Jika yang dekat-dekat Jakarta saja seperti itu, bagaimana yang lain bukan? Kaca mata Jawa sentris memang merusak cara pandang berbangsa. Layak jika pusat pemerintahan dipindahkan.
Keenam, menjadi mendesak ketika keungan negara yang disalurkan ke daerah-daerah itu demikian besar, namun masih pula banyak yang seperti ini. Apa maksudnya? Ada yang bermasalah. Apakah permainan anggaran, atau salah pengelolaan. Dua hal yang berbeda, namun sama-sama merusak.
Miris sebenarnya, apalagi jika pemimpinnya tidak memiliki visi dan misi untuk mengubah pola pikir bersama. Baik dirinya apalagi rakyatnya.
Ketujuh, penyakit pilkada langsung dan permainan partai politik. Ini masalah mendasarnya. Permainan politik yang tidak sehat. Mau uang, mau dinasti, toh ujung-ujungnya pembangunan terbengkalai, yang penting kembali dulu modal yang telah dikeluarkan. Sederhana sebenarnya ketika pembangunan mandeg namun gaya hidup pejabatnya mewah, bisa ditengarai ada permainan di sana.
Coba jika karena Jakarta genting dan uang untuk balap tamiya, eh mobil listri itu bisa dialihkan untuk membangun  jalan di desa-desa, jauh lebih baik bukan? Itu kan milik Jakarta, bukan milik Lebak. Miris di sampingnya mau membuang anggaran, eh di sebelahnya orang melahirkan di jalan. Ini ironis benar.
Jokowi memang terlalu, minimal dalam dua kepemimpinan ini. Satu bupati dengan visi pembangunan minim. Sisi satunya gubernur dengan anggaran luar biasa. Dan kedua-duanya tetap saja melaju di dalam maaf kenaifannya. Buat apa anggaran negara gede untuk aparat jika pemikiran hanya sekelas itu. Mungkin RT saja bisa hemat beaya pilkada dan juga bayar bulanan.
Miris melihat di tengah gegap gempita pembangunan masih ada kisah seperti itu di depan mata. Provinsi yang masih dalam jarak tempuh dengan mudah dari ibukota negara lho.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H