Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mantan Pastor, Kamuflase Gereja Karimun, dan Toa

14 Maret 2020   08:10 Diperbarui: 14 Maret 2020   08:09 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelihatannya soal Karimun saya baru menulis satu ini. Mengapa? Karena ini adalah bagian dari iman, bahwa kesulitan itu juga harus ditanggung dengan suka cita dan rendah hati. Itu kaca mata iman, namun sebagai sebuah bangsa ada yang lucu dan menarik.

Hari-hari ini kembali menguat pembicaraan mengenai mantan pastor yang berpindah agama. Gegap gempita seolah itu adalah kemenangan dan sah-sah saja sebagai agama yang memang "berdagang". Seperti kemenangan perang dagang, itu tidak soal. Kecuali, ketika "pelapak" lain ditekan untuk tidak bisa apa-apa.

Lihat reaksi yang ada juga tidak berpolemik, selain hanya becanda dan menjadi bahan olok-olokan semata. Dan pihak yang ditinggalkan juga sebatas normatif.

Tiba-tiba pagi ini mendapatkan kiriman sebuah status media sosial bagaimana rupa gedung gereja Karimun itu demikian banyak "tekanan" sehingga seolah menjadi gedung biasa, bukan lagi rumah ibadah. Simbol-simbol agama khas gereja tidak boleh ada.

Menarik adalah, ketika orang, kelompok, ada yang eforia dengan keberadaan mualaf, namun ketika ada yang bangun gedung saja ribet dan ribut. Apakah pernah ada riset yang menyebutkan salib, patung membuat orang automurtad. Jika iya, setuju, bahwa salib membahayakan iman, dan saat ini juga saya turunkan salib depan rumah.

Ini kan hanya asumsi berlebihan, sama sekali tidak pernah ada orang tergoda imannya hanya melihat salib dan patung. Lha itu patung polisi tidak semua orang jadi polisi. Atau patung  pahlawan kog malah banyak pejabat jadi maling bukan jdi pahlawan.

Bahaya ketika hal ini nanti menjadi yurisprudensi dan pembenar atas perilaku pemaksaan kehendak untuk juga meniadakan patung dewa-dewa di klenteng dan tempat pemujaan saudara kita. Ini mengerikan sebagai sebuah bangsa Pancasila.

Ketika almarhum bapak masih sehat berpesan untuk pemakaman di kampung. Salib juga menjadi soal. Dan sebagai orang beriman, bukan berpikir sebagai anak bangsa. Kami sanggupi, dan memang itu bukan yang utama lagi sebagai manusia beriman.

Berbeda jika gedung gereja tanpa ornamen khas keagamaan. Itu kan identitas, seperti gedung olah raga akan diberi lambang-lambang olah raga, atau juga kantor dengan identitasnya. Ini sebuah tekanan aneh dan luar biasa, bahkan oleh segelintir oknum semata. Berbeda jika itu adalah memang negara agama seperti Arab Saudi atau Malaysia. Ini Republik Indonesia kog.

Atau jangan-jangan, ini pikiran jahat saja, toa keras-keras itu dimaksudkan juga untuk mempengaruhi iman orang lain? Ingat ini soal pendapat pribadi. Toh itu tidak soal, saya puluhan tahun justru terbantu dengan toa, untuk tertib bangun pagi. Di tempat yang jauh dari masjid dan tidak ada adzan saya seolah ketagihan mencari dan menunggu penanda pagi. Mau dikatakan ini penistaan silakan.

Jika salib dan patung dianggap membahayakan iman, jangan katakan atas nama kelompok paling gede kemudian bisa melabeli itu membahayakan iman. Lha bagaimana bisa mereka, yang hanya keci itu bisa memastikan iman demikian banyak orang? Menjadi aneh pola pikirnya ini. Kebutuhan dan  penghayatan orang mereka bisa prediksikan dan pasti benar seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun