Cita-cita Uskup dan Kembali "Mantan" Pastor Menjadi Perbincangan.
Sependek umur saya, belum pernah mendengar ada anak Katolik atau orang tua Katolik yang memiliki harapan atau cita-cita menjadi uskup. Jika ada nanti tolong rekan-rekan Katolik, baik eksim, atau pastor, atau juga yang lainnya untuk mengatakan pernah bercita-cita jadi uskup. Mungkin saya yang kuper.
Mengapa cita-cita uskup hampir tidak ada? Anak ataupun kebayakan orang tua tidak akan familiar dengan yang namanya uskup. Kalau menjadi imam, pastor, rama, hampir semua anak laki-laki Katolik pernah berpikir, pengin, dan mencoba. Hampir semua lho ya. Uskup itu seperti jenjang karir, banyak orang tidak mengenal.
Sama juga lebih banyak anak mau jadi menteri, presiden, bupati, namun camat, lurah, gubernur sangat jarang. Karena jabatan-jabatan itu jarang terdengar oleh anak.Â
Cita-cita anak itu yang pernah ditemui, atau sering dilihat. Uskup yang tidak terlihat anak secara langsung dan sering, lucu jika menjadi harapan anak. Lha kunjungan umat untuk di Keuskupan Agung Semarang ke paroki paling tiga tahun sekali. Mana ada anak yang terhipnotis untuk jadi uskup.
Dalam sebuah status media sosial, teman eksim menampilkan bagi artikel mengenai "mantan" pastor yang orang tuanya menginginkan dirinya jadi uskup. Soal keinginan menjadi uskup sudah cukup gamblang di atas.
Ada beberapa hal yang patut dilihat lagi sebagai berikut:
Mengapa demikian banyak mengaku "mantan" pastor, maaf jarang mengaku bekas pendeta, biksu, atau pemimpin Hindu? Karena yang paling jelas karakter pendidikannya itu Katolik.Â
Sekali lagi maaf bukan merendahkan jenjang pendidikan pemuka agama lain. Yang terlihat mentereng, bahkan memiliki hirarkhi dan dikenal dunia internasional dengan uskup Roma atau paus.
Yang lain-lainnya tidak cukup memiliki tampilan publik yang bisa menjadikannya ikut lebih besar. Kalau mengklaim sama-sama ya buat apa bukan? Tidak cukup menjual.
Kedua, banyaknya kesalahan istilah, bahkan termasuk Injil dengan merujuk Kitab Suci lain, selain keempat Injil. Ada juga kesalahan penyebutan Kitab, jumlah bab atau pasal, karena ia tahu dengan baik, pendengarnya tidak akan melakukan pengecekan lebih jauh. Adat kebiasaannya sudah dipahami.
Ketiga, lagi-lagi mendasar, kekacauan istilah Katolik dan Protestan yang tidak diketahui dengan baik, bahkan jelas tidak paham perbedaan istilah kecil, mempertontonkan hanya mencari istilah dari internet digabung-gabungkan. Dan kemudian poin kedua juga berlaku. Toh pembacanya tidak akan melakukan cek dan ricek kebenarannya.
Keempat, bayaran atau gaji pastor hingga ratusan juta. Lha dalah, lah seminggu gereja yang ada di kota sedang saja 40 juta sudah berat.Â
Itu untuk operasional, gaji karyawan, listrik, pemeliharaan gedung, dan banyak tetek bengek, itu masih kurang. Kog ratusan juta untuk gaji pastor. Hiii...hiii...kalau begitu semua maulah jadi pastor dan tidak akan ada yang keluar atau stres untuk membangun gereja.
Kelima. Pastor Katolik dan  pendeta itu tidak ada kaitan, apalagi atasan dan ana buah, bisa mengatur-atur. Paling ketemu dalam sebuah komunikasi gereja di seputaran kota yang sama.Â
Mana bisa mengatur ini dan itu, apalagi karena gaji yang lebih gede. Berbeda pastor dalam gereja Kristen dan itu kelihatannya malah bawahan atau jenjang karir ke pendeta, ada di bawah pendeta. Â (ini tidak yakin, toh tidak ada kaitan dengan artikel secara umum?
Keenam. Pastor, imam, rama itu enggan kalau ada isu menjadi uskup mengapa? Karena ngeri tanggung jawab dan kinerjanya. Dan hampir tidak ada yang obsesi menjadi uskup atau jabatan yang sangat berat itu.
Ketujuh, bahkan ada tarekat yang bahkan melarang pastornya memiliki pemikiran liar menjadi uskup. Tugas dan penunjukkan dari Vatikan harus dilaporkan kepada pemimpin tinggi dan tertinggi untuk memberikan jaminan bahwa itu bukan keinginan personal namun benar penugasan dan pemilihan dari tahta suci.
Kedelapan, sikap resmi Gereja Katolik akan membiarkan dan mereka sangat nyaman melakukan lagi dan lagi. Toh saya juga setuju KWI atau uskup tidak perlu melakukan bantahan, tidak ada gunanya. Bukan kapasitasnya untuk menjawab model demikian. Biarkan saja.
Kesembilan. Paling lucu dan maaf tolol, ketika ia mengaku pastor dan bapaknya bercita-cita anaknya menjadi uskup, pendidikannya di STT yang dikelola bapaknya.Â
Nah jika Sekolah Tinggi Teologi untuk menjadi pastor dan mungkin bisa menjadi uskup itu tidak ada yang dikelola bapak-bapak. Pasti diasuh oleh pastor, dan itu tidak ada yang punya anak.
Istilah atau namanya juga bukan STT tetapi STFT atau Fakutas Teologi, atau STF, ini kembali soal peristilahan yang tidak akan dicek kebenarannya oleh pembaca, pendengarnya. Namun memberikan bukti bagaimana aksinya itu amatiran, coba minta tolong saya dulu, sehingga tidak memalukan.
Kalau mau mengaku-aku itu belajar dengan baik. Tampaknya takut imannya luntur, padahal  jika hanya istilah uskup, pastor, dan sejenisnya mosok sih melunturkan iman. Hayo bahaya mana bohong dan ketahuan atau belajar ilmu baru?
Internet itu menyajikan apa saja, mau jahat atau baik, atau mengelabui semua tersedia dengan gampang untuk dijadikan referensi. Nah mau menjadi apa dan seperti apa itu ada di dalam benak dan disermen kita sendiri.
Pilihan bebas sebagai manusia bebas. Ketika dunia saja bisa menelanjangi dengan gampang, lha apa tidak ingat Tuhan. Jangan berpikir jika Tuhan itu tidak terlihat, apalagi yang dijadikan bahan dan lahan itu sisi spiritual, agama, dan dengan demikian secara tidak langsung berkaitan dengan Tuhan.
Terima kasih dan salam
NB: Ali Mustofa ini bukan KH Ali Mustofa yg pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H