Beberapa waktu lalu, Kalista yang dalam penampilannya gagal hafal Pancasila oleh MPR ditunjuk menjadi Duta Pancasila. Â Ini bukan satu-satunya, atau pertama kalinya, bahasan lebih lengkap seperti dalam artikel ini nih.
Hal yang selalu saja terulang. Pun yang lebih miris juga ada, ketika artis melawan petugas yang mengatur demi tertib hidup bersama. Ujungnya juga menjadi duta. Lebih lengkap dalam bacaan ini.
Bangsa kog suka sensasi bukan prestasi. Lihat apapun dalam lapisan hidup berbangsa ini, apapun bentuknya jangan berpikir soal isi dan prestasi. Ciptakanlah kontroversi dan akan viral kemudian bisa menjadi apa saja. Lihat Jokowi dengan segala model pendekatannya, begitu banyak penolakan. Salawi seolah menjadi bagian hidup bangsa ini setiap saat.
Menteri yang bekerja baik, pun kepala daerah, contoh konkret Ahok, begitu banyaknya yang memusuhi dan menjadi sasaran tembak untuk dijatuhkan dan diganti. Pernah dengar tidak kepala daerah yang tidak kerja, malah mengurus bisnisnya menjadi pihak yang diwacanakan untuk diganti? Sama sekali tidak.
Posisi prestasi dan buah kerja keras dalam bangsa ini malah terlupakan, jadi sorotan miring, dan orang yang sama sebenarnya. Lihat dan bandingkan Sri Mulyani, atau Susi Pudjiastuti dengan Prabowo saat ini? Tidak ada satupun yang mengusik keberadaan menteri nol kinerja. Mengapa?
Anak bangsa ini terlalu banyak yang miskin prestasi dan hidupnya jauh dari esensi. Apa yang dilakukan justru yang tidak penting dan mengurus yang tidak penting juga. Berat menganimasi orang untuk bisa bekerja. Lebih enak itu ndelok, kendel alok, berani berkomentar, hanya sebatas itu. Jangan bicara kemampuan.
Habibat kita, diperparah dengan penjajahan oleh bangsa level bawah membuat kita makin suka sebatas sensasi. Jika melakukan perlawanan itu adalah sebuah prestasi. Padahal apa yang dilakukan belum tentu benar dan tepat secara umum. Berkaitan juga dengan literasi.
Apakah bangsa ini krisis identitas dan warga negara berkualitas? Jelas tidak. Namun kebanyakan elit dan yang memiliki kewenangan itu juga prestasinya sebatas sensasi. Mana mungkin orang demikian akan memilih yang lebih baik? Jelas tidak. Akan memilih yang di bawahnya. Demi menutupi kekurangan dan kelemahannya.
Prestasi Versus Sensasi
Hampir semua panggung menyuguhkan ini. Lihat dalam  kampanye-kampanye, apa yang mereka sampaikan hanya sensasi. Mendengarkan capaian mereka tetap saja tidak mau tahu. Susah mencerna kebaikan.
Media hiburan apalagi. Artis banyak sensasi namun jauh lebih laku dan mahal honor main atau tampil. Demi iklan album atau filmnya mereka tidak segan membeberkan aib keluarga yang paling intim sekalipun. Miris, kapan bicara Oscar atau yang lain, jika hanya mengandalkan sensasi begini.
Click bait dan mengabdi klik dan hits seolah membenarkan judul bombastis dan pokok akan menarik orang untuk membaca. Miris ini seolah menjadi gaya termasuk beberapa media mainstream sudah kemasukan pengabdi hits ini. Kaitannya memang dengan iklan dan pemasukan tentunya.
Syukur bahwa Kompasiana masih cenderung lebih baik. Pilihan judul yang tidak sesuai akan diganti. Kata makian dan kasar dalam judul tidak akan bisa tayang. Mirisnya, media lain yang menggunakan kata-kata provokatif dalam judul malah tingkat share-nya tinggi.
Miris jika melihat artikel yang dibagikan orang lain itu kog dari media itu yang begitu kasar dalam memilih kata, dan isinya jauh lebih baik dari yang ada di Kompasiana. Tentu ini bukan membela karena aktif di sini. Jika tidak percaya lihat saja.
Lomba-lomba anak-anak atas nama kasihan dan menggunakan demi pendidikan memberikan penghargaan bagi yang kalah. Lah kalah kog diberi penghargaan, jelas tidak adil bagi yang menang to.
Mengapa demikian?
Pendidikan kita abai prestasi. Rangking menjadi pedoman, tanpa mau tahu proses yang berjalan. Dan mirisnya, kebocoran ujian ini dan itu sudah menjadi sebuah rahasia umum. Beberapa tahun lalu, ketika UN menjadi dewa pemutus keberhasilan, ujian bocor dan bahkan seolah sistem malah yang membuatnya. Nilai tinggi abai soal  upaya keras.
Suap dan nepotis untuk bisa menjadi ini dan itu. Paling murah jelas uang, kalau tidak ya cara-cara lain yang mungkin. Hal yang seolah lumrah terjadi. Yang tidak mau pakai, jangan harap. Apakah ini sudah bersih? Ada perubahan, namun sama sekali belum. Termasuk masuk sekolah lho. Atau menjadi guru.
Agama masih semata ritual, apal, dan label. Miris banget, ketika ayat suci bisa melantun dengan mudah, namun masih juga melakukan hal-hal buruk, bahkan jahat. Bagaimana bisa demikian, jika agama masih sebatas lamis. Hanya memperindah tampilan luar.
Kekacauan politik, agama, dan hukum. Penegakan hukum susah karena tekanan massa dengan label agama. Pun pendekatan agamis akan dibenturkan dengan politik dan hukum. Kekacauan ini perlu dijernihkan sehingga semua  menjadi ranah masing-masing. Ini bukan soal sekular, namun obyketifitas itu ya harus terjaga.
Perkembangan media sosial tanpa dibarengi kemampuan memilah dan memilih, sehingga orang cenderung viral menjadi tujuan akhir. Itu belum apa-apa, ketika moralitas, ranah etis malah diabaikan. Jangan melupakan kemanusiaan dan keadilan sosial demi viral.
Sikap batin, pola pikir menjadi penting, sehingga orang yang menjual sensasi tanpa esensi  akan tidak laku. Politik cemar asal tenar pernah berjaya, ketika diulang oleh Prabowo-Sandi syukur tidak berdaya guna.
Namun perlu kesadaran, ini ada upaya lagi dari Anies Baswedan. Jangan sampai nanti ada yang menjadikannya duta untuk corona, lha tingkahnya saja sudah banyak salah langkah begitu. Jangan sampai terjadi lagi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H