Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sabarnya Jokowi Menanti Anies Kebak Sundukane

14 Maret 2020   21:04 Diperbarui: 14 Maret 2020   20:59 4173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir tahun 15, hiruk pikuk Setya Novanto dengan skandal papa minta saham. Semua orang sudah berpikir pasti Setnov akan jatuh dan habis karir politiknya. Kata-kata Jokowi koppig, dan meminta saham dengan demikian kuat berkembang. Pasti Jokowi akan melemparkan Setnov ke penjara. Nusakambangan sekalian.

Eh ternyata tidak. Malah Setnov  bisa menjadi ketua umum Golkar dan kemudian kembali menduduki jabatan ketua DPR lagi, usai degradasi menjadi ketua fraksi. Masih cukup lama baru kemudian menjadi pesakitan. Sampai drama bakpao dan membawa pengacara dan dokter menyertai ke penjara.

Soal Setnov masih jalan-jalan atau selnya mewah bukan ulasan artikel ini. bagaimana licinnya Setnov, dan seoalah duk deng tidak bisa kalah, toh tanpa masalah berarti masuk juga ke kandang Suka Miskin. Ini soal waktu dan keberanian.

Jokowi itu orang Solo, Jawa yang masih cukup kuat Jawanya. Tahu dengan baik apa itu yang namanya wohing pakarti, paham juga kebak sundukane. Sunduk,  atau tusuk itu terbatas. Orang ketika sudah melebihi batasnya akan muntah dan dengan demikian ya sudah selesai. Setnov itu pun demikian. Bagaiamana ia biaa berkelit dengan luar biasa toh  bisa diselesaikan tanpa gejolak. Ahli strategi yang briliant.

Pilihan Jokowi itu orang kebak sundukane, bukan sepandai-pandainya tupai melompat akan gawal juga. Apa yang dinantikan itu bukan apesnya para pelaku itu, namun benar-benar sudah penuh dengan akibat perbuatannya yang buruk. Dan ini, kesabaran, keuletan, dan tahan-tahanan ini yang banyak orang tidak mampu.

Kata Ahok, Jokowi itu menggodok katak dengan air dingin di atas kompor. Si kodok merasa tenang dan nyaman, ketika panas sudah tidak lagi memiliki daya dan kekuatan untuk melompat. Ini juga tidak tepat, meskipun ada benarnya juga.

Kebak sundukane. Perilaku ugal-ugalan sendiri yang membuat orang akhirnya terpepet dan tidak lagi memiliki kemampuan untuk bisa berkelit lagi. Jalan yang ditempuh malah makin membuatnya terpojok dan tidak ada jalan lain. Satu-satunya jalan ya  menyerah kalah. Meski dalam kekalahan itu masih ada upaya terakhir seperti drama bakpao Setnov.

Anies juga demikian. Masih menantikan kapan kebak sundukane. Ia masih seolah jumawa dan menang atas Jokowi. Usai pemecatan ia mengumpulkan kekuatan dan kembali pada 2017 sebagai kandidat lawan Ahok yang banyak dipersepsikan sebagai kaki tangan dan kepanjangan Jokowi. Dan menang dengan dalih demokrasi. Itu sah, dan memang Anies menang.

Berkali ulang dalam tampilan Anies tampil, ditampilkan, dan menampilkan diri sebagai lebih dari Jokowi. Mengenai pembangunan Jakarta dan pusat yang seolah ia abaikan. Menghindari acara dengan presiden dan malah memilih acaranya sendiri. Cek dalam pemberitaan itu cukup banyak.

Melakukan perlawanan dengan amat sangat, pembongkaran apa yang dirancang Jokowi-Ahok dengan ugal-ugalan. Mau JPO, mau trotoar, ataupun yang paling seksi jelas adalah mengenai reklamasi dan juga rumah susun.

Akhir tahun kemarin banyak kehebohan, dan itu adalah bahan sundukan yang akan mencapai puncaknya. Bagaimana ugal-ugalanya anggaran. Perencanaan yang amburadul dan malah dijawab dengan kebodohan yang sama. Seolah Jokowi diam saja, banyak orang gemas dan meminta untuk dicopot.

Pihak-pihak tertetu juga mendorong-dorong untuk menjadi sebuah simbol "oposan" dari Jokowi. Bagaimana ia sering dinarasikan dan digembar-gemborkan sebagai gubernur rasa presiden. Dan tampilan Anies menampilkan diri sebagai benar demikian.

Awal tahun adalah bencana gede benar untuk Anies, ketika banjir makin menggila. Benar bahwa curang hujan ekstrem. Luasan dan lamanya surut itu bukan soal curah hujan yang luas biasa, namun visinya nol besar. Ribut dan bersikukuh soal naturalisasi namun tidak dilakukan.

Menantang terbuka dengan menyalahkan pembangunan dan pemerintah pusat. Padahal jelas-jelas dia yang tidak melakukan apa-apa. Ia pikir semua orang bisa dikelabuhi. Anies lupa, ia itu pecatan Jokowi, artinya Jokowi memiliki catatan tebal mengenai dia.

Penebangan Monas, balap formula-E, dan berbagai kegagalan itu seolah mau ditutupi dengan kesigapannya masalah corona. Menjadi lucu dan naif adalah, ia lupa, kewenangannya tetap saja terbatas. Tupoksinya itu hanya Jakarta, jangan merasa lebih gede dari itu. Miris ketika hanya membangun narasi namun salah dan kemudian diralat atau belepotan sehingga anak buahnya yang keteteran di dalam membelanya.

Beberapa sundukan parah dalam kasus corona adalah, bagaimana ia menuding KRL dan kemudian menyatakan sebagai simulasi. Jelas ia ugal-ugalan dan menambang masalah sendiri. Berlebihan karena tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Pantas saja dipecat ketika menjadi menteri.

Membuat situs web dan teguran kemenkominfo seolah dianggap angin lalu. Ia melaju dan kemudian mengaku kalau ada serangan ke situs. Padahal banyak ujaran kalau memang abal-abal dan tumbang sendiri. Toh isinnya juga tidak valid.

Terbaru, ia maju seolah lebih depan dari presiden. Dengan pengumuman banyak hal. Padahal keputusannya itu juga beririsan dengan pusat, seolah ia lupa. Dan dia bukan lupa, namun sedang berlakon bagi pihak lain.

Berjalan sebagai tumbal untuk penggulingan pemerintah. Narasi yang berkembang dengan ujarannya soal genting, diperkuat dengan tingkah aneh-anehnya, membuat sinyalemen mau menjadi pendobrak makin kuat. Apalagi sudah ada dengungan presiden cuti saja ganti Anies.

Lucu dan naif adalah, ini era modern, rekam jejak terpatri kuat, bagaimana Anies sudah gagal dalam banyak hal, jelas banjir itu belum juga setahun, kini merasa paling hebat dalam menangani corona. Siapa juga yang percaya coba.

Ia akademisi, rektor, soal NF gadis kecil yang mengaku membunuh pun dia diam saja kog. Mana suaranya nol besar, itu masih dalam kapasitas ia sebagai praktisi pendidikan dan juga kepala daerah. Jelas bukan keberadaannya hanya menjadi pion bagi pihak lain.

Jokowi sedang memainkan bidaknya, membuat posisi Anies terjebak oleh langkahnya sendiri, dan menantikan siapa di baliknya. Anies ini hanya pemain, bukan pengatur skenario. Dan kegigihan Jokowi jangan dianggap angin lalu. Lihat Prabowo, mana suaranya?

Gerindra pun tingga barisan sakit hati seperti Fadli Zon dan Arief Puyuono, hanya gede dalam pernyataan namun tidak berdampak. Ini semua adalah upaya sabar dan memilah serta memilih dengan tepat ala Jokowi.

Terima kasih dan salam

https://www.kompasiana.com/paulodenoven/568bcea0c3afbdc70913fb44/manusia-berkepala-sepuluh-dasamukadari-gedung-kurakura-hijau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun