saja tidak ada yang mau mengusung. Suara yang tidak signifikan, plus  potensi kader yang memang bawah standart. Selesai lah sudah. Mereka masih berupaya di tahun mendatang, 2019.
Tragedi 2017, di mana membawa keluar AHY dari barak dengan bekal yang sangat minim untuk bertarung di Jakarta. Semua lewat, dan hanya satu putaran pun minim. Sikapnya menerima kekalahan seolah gambaran kedewasaan. Ternyata tidak sama sekali terbukti. Kembali hanya menjadi anak bawang. Pendirian The Yudhoyono Institute tidak memberikan dampak.
Kembali pemilu dan pilpres. Keadaan serba tidak jelas, namun bahwa keberadaan AHY yang serba tanggung lagi-lagi membawanya keluar dari panggung elit pilpres. Pilihan bebas Demokrat bukannya membawa dampak baik, namun makin buruk. Tidak masuk dalam bagian apa-apa membuat mereka tersingkir dari percaturan politik level atas.
Isu kardus yang menyerang kapal sendiri jelas merupakan tragedi lebih parah. Mereka dicibir kawan ataupun lawan. Mana ada lawan yang mau mendukung. Semua dibiarkan mengalir ke muara yang makin tidak jelas bagi Demokrat dan AHY.
Kepergian Ibu Ani lagi-lagi menjadi persoalan. Galau pribadi ini juga membuat Demokrat seperti kapal dibiarkan berjalan terbawa angin, terombang-ambing tidak jelas ke mana harus menuju. Makin suram.
Pemilihan kabinet masih menjadi harapan terakhir AHY untuk bisa ikut dalam gerbong Jokowi-Amin. Pilihan malah ke Prabowo bukan ke AHY. Cukup menarik dan bagaimana penilaian Jokowi pada sosok AHY dan SBY.
Bekal main dua kaki mungkin sangat mengutungkan dalam kondisi tertentu. Ketika keadaan harus memilih masih saja mencari aman, ya repot. Dan nampaknya masih akan sama saja ke depan. Melihat reputasi dan pengalaman AHY tidak ada harapan baru ke depan akan lebih baik.
Peran SBY masih akan tetap dominan, AHY hanya menjadi figur, bukan pengambil keputusan. Melihat rekam jejak selama ini. Pun kemampuan AHY masih terlalu lemah untuk skala nasional.
Kader yang ada, tidak banyak bisa diharapkan dan dipilih. Model kader pokok aman dan ABS, yes man yang menjadi bumerang dalam keadaan partai modern namun malah lebih parah dari pada Golkar. Hal ini diperparah dengan AHY yang aklamasi terpilih.
Tidak ada yang salah dengan anak politikus menjadi politikus, toh Amerika dan Philipina, Â juga ada. Asal benar-benar mampu dan menunjukkan kualitas yang cukup. Berbeda, jika memaksakan karena bapaknya adalah pendiri, dan arah ini kog nampaknya cukup kuat.
Harapan dan pesimis yang sama kecilnya bahwa akan ada perubahan pada Demokrat. Dan makin munndur saja, hanya sekejab naik dan kini turun lagi. Sayang sebenarnya.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H